Kegelisahan ini entah kenapa semakin memuncah. Benarkah ini adanya? Atau sekedar kekhawatiran berlebih?.
Sejak era Boedi Utomo hingga bergulirnya reformasi, mahasiswa tidak penah luput dari rekaman sejarah perjuangan. Bahkan mereka selalu menjadi garda terdepan perubahan, berakhirnya penjajahan, juga reformasi negeri ini. Tak segan, mahasiswa bukan hanya sekedar berkoar, namun ia tampil sebagai pahlawan yang mengakhiri kesewenang-wenangan dan ketidak adilan. Mereka membuktikan, presiden atau bahkan penjajah bisa saja terancam posisinya jika sewenang-wenang terhadap rakyat. Sebegitu menakutkan kah mahasiwa?.
Mahasiswa, sosok dengan idealisme yang terjaga. Mereka berperan sebagai pressure grup, penyeimbang kekuasaan pemerintahan. Mahasiswa (sejatinya) selalu hidup dengan independensinya, langkahnya tidak terjerat pada batasan-batasan kepentingan golongan. Mereka ada untuk memperjuangkan hak kaum yang tertindas!.
Masih ingatkah kita?, dokter Sardijo, dokter Soetomo, dokter Wahidin Sudirohusodo, dokter Cipto Mangunkusumo?. Mereka adalah dokter dan sekaligus pahlawan yang gigih memperjuangkan hak rakyat, begitu tangguh. Ilmu kedokteran tidak membatasi langkah mereka untuk bertindak melawan kesewenang-wenangan.
Saya bukan dokter, bukan pula calon dokter, namun entah kenapa saya gelisah. Nyatanya mahasiswa kedokteran saat ini selalu berimage apatis, ansos, dan egois (opini publik). Bahkan ironisnya, pergerakan mahaiswa kedokteran dulu dan kini berbalik 180o. Dulu, mahasiswa kedokteran terkenal cerdas, peka, berjiwa sosial dan menjadi garda terdepan pergerakan mahasiswa. Kini, mahasiswa kedokteran juga masih terkenal dengan kecerdasanya, namun sayangnya (sadar/tidak) mereka tidak lagi setagguh generasi terdahulu dalam perananya di pergerakan mahasiswa.
Kenapa bisa demikian?, Adakah yang salah?, atau jangan-jangan hanya opini publik saja yang berlebih?.
Mengulas sebuah kisah nyata, sumber dari kegelisahan, dan titik balik perbuahan paradigma.
Pendidikan Mahal
Pendidikan kini semakin mahal, baik di Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta. Begitu pula dengan pendidikan kedokteran, mahalnya tidak terkira bagi sebagian besar rakyat. Di kampus manapun, tidak hanya bisa dipastikan bahwa mahasiswa kedokteran adalah mahasiswa tercerdas, namun bisa dipastikan juga pendidikan kedokteran selalu lebih mahal daripada pendidikan disiplin ilmu lain. Bukan kah sekarang ada bidik misi?, bahkan saya tak yakin bidik misi mampu menghilangkan ketakutan para orang tua akan biaya yang timbul di kemudian hari. Terlebih seorang mahasiswa kedokteran harus menjalankan pendidikan profesi sebelum menjadi dokter, ditambah lagi biaya lain-lain, hampir bisa dipastika bidik misi tidak bisa meng-cover secara penuh. Alhasil, kini di kampus-kampus kedokteran tak ubahnya seperti show room mobil mewah, karena mayoritas mahasiswanya berasal dari keluarga berpunya (khsusunya di kampus saya). Sebegitu mahalnya pendidikan kedokteran, bagaimana yang lain?. Ironisnya, memang betul semua jadi mahal, khsusunya program studi kesehatan seperti Gizi Kesehatan, Farmasi, Ilmu Keperawatan, dan Kedokteran Gigi, tak kalah mahal.
