Saturday, January 18, 2014

Menepis Pesimisme

Standard

"Sejarahpun terukir, pesimisme tersingkir, dan semoga mampu menginspirasi setiap diri"

Sekitar satu setengah tahun silam, saya hadir di tengah lingkungan elit Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM). Sebuah fakultas ternama dan salah satu yang paling bersejarah di Indonesia. Secara kualitas jelas tidak diragukan lagi, secara eksistensi pun mana ada yang tidak mengenal Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

Namun, saya hadir bukan sebagai bagian dari program studi mayoritas di sana. Melainkan dari sebuah program studi termuda dan minoritas. Bukan masalah kelak akan jadi apa, melainkan seakan saya hidup di tengah hegemony.

Latar belakang saya masuk program studi Gizi Kesehatan itu sederhana, karena saya mencintai ilmunya, mencintai apa yang akan saya pelajari. Terlepas dari itu, memang sama sekali saya tidak pernah ingin jadi dokter.  Saya bersyukur atas karunia Tuhan.

Alhamdulillah sampai detik ini pun saya masih mencintai ilmu yang saya pelajari. Namun, memang hidup di tengah hegemony kerap menjadikan kita merasa tereliminir. Tanpa mengurangi  rasa hormat saya kepada profesi lain, harus diakui bahwa masih ada fanatisme profesi.

Barangkali semua yang saya jelaskan diatas salah, karena mungkin hati saya yang terlalu ciut untuk hidup dalam optimisme. Namun, setidaknya itulah yang menjadikan saya tidak pernah berharap muluk untuk adanya kesetaraan disini. Karena asa itu hampir tiada, saya hanya mampu berusaha sekuat tenaga untuk selalu bermanfaat.

Bukan hanya di lingkungan profesi, pesimisme pun rupanya terjadi pada saya dan sebagian rekan di ranah organisasi kemahasiswaan. Sekali lagi, banyak yang merasa tereliminir sekalipun jelas itu adalah perasaan bodoh. Opini pun bertebaran di berbagai kalangan bahwa ada organisasi yang lebih tendensius  pada prodi tertentu. Termasuk  di ranah Students Government, data membuktikan bahwa semua Katua Badan Eksekutif Mahasiswa FK UGM berasal dari program studi yang sama.
Setidaknya sebelum ini ada dua orang dari program studi Gizi Kesehatan yang pernah mencalonkan diri sebagai Presiden Mahasiswa FK UGM. Namun, tetap belum bisa mendobrak dominasi. Hanya sedikit rekan saya yang tahu, mungkin kalaupun tahu malah akan menambah pesimisme.

Ketika dimensi waktu pun berganti, kini kita memasuki penghujung tahun sebagai hari-hari panas bagi para aktivis kemahasiswaan. Pemilihan raya mahasiswa atau yang disingkat PEMIRA hadir sebagai miniatur demokrasi di tataran kampus. PEMIRA ini sangat mirip dengan PEMILU, dari mulai cara pencalonanya, kampanyenya, pemungutan suara dan penetapanya pun demikian.

Entah kenapa banyak yang bertanya, menyarankan ataupun sekedar bercanda pada saya seputar pencalonan diri sebagai Presiden Mahasiswa FK UGM di PEMIRA FK UGM 2013. Terus terang saja saya cukup dibingungkan dalam merespon opini mereka, tak jarang saya hanya bisa tersenyum. Namun, seiring berjalanya waktu opini tersebut makin memuncah. Saya melihat harapan dari teman-teman.

Dalam sebuah perenungan saya bekaca, mungkin saya bukan yang terbaik diantara mereka, namun
Ini adalah ladang untuk menebar kemanfaatan sebanyak-banyaknya. Bukankah khoirunnaas anfauhum linnaas?, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat. Maka saya memutuskan untuk maju sebagai calon Presiden Mahasiswa FK UGM 2014.

Lagi-lagi di awal perjalanan berhembus pesimisme, baik dari beberapa simpatisan maupun tim sukses. Sudah saya duga akan demikian. Bahkan saya pun menyimak opini pesimisme secara langsung. Kata-kata “sepertinya susah” atau “kok pede (percaya diri) banget maju jadi calon, mana mungkin menembus dominasi” sempat mengganggu pikiran saya. Namun, satu hal yang menjadikan saya kuat, yaitu Tuhan. Saya yakin bahwa ketika Tuhan berkehandak maka apapun akan terjadi, Tuhan selalu memberi yang kita butuhkan, bukan yang kita mau.

Maka langkah saya pun semakin kokoh, saya percaya apapun hasilnya pasti itu yang terbaik. Sehingga yang bisa saya lakukan hanya berusaha dengan optimal. Lagi pula bukan jabatan itu yang utama, melainkan ridho Tuhan.

Setelah melalui masa kampanye sekitar dua pekan, akhirnya tiba lah pemungutan dan perhitungan suara. Kalau masa-masa ini bagi saya malah sudah tidak terlalu menegangkan, saya berserah diri seutuhnya pada Tuhan. Satu demi satu surat suara dibacakan, saya menyimak dan sambil diselingi membaca ayat Tuhan serta online juga. Satu do’a saya, jika ini yang terbaik maka dekatkanlah dan jika ini buruk maka jauhkanlah sejauh-jauhnya Ya Tuhan.

Alhamdulillah wa Innalillahi, amanah yang besar terembahkan pada pundak yang lemah ini. Mengejutkan bagi saya, hampir 2/3 suara, Tuhan jadikan mendukung saya. Memang ini amatlah berat, batasan antara surga dan neraka begitu tipis. Namun, harapan dan do’a tercurahkan, semoga jiwa yang terembahkan amanah ini bisa istiqomah memegang teguh dien-Nya.

Maka, sejarahpun terukir, pesimisme tersingkir, dan semoga mampu menginspirasi setiap diri, sehingga tercipta sejarah-sejarah lain yang penuh dengan kebaikan.

Sekali lagi, tulisan ini saya buat tanpa ada maksud menyakiti sahabat-sahabat saya mahasiswa program studi lain. Namun, hanya ingin memberi secerca harapan pada rekan-rekan saya yang merasa tereliminir, bahwa kemuliaan hakiki itu bukan diberi, melaikan harus diperjuangkan dengan penuh pengorbanan.



0 komentar:

Post a Comment