Thursday, October 1, 2015

Quo Vadis Pendidikan Indonesia?

Standard
Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar ke empat di dunia. Data Badan Pusat Statistik (2014) menyebutkan, jumlah penduduk Indonesia sekitar dua ratus lima puluh juta jiwa. Tingginya jumlah penduduk Indonesia itu berimplikasi baik positif maupun negatif. Disatu sisi, tingginya jumlah penduduk merupakan potensi mewujudkan negara besar yang tangguh. Namun disisi lain, negara memiliki tugas yang sangat berat dalam upaya mengembangkan potensi sumber daya manusia yang ada.
Pengembangan potensi sumber daya manusia dilakukan melalui pendidikan. Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh rakyatnya. Namun penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan melalui lembaga pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi, secara nyata tidak berjalan mulus. 
Sean Coughlan dalam BBC Indonesia (2015) menulis, Indonesia menduduki peringkat 69 dari 76 negara untuk kategori sekolah global terbaik. Tidak hanya itu, buruknya kualitas pendididikan di Indonesia juga tergambar dari Indeks Pembangunan Manusia, peringkat dalam UNESCO Education For All Global Monitoring Report, dan Education Development Index. Pada 2013 Indonesia menempati posisi 121 dari 185 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sementara berdasarkan UNESCO Education For All Global Monitoring Report (2012), Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 120 negara diseluruh dunia. Sedangkan rilis Education Development Index (EDI) (2011), Indonesia menempati peringkat ke-69 dari 127 negara. Peringkat tersebut menunjukan besarnya masalah pendidikan Indonesia kini. Problematika paling fundamen pendidikan Indonesia memang adanya disorientasi tujuan secara nasional.
Bukankah termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sejatinya pendidikan  adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Hal ini jelas menegasikan realita riil yang terjadi. Tafsir menyoal pendidikan lebih dimaknai tentang nilai atau skor setinggi-tingginya, dan tujuan akhir, pekerjaan dengan gaji yang banyak. Disorientasi pendidikan Indonesia berakar dari kekosongan narasi pendidikan. Sebagai permisalan, minimnya materi terkait budi pekerti atau akhlaq.
Jika kita amati, dari tahun ke tahun materi terkait budi pekerti (termasuk pendidikan agama) di lembaga pendidikan formal makin dipangkas. Banyak hal yang bisa menjelaskan mengapa fenomena ini terjadi. Bisa jadi dipandang tidak sepenting materi lain, atau nilai spiritualitas yang sengaja disembunyikan. Apapun sebabnya, harus dipahami bahwa budi pekerti adalah akar terbentuknya karakter yang luhur. Karakter yang luhur-lah hal yang harus mengakar, sebagaimana diajarkan didalam Islam. Bahkan dalam Hadits Shahih Riwayat Bukhari tegas menyatakan, Sesungguhnya aku (rasulullah) diutus untuk menyempurnakan akhlak yang sholeh.
            Disisi lain, berbagai materi diajarkan dengan kekosongan narasi. Matematika, Biologi, Fisika, Geografi, dan banyak lainya hanya diajarkan secara kaku sebatas tuntutan jam mengajar ataupun satuan kredit semester (SKS). Akibatnya, murid diposisikan hanya sebagai objek yang diajar. Mereka tidak memahami urgensi apa yang mereka pelajari. Dan inilah pangkal masalah rendahnya etos belajar murid. Ketika mereka tidak mendapatkan jawaban tentang pertanyaan “kenapa aku harus mempelajari ini?”, maka motivasi belajar pun menjadi minim. Atau bahkan parahnya, iklim pendidikan seperti merangsang mereka tidak merefleksi, “mengapa saya harus belajar, dan seberapa pentingnya belajar?”
Disorientasi dan kekosongan narasi pendidikan pada akhirnya menelurkan generasi yang oportunis-materialis. Sebagaimana tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), manusia yang oportunis cenderung memanfaatkan kesampatan yang ada sebaik-baiknya untuk kepentingan pribadi tanpa ada prinsip yang mendasari. Sudah terlalu banyak contoh di masyarakat bagaimana orang-orang oportunis bersikap. Mereka seolah-olah berjuang, padahal perjuanganya kamuflase dan tanpa ruh.
            Karakter manusia lain yang sering kita temui sebagai dampak disorientasi dan kekosongan narasi pendidikan adalah mencipta mereka-mereka yang materialis. Mereka adalah orang yang menganggap materi jauh lebih penting dibanding lainya. Hidup mereka hanyalah perjuangan mendapatkan sesuatu yang sifatnya duniawi dan terlihat.
