Saturday, October 4, 2014

Hari Istimewa

Standard
Setiap tahun kita mendapati satu hari yang dianggap istimewa, hari ulang tahun. Hari dimana setiap dari kita diingatkan bahwa kita berawal dari ketiadaan dan kini menjadi ada melalui sebuah momentum, kelahiran.

Hati kita diketuk untuk ingat dan sejenak menyelami segenap dimensi waktu yang telah lalu, muhasabah.Kita diminta jujur mengakui banyaknya dosa dan maksiat yang pernah dilakukan. Kita juga diminta jujur tentang betapa sedikitnya kebaikan yang sudah diperbuat.Keduanya itu menjadikan kita benar-benar terbangun dari mimpi buruk tentang kekufuran dan kedurhakaan. Betapa hari itu menjadikan diri serasa makhluk termiskin di semesta alam, karena tak punya apapun. Betapa pula hari itu menjadikan diri serasa makhluk tersombong di semesta alam, karena jauh dari syukur. Dan bersama keburukan diri yang bersemayam, dentuman jam kehidupan kian melemah, pertanda nafas ini makin terbatas, hidup ini tak lama.

Nafas ini begitu sesak, tangis pun menyeruak tak tertahankan, hampir tak sanggup menerima, betapa beratnya kehidupan ini. Jangan berputus asa akhi!, Allah tak suka dengan yang demikian, tak suka pula dengan kesedihan yang berkepanjangan, Ia hanya ingin kau lebih sadar diri, tak lupa tentang  hakikat mengapa engkau dilahirkan. Kini bergegaslah, ambil kembali pena dan secarik kertas putihmu, tuliskan dengan lebih jelas, kedurhakaan mana yang ingin kau tinggalkan, kebaikan apa yang ingin kau ukir, dengan mantap!.

Kemudian tinta hitam mulai membasahi secarik kertas putih, berisikan azzam untuk perbaikan diri. Namun, entah kenapa ini tetap saja terasa begitu berat. Lalu ku susuri sebuah jalan sepi lagi gelap, tak ku temukan siapapun. Terus berjalan, hingga akhirnya menemukan sebuah rumah berlentera kecil, berisi seorang tua. Ku intip lewat celah dinding bambu rumah, pak tua itu sedang membaca sebuah sajak yang tertuang di atas kertas kekuningan. Lirih  berbisik ia berkata “Nak, di negeri seberang sana engkau sedang apa?, sudah makan kah engkau?, ayah rindu”. Berhenti sejenak, kemudian beliau menengadahkan tanganya “ROBBI AWZI’NI AN ASYKURO NI’MATAKALLATI AN ‘AMTA ‘ALAYYA. WA ‘ALA WAALIDAYYA WA AN A’MALA SHOLIHAN TARDHOH, WA ASHLIH LII FI DZURRIYATIY” (Wahai Robbku, ilhamkanlah padaku untuk bersyukur atas nikmatmu yang telah Engkau karuniakan padaku juga pada orang tuaku. Dan ilhamkanlah padaku untuk melakukan amal sholeh yang Engkau ridhoi dan perbaikilah keturunanku) (QS. Al Ahqof:15). “Sesungguhnya Allah mengumpulkan kita dengan do’a nak, ayah disini mendo’akan mu, demikian pula engkau disana, dan oleh sebab itu ayah tak pernah kesepian”, pungkasnya.

Lagi-lagi tetesan permata hati kembali membasahi pipi, sungguh betul kata pak tua, waktu dan tempat tak akan pernah mampu memisahkan kita, tak pula mampu menghalangi perjuangan, ia ada hanya untuk menunjukan bahwa persaudaraan kita sudah begitu kental. Meskipun di tempat berbeda tapi hakikatnya kita bersama. Bagian bumi yang kita pijak boleh berbeda, namun seluruh do’a bermuara pada lapis langit yang sama.

Muhasabah, perencanaan dan do’a kalian adalah bekal yang semoga mampu menjadikan saya pribadi yang bertaqwa pada-Nya. Terimakasih atas do’a yang tercurah, semoga keberkahan dan kasih-Nya tercurah untukmu pula Saudaraku.


1 comment:

  1. Muhasabah, bahwa sesungguhnya kita tidak tahu apa2. Hanya Allah yg tahu masa depan kita. Yang kita tahu kita pernah lahir dan kita akan mati. Tetapi mati dalam keadaan seperti apa, kitalah yg menentukan. Semoga umurnya berkah mas Ali :D, Sukses selalu!!

    ReplyDelete