Indonesia adalah negara
berpenduduk terbesar ke empat di dunia. Data Badan Pusat Statistik (2014)
menyebutkan, jumlah penduduk Indonesia sekitar dua ratus lima puluh juta jiwa.
Tingginya jumlah penduduk Indonesia itu berimplikasi baik positif maupun
negatif. Disatu sisi, tingginya jumlah penduduk merupakan potensi mewujudkan
negara besar yang tangguh. Namun disisi lain, negara memiliki tugas yang sangat
berat dalam upaya mengembangkan potensi sumber daya manusia yang ada.
Pengembangan potensi
sumber daya manusia dilakukan melalui pendidikan. Negara berkewajiban menyelenggarakan
pendidikan bagi seluruh rakyatnya. Namun penyelenggaraan pendidikan yang
dilakukan melalui lembaga pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi,
secara nyata tidak berjalan mulus.
Sean Coughlan dalam BBC
Indonesia (2015) menulis, Indonesia menduduki peringkat 69 dari 76 negara untuk
kategori sekolah global terbaik. Tidak
hanya itu, buruknya kualitas pendididikan di Indonesia juga tergambar dari
Indeks Pembangunan Manusia, peringkat dalam UNESCO
Education For All Global Monitoring Report, dan Education Development Index. Pada 2013 Indonesia menempati posisi
121 dari 185 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sementara
berdasarkan UNESCO Education For All
Global Monitoring Report (2012), Indonesia menempati peringkat ke-64 dari
120 negara diseluruh dunia. Sedangkan rilis Education
Development Index (EDI) (2011), Indonesia menempati peringkat ke-69 dari
127 negara. Peringkat tersebut menunjukan besarnya masalah pendidikan
Indonesia kini. Problematika paling fundamen pendidikan Indonesia memang adanya
disorientasi tujuan secara nasional.
Bukankah
termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sejatinya
pendidikan adalah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa? Hal ini jelas menegasikan realita riil yang terjadi. Tafsir
menyoal pendidikan lebih dimaknai tentang nilai atau skor setinggi-tingginya,
dan tujuan akhir, pekerjaan dengan gaji yang banyak. Disorientasi pendidikan
Indonesia berakar dari kekosongan narasi pendidikan. Sebagai permisalan,
minimnya materi terkait budi pekerti atau akhlaq.
Jika kita amati, dari
tahun ke tahun materi terkait budi pekerti (termasuk pendidikan agama) di
lembaga pendidikan formal makin dipangkas. Banyak hal yang bisa menjelaskan
mengapa fenomena ini terjadi. Bisa jadi dipandang tidak sepenting materi lain,
atau nilai spiritualitas yang sengaja disembunyikan. Apapun sebabnya, harus
dipahami bahwa budi pekerti adalah akar terbentuknya karakter yang luhur.
Karakter yang luhur-lah hal yang harus mengakar, sebagaimana diajarkan didalam
Islam. Bahkan dalam Hadits Shahih Riwayat Bukhari tegas menyatakan, ”Sesungguhnya aku (rasulullah) diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang sholeh”.
Disisi lain, berbagai materi
diajarkan dengan kekosongan narasi. Matematika, Biologi, Fisika, Geografi, dan
banyak lainya hanya diajarkan secara kaku sebatas tuntutan jam mengajar ataupun
satuan kredit semester (SKS). Akibatnya, murid diposisikan hanya sebagai objek
yang diajar. Mereka tidak memahami urgensi apa yang mereka pelajari. Dan inilah
pangkal masalah rendahnya etos belajar murid. Ketika mereka tidak mendapatkan
jawaban tentang pertanyaan “kenapa aku harus mempelajari ini?”, maka motivasi
belajar pun menjadi minim. Atau bahkan parahnya, iklim pendidikan seperti
merangsang mereka tidak merefleksi, “mengapa saya harus belajar, dan seberapa
pentingnya belajar?”
Disorientasi dan
kekosongan narasi pendidikan pada akhirnya menelurkan generasi yang oportunis-materialis.
Sebagaimana tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), manusia yang oportunis
cenderung memanfaatkan kesampatan yang ada sebaik-baiknya untuk kepentingan
pribadi tanpa ada prinsip yang mendasari. Sudah terlalu banyak contoh di
masyarakat bagaimana orang-orang oportunis bersikap. Mereka seolah-olah
berjuang, padahal perjuanganya kamuflase dan tanpa ruh.
Karakter manusia lain yang sering
kita temui sebagai dampak disorientasi dan kekosongan narasi pendidikan adalah mencipta
mereka-mereka yang materialis. Mereka adalah orang yang menganggap materi jauh
lebih penting dibanding lainya. Hidup mereka hanyalah perjuangan mendapatkan
sesuatu yang sifatnya duniawi dan terlihat.
