Sekitar satu setengah tahun silam, saya hadir di tengah lingkungan elit Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM). Sebuah fakultas ternama dan salah satu yang paling bersejarah di Indonesia. Secara kualitas jelas tidak diragukan lagi, secara eksistensi pun mana ada yang tidak mengenal Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Namun, saya hadir bukan sebagai
bagian dari program studi mayoritas di sana. Melainkan dari sebuah program studi
termuda dan minoritas. Bukan masalah kelak akan jadi apa, melainkan seakan saya
hidup di tengah hegemony.
Latar belakang saya masuk program
studi Gizi Kesehatan itu sederhana, karena saya mencintai ilmunya, mencintai
apa yang akan saya pelajari. Terlepas dari itu, memang sama sekali saya tidak
pernah ingin jadi dokter. Saya bersyukur
atas karunia Tuhan.
Alhamdulillah sampai detik ini pun saya masih mencintai ilmu yang
saya pelajari. Namun, memang hidup di tengah hegemony kerap menjadikan kita merasa tereliminir. Tanpa mengurangi
rasa hormat saya kepada profesi lain,
harus diakui bahwa masih ada fanatisme profesi.
Barangkali semua yang saya
jelaskan diatas salah, karena mungkin hati saya yang terlalu ciut untuk hidup dalam optimisme. Namun,
setidaknya itulah yang menjadikan saya tidak pernah berharap muluk untuk adanya kesetaraan disini.
Karena asa itu hampir tiada, saya hanya mampu berusaha sekuat tenaga untuk
selalu bermanfaat.
Bukan hanya di lingkungan
profesi, pesimisme pun rupanya terjadi pada saya dan sebagian rekan di ranah
organisasi kemahasiswaan. Sekali lagi, banyak yang merasa tereliminir sekalipun
jelas itu adalah perasaan bodoh. Opini pun bertebaran di berbagai kalangan bahwa
ada organisasi yang lebih tendensius pada
prodi tertentu. Termasuk di ranah Students Government, data membuktikan bahwa
semua Katua Badan Eksekutif Mahasiswa FK UGM berasal dari program studi yang
sama.
Setidaknya sebelum ini ada dua
orang dari program studi Gizi Kesehatan yang pernah mencalonkan diri sebagai
Presiden Mahasiswa FK UGM. Namun, tetap belum bisa mendobrak dominasi. Hanya
sedikit rekan saya yang tahu, mungkin kalaupun tahu malah akan menambah
pesimisme.
Ketika dimensi waktu pun
berganti, kini kita memasuki penghujung tahun sebagai hari-hari panas bagi para
aktivis kemahasiswaan. Pemilihan raya mahasiswa atau yang disingkat PEMIRA
hadir sebagai miniatur demokrasi di tataran kampus. PEMIRA ini sangat mirip
dengan PEMILU, dari mulai cara pencalonanya, kampanyenya, pemungutan suara dan
penetapanya pun demikian.
Entah kenapa banyak yang
bertanya, menyarankan ataupun sekedar bercanda pada saya seputar pencalonan
diri sebagai Presiden Mahasiswa FK UGM di PEMIRA FK UGM 2013. Terus terang saja
saya cukup dibingungkan dalam merespon opini mereka, tak jarang saya hanya bisa
tersenyum. Namun, seiring berjalanya waktu opini tersebut makin memuncah. Saya
melihat harapan dari teman-teman.
Dalam sebuah perenungan saya bekaca, mungkin saya bukan yang terbaik
diantara mereka, namun
Ini adalah ladang untuk menebar
kemanfaatan sebanyak-banyaknya. Bukankah khoirunnaas
anfauhum linnaas?, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat. Maka
saya memutuskan untuk maju sebagai calon Presiden Mahasiswa FK UGM 2014.
Lagi-lagi di awal perjalanan
berhembus pesimisme, baik dari beberapa simpatisan maupun tim sukses. Sudah
saya duga akan demikian. Bahkan saya pun menyimak opini pesimisme secara
langsung. Kata-kata “sepertinya susah”
atau “kok pede (percaya diri) banget maju jadi calon, mana mungkin menembus dominasi” sempat mengganggu
pikiran saya. Namun, satu hal yang menjadikan saya kuat, yaitu Tuhan. Saya
yakin bahwa ketika Tuhan berkehandak maka apapun akan terjadi, Tuhan selalu
memberi yang kita butuhkan, bukan yang kita mau.
Maka langkah saya pun semakin
kokoh, saya percaya apapun hasilnya pasti itu yang terbaik. Sehingga yang bisa
saya lakukan hanya berusaha dengan optimal. Lagi pula bukan jabatan itu yang
utama, melainkan ridho Tuhan.
Setelah melalui masa kampanye
sekitar dua pekan, akhirnya tiba lah pemungutan dan perhitungan suara. Kalau
masa-masa ini bagi saya malah sudah tidak terlalu menegangkan, saya berserah
diri seutuhnya pada Tuhan. Satu demi satu surat suara dibacakan, saya menyimak
dan sambil diselingi membaca ayat Tuhan serta online juga. Satu do’a saya, jika ini yang terbaik maka dekatkanlah
dan jika ini buruk maka jauhkanlah sejauh-jauhnya Ya Tuhan.
Alhamdulillah wa Innalillahi, amanah yang besar terembahkan pada
pundak yang lemah ini. Mengejutkan bagi saya, hampir 2/3 suara, Tuhan jadikan
mendukung saya. Memang ini amatlah berat, batasan antara surga dan neraka
begitu tipis. Namun, harapan dan do’a tercurahkan, semoga jiwa yang terembahkan
amanah ini bisa istiqomah memegang
teguh dien-Nya.
Maka, sejarahpun terukir,
pesimisme tersingkir, dan semoga mampu menginspirasi setiap diri, sehingga
tercipta sejarah-sejarah lain yang penuh dengan kebaikan.
Sekali lagi, tulisan ini saya
buat tanpa ada maksud menyakiti sahabat-sahabat saya mahasiswa program studi
lain. Namun, hanya ingin memberi secerca harapan pada rekan-rekan saya yang
merasa tereliminir, bahwa kemuliaan hakiki itu bukan diberi, melaikan harus
diperjuangkan dengan penuh pengorbanan.
0 komentar:
Post a Comment