Berawal dari Sistem PBL: Paper Based Leraning
Seorang alumni bercerita, dua ribu dua (2002) silam, seorang Presiden Mahasiswa (Ketua BEM) di FK UGM dijabat oleh mahasiswa tahun ke 3 (atau 4, agak lupa), ketika di tahun dua ribu tiga (2003) tepat saat siste PBL (re: sistem blok) diterapkan maka hal tersebut berubah. Tata kelola organisasi kemahasiswaan dipegang oleh seorang Presiden Mahasiswa tahun ke 2, demikian pula mayoritas lembaga di lingkungan FK UGM kepemimpinanya dipegang mahasiswa tahun ke 2. Mahasiwa yang baru saja menjadi staff, kemudian langsung menjadi Presiden Mahasiswa. Demikianlah akhirnya FK UGM menjadi bagian terunik (atau terlangka) dari pergerakan mahasiswa di UGM. Bayangkan saja, apa akibat dari kaderisasi yang sangat singkat itu?.
Berlanjut ke UKT (Uang Kuliah Tunggal)
“Lama Lulus=Bayar Mahal”. Barang kali doktrin ini lah yang banyak ditangkap oleh rekan-rekan aktivis pergerakan. Logikanya sederhana, dengan sistem UKT ini, sedikit atau banyak materi yang ingin diulang, bayarnya tetap sama, mahal. Jadi, seolah tak ada pilihan, selain giat belajar saja, tidak usah berorganisasi, supaya nilainya bagus, tidak ngulang, tidak bayar mahal. Jika dalam satu semester ada 5 blok, yang nilainya jelek hanya 1 blok, ingin mengulang, maka bayarnya tetap untuk 5 blok. Maka kita kembali diarahkan untuk hanya jadi pembelajar di kelas. Ini (lagi-lagi) juga terjadi di semua program studi, sehingga imbas UKT berlaku secara menyeluruh di kampus.
7 Weeks menjadi 6 Weeks
Berdekatan dengan kebijakan UKT yang diturunkan, kebijakan tentang lama pelaksanaan block pun berubah. Dari yang awalnya 7 Weeks menjadi 6 Weeks (sudah termasuk minggu ujian). Praktis kegiatan akademik dalam satu block pun sangat padat. Mahasiswa dituntut belajar dengan frekuansi luar biasa karena setiap 6 minggu sekali ada ujian block. Padatnya kegiatan akademik selama ini pun menjadi terasa berlebih. Tidak ada yang salah menjadi pribadi yang tekun dalam akademik, namun betul kah hanya itu tugas mahasiswa?.
Hingga akhirnya isu penghapusan Double Block
Beberapa bulan ini isu penghapusan double block makin menguat. Dengan penghapusan double block bisa jadi seorang mahasiswa baru akan bepola pikir demikian: saya tidak mau lulus lama-lama, maka saya fokus belajar saja tidak perlu berorganisasi, kalo sampai nilai jelek dan harus ngulang kan repot, terpaksa extend, dan lulus lama.
Tidak salah bagi mahasiswa yang ingin lulus cepat dengan nilai baik, tapi dari pandangan saya yang awam ini sistem yang demikian sangat membuat mahasiswa ngeri dengan organisasi. Ketakutan itulah yang membuat mereka antipati sedari awal terhadap ormawa.
Maka sangat disayangkan, bila pergerakan mahasiswa yang kritis dan bahkan ditakuti oleh pemerintah karena posisinya sebagai pressure grup terkikis. Bahkan harus kehilangan ketangguhan bagian yang dulu sempat menjadi garda terdepan: mahasiswa Kedokteran.
Tulisan ini hanya tulisan orang awam yang sedang gelisah, bisa jadi tidak sepenuhnya benar, atau bahkan banyak yang salah, namun paling tidak ini bisa sebagai bahan renungan. Harus bagaimana kita kedepanya?.
Salam cinta dari saya, seorang yang menantikan tegaknya keadilan!.
Menarik untuk disimak dan ini sebenarnya juga sudah lama menjadi kegelisahan aku juga, mungkin saat ini pergerakan tersebut sudah mengalami pergeseran karena situasi sosioekonomi dan politik yang berubah. Calon dokter, (pendapat pribadi) akan lebih berguna ketika mereka telah mendapat dan menyelesaikan pendidikan profesinya dan bisa secara langsung mengabdi pada bangsa dan negara.
ReplyDeleteKalau disebut mahasiswa kedokteran takut organisasi tidak tepat juga sebenarnya, hanya mereka kurang paham saja dengan istila-istilah politik, namun pergerakan mahasiswa kedokteran saat ini memang lebih ke arah pembangunan komunitas (community development) atau hal yang berbau sosial kemasyarakatan.
Terimakasih banyak Hafiq atas kunjungan dan pendapatnya. :)
ReplyDelete