Diperkirakan, jutaan penduduk
desa akan berpindah dan memenuhi sudut-sudut kota di masa yang akan datang.
Fenomena itu terjadi bukan tanpa sebab, pasalnya kantong-kantong perekonomian
negara berpusat di kota-kota, juga tentang kemewahan hidup yang ditawarkan;
kota menyimpan sejuta pesona. Serta tentu ada faktor-faktor lain yang membuat
para penghuni desa berduyun-duyun ke kota.
Ini adalah tulisan singkat yang
barangkali bisa menjadi potret kecil desa-desa di Indonesia. Ditulis
berdasarkan pengalaman nyata berinteraksi, hidup bersama, dan bersinergi dengan
masyarakat desa. Melalui sebuah program KKN-PPM UGM unit JTG-05 di Desa Gledeg,
Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Hampir satu bulan
penuh penulis menjalani program tersebut dari 1 Maret sampai dengan 30 April
2017.
Lokomotif perbaikan Indonesia ada
di desa, tak hanya di kota. Perlu diingat bahwa jumlah desa di Indonesia lebih
banyak ketimbang jumlah kota. Hanya fokus pada perbaikan kota tanpa upaya
serius menggenapi kekurangan desa-desa merupakan sebuah gagasan timpang yang
perlu dikoreksi. Faktanya, bisa kita lihat di desa-desa upaya gotong royong
warga seperti terlupa untuk direkam sebagai hal yang patut dihargai. Pemerintah
pusat dan juga media masa, mereka lebih suka bergumul dalam masalah mayor
kenegaraan ketimbang mengoptimalkan dan tentu juga mengintensifkan pemberdayaan
masyarakat desa, nampaknya masih demikian kentara.
Selanjutnya, mari kita renungi
dengan seksama bagaimana masyarakat desa berkeringat, namun masih sanggup
tersenyum ikhlas mengupayakan perbaikan negara melalui desa