Dewasa
ini, kalangan oprotunis dan materialis telah menimbulkan kekacauan di Indonesia. Pada 2014, Transparency International merilis Corruption
Perseptions Index (CPI). Hasilnya
mencengangkan, Indonesia menempati urutan ke 107 dari 174 negara. Hal tersebut
merupakan salah satu dampak besar dari masalah disorientasi dan kekosongan
narasi pendidikan. Produk-produk pendidikan justru mencetak manusia yang
oportunis dan materialis, yang salah satunya berbuah pada maraknya korupsi.
Kemelut disorientasi dan kekosongan narasi pendidikan ini akhirnya
membangun pertanyaan reflektif, bagaimana Quo
Vadis Pendidikan Indonesia? Masihkah kita ingin memapankan kondisi dimana
pendidikan ada hanya untuk membuat perut kenyang dan hidup mewah, sebagaimana
idealisme oportunis dan materialis tadi? Apa pula solusi kongkrit yang bisa
dicetus dengan kondisi yang sudah carut marut ini?
Mari
melihat jauh ke belakang. Seribu empat ratus tahun lalu Allah subhanahu wa ta'ala melalui rasul-Nya telah menegaskan “Barangsiapa yang belajar untuk
membanggakan diri dengan ulama, atau untuk menentang orang-orang jahil, atau
untuk menarik perhatian manusia agar tertuju padanya, Allah akan memasukkannya
ke dalam Neraka Jahannam (Hadits Riwayat Ibnu Majah)”. Sementara adz-Dzahabi menambahkan, sebagaimana dikutip Abu Anas
Majid al-Bankani dalam Buku Rihlatul
‘Ulama fi Thalabil ‘Ilmi. “Sesungguhnya orang-orang salaf terdahulu
menuntut ilmu karena Allah. Maka, mereka mulia dan menjadi imam yang bisa
dijadikan anutan”. Maka, telah jelas bahwa orientasi pendidikan adalah
bagaimana seseorang kembali ke Allah.
Orientasi
pendidikan yang didasarkan motif ilahi
memiliki makna bahwa pendidikan ada untuk membentuk karakter profetik. Karakter profetik adalah kemantapan
pribadi yang terinspirasi oleh para nabi, khususnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Keluhuran pribadi rasul tergambar dalam al-Quran Surat al-Qalam
ayat 4: "Dan
sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
Berdasarkan
penjelasan diatas, pendidikan yang berorientasi untuk mewujudkan pribadi luhur
sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam adalah sebuah keharusan. Karakter
profetik yang harus dibangun dalam diri setiap orang meliputi shidiq (kejujuran), amanah (kredibilitas), fathanah
(kecerdasan), dan tabligh
(penyampaian). Empat hal tersebut adalah inti dari keluhuran karakter Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Dalam
al-Quran Surat Ali Imran ayat 110 disebutkan: “Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan ditengah-tengah manusia
untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada
Allah”. Berdasarkan ayat tersebut,
menurut Kuntowijoyo (2001), karakter profetik akan menghasilkan buah manis pada
umat yang berwujud humanisasi (amar
maíruf), liberasi (nahi munkar),
dan transendensi (tuíminu billah). Humanisasi
(amar maíruf) memiliki arti sikap
yang memanusiakan manusia. Liberasi (nahi
munkar) berarti pembebasan. Sedangkan transendensi (tuíminu billah) merupakan dimensi keimanan manusia.
Pribadi berkarakter profetiklah
solusi untuk mengatasi berbagai masalah bangsa. Maka, usaha pembentukan pribadi
berkarakter profetik melalui pendidikan menjadi mutlak adanya. Sektor
pendidikan Indonesia harus mengubah orientasinya dari oportunis-materialis ke
arah pembentukan karakter profetik. Namun, tidak ada paksaan. Sebagaimana tidak
ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Jika kita masih merasa nyaman hidup
dengan kerusakan multi-sektoral, maka tidak perlu ada yang harus diubah. Proses
melawan lelah menjadi hal yang tidak perlu dibangun. Tapi satu yang mesti kita
ingat, “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang
pada diri mereka” (Q. S. ar-Ra’d: 11).
REFERENSI:
al-Qur’anul
Karim
al-Hadits
Badan
Pusat Statistik. 2015. Jumlah Penduduk Indonesia. http://www.bps.go.id/. Diakses pada tanggal 19 September 2015.
Giyato. 2013. Pendidikan Karakter
Profetik pada Anak. http://suaramerdeka.com. Diakses
pada tanggal 19 September 2015.
Hendra Pasuhuk. 2014. Indeks Korupsi Peringkat Indonesia Membaik Tapi Masih Buruk. http://www.dw.com. Diakses
pada tanggal 19 September 2015.
Purnomo
Herdaru. 2014. Negara dengan Penduduk Terbanyak di Dunia, RI Masuk 4 Besar. http://finance.detik.com. Diakses
pada tanggal 19 September 2015.
Sean Coughlan. 2015. Asia Peringkat Tertinggi Sekolah Global, Indonesia
Nomor 69. http://www.bbc.com. Diakses pada tanggal 19 September 2015.
0 komentar:
Post a Comment