            Dewasa ini, kalangan oprotunis dan materialis telah menimbulkan kekacauan di Indonesia.  Pada 2014, Transparency International merilis Corruption Perseptions Index (CPI). Hasilnya mencengangkan, Indonesia menempati urutan ke 107 dari 174 negara. Hal tersebut merupakan salah satu dampak besar dari masalah disorientasi dan kekosongan narasi pendidikan. Produk-produk pendidikan justru mencetak manusia yang oportunis dan materialis, yang salah satunya berbuah pada maraknya korupsi.
Kemelut disorientasi dan kekosongan narasi pendidikan ini akhirnya membangun pertanyaan reflektif, bagaimana Quo Vadis Pendidikan Indonesia? Masihkah kita ingin memapankan kondisi dimana pendidikan ada hanya untuk membuat perut kenyang dan hidup mewah, sebagaimana idealisme oportunis dan materialis tadi? Apa pula solusi kongkrit yang bisa dicetus dengan kondisi yang sudah carut marut ini?
            Mari melihat jauh ke belakang. Seribu empat ratus tahun lalu Allah subhanahu wa ta'ala melalui rasul-Nya telah menegaskan Barangsiapa yang belajar untuk membanggakan diri dengan ulama, atau untuk menentang orang-orang jahil, atau untuk menarik perhatian manusia agar tertuju padanya, Allah akan memasukkannya ke dalam Neraka Jahannam (Hadits Riwayat Ibnu Majah). Sementara adz-Dzahabi menambahkan, sebagaimana dikutip Abu Anas Majid al-Bankani dalam Buku Rihlatul ‘Ulama fi Thalabil ‘Ilmi. “Sesungguhnya orang-orang salaf terdahulu menuntut ilmu karena Allah. Maka, mereka mulia dan menjadi imam yang bisa dijadikan anutan”. Maka, telah jelas bahwa orientasi pendidikan adalah bagaimana seseorang kembali ke Allah.
            Orientasi pendidikan yang didasarkan motif ilahi memiliki makna bahwa pendidikan ada untuk membentuk karakter profetik. Karakter profetik adalah kemantapan pribadi yang terinspirasi oleh para nabi, khususnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Keluhuran pribadi rasul tergambar dalam al-Quran Surat al-Qalam ayat 4: "Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
            Berdasarkan penjelasan diatas, pendidikan yang berorientasi untuk mewujudkan pribadi luhur sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sebuah keharusan. Karakter profetik yang harus dibangun dalam diri setiap orang meliputi shidiq (kejujuran), amanah (kredibilitas), fathanah (kecerdasan), dan tabligh (penyampaian). Empat hal tersebut adalah inti dari keluhuran karakter Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
            Dalam al-Quran Surat Ali Imran ayat 110 disebutkan: Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan ditengah-tengah manusia untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah”. Berdasarkan ayat tersebut, menurut Kuntowijoyo (2001), karakter profetik akan menghasilkan buah manis pada umat yang berwujud humanisasi (amar maíruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tuíminu billah). Humanisasi (amar maíruf) memiliki arti sikap yang memanusiakan manusia. Liberasi (nahi munkar) berarti pembebasan. Sedangkan transendensi (tuíminu billah) merupakan dimensi keimanan manusia.
            Pribadi berkarakter profetiklah solusi untuk mengatasi berbagai masalah bangsa. Maka, usaha pembentukan pribadi berkarakter profetik melalui pendidikan menjadi mutlak adanya. Sektor pendidikan Indonesia harus mengubah orientasinya dari oportunis-materialis ke arah pembentukan karakter profetik. Namun, tidak ada paksaan. Sebagaimana tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Jika kita masih merasa nyaman hidup dengan kerusakan multi-sektoral, maka tidak perlu ada yang harus diubah. Proses melawan lelah menjadi hal yang tidak perlu dibangun. Tapi satu yang mesti kita ingat, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka” (Q. S. ar-Ra’d: 11).

REFERENSI:
al-Qur’anul Karim
al-Hadits
Badan Pusat Statistik. 2015. Jumlah Penduduk Indonesia. http://www.bps.go.id/. Diakses pada tanggal 19 September 2015.
Giyato. 2013. Pendidikan Karakter Profetik pada Anak. http://suaramerdeka.com. Diakses pada tanggal 19 September 2015.
Hendra Pasuhuk. 2014. Indeks Korupsi Peringkat Indonesia Membaik Tapi Masih Buruk. http://www.dw.com. Diakses pada tanggal 19 September 2015.
Purnomo Herdaru. 2014. Negara dengan Penduduk Terbanyak di Dunia, RI Masuk 4 Besar. http://finance.detik.com. Diakses pada tanggal 19 September 2015.
Sean Coughlan. 2015. Asia Peringkat Tertinggi Sekolah Global, Indonesia Nomor 69. http://www.bbc.com. Diakses pada tanggal 19 September 2015.

Related Posts:

0 komentar:

Post a Comment