Bertemu dengan banyak orang, melihat dinamika sosial, dan konflik kepentingan.
Semua makin membuka mata kita bahwa butuh peran mahasiswa untuk menjadi social
control. Mahasiswa harus mampu menjawab tantangan zaman dengan selalu
kritis berfikir, peduli, dan merespon dengan cepat segala fenomena yang terjadi
di lingkungan masyarakat. Kepentingan memang selalu ada di masyarakat dengan
begitu banyak hal yang melatarbelakanginya, pada akhirnya kejelasan sikap
menjadi kunci bagaimana hendaknya kita melangkah dan bagaimana hendaknya kita
berpihak. Kesemua itu akan membawa dinamika sosial yang sulit diramalkan.
Jikalau tidak ada pihak yang mampu menjadi social control pastilah
akan ada orang yang dirugikan. Lebih parah lagi bisa berujung pada rusaknya
tatanan sosial yang ada di masyarakat.
Membangun logika pikir
kritis sebagai pondasi dalam perumusan masalah dan membangun solusi yang tepat.
Bicara tentang dinamika dan konflik sosial, kita bicara masalah yang begitu
kompleks. Tidak cukup hanya diselesaikan dengan pikiran sederhana, maka critical
thinking mesti terus diasah. Mengasah critical thinking bisa
dilakukan dengan banyak hal. Membaca, diskusi, dan menulis menjadi tiga hal
pokok untuk membangun critical thinking. Namun sayang ini sering
dilupakan dan tidak menjadi prioritas bagi sebagian mahasiswa.
Memulai dengan membaca.
Bagi mahasiswa sosio humaniora akan terasa lebih ringan membaca buku-buku yang
linear dengan apa yang di pelajari di bangku kuliah. Namun lain cerita dengan
mahasiswa sains, teknik, atau bahkan fakes akan cukup sulit untuk sekedar
meluangkan waktu membaca banyak buku-buku yang melatih critical
thinking. Solusi terbaik dari masalah tersebut adalah memulai dengan
kuantitas minimal dan manajemen waktu mebaca. Memulai dengan kuantitas minimal
bisa dilakukan sebagai permulaan. Cukup membaca 1 hingga 2 lembar sehari
barangkali menjadi awal yang baik untuk membiasakan diri. Lama kelamaan
kebiasaan itu akan mengalir seiring dengan kenikmatan yang dirasakan saat
membaca memenuhi hasunya diri akan keilmuan. Perlahan tapi pasti kuantitas pun
akan bertambah.
Manajemen waktu perlu
dilakukan untuk mengawali kebiasaan membaca. Ada dua opsi yang bisa diterapkan
sesuai kanyamanan masing-masing pribadi. Pertama, dengan memanfaatkan waktu
luang atau waktu jeda. Maka pastikan kita selalu membawa buku di tas. Sehingga
saat sewaktu-waktu merasa tidak ada yang dikerjakan bisa langsung membaca buku.
Kedua, bisa dengan meluangkan waktu khusus, pagi hari, sore atau malam hari
dengan kisaran jam tertentu. Itua akan sangat membantu dalam mengatur ritme
kekonsistenan dalam membiasakan baca buku.
Untuk mengawali tidak
mesti kita harus membeli buku, cukup main ke rumah, kosan, atau kontrakan teman
atau kakak kelas yang kutu buku critical thinking, jika ada
buku yang terlihat menarik kita bisa meminjamnya. Tapi jika kita punya uang,
membeli akan sangat membantu jika suatu saat nanti kita ingin membaca buku
tersebut untuk pendalaman.
Saat kita berpikir bahwa
terlalu banyak buku yang mesti dibaca, jangan pernah berpikir untuk tidak
membaca sama sekali. Malah justru ketika kita sadar masih terlalu banyak buku
yang belum dibaca maka itu berarti kita memahami keterbatasan ilmu yang dimiliki
dan harus lebih terpacu untuk belajar. Mak yang paling penting adalah segera
memulai dan konsisten dalam menjalaninya. Sampai kapan lagi kita terus menunda
dan membiarkan jiwa kita gersang?.
“Jika jiwa terasa gersang,
maka bacalah. Karena membaca menyegarkan jiwa, menjernihkan pikir, memantapkan
langkah”
0 komentar:
Post a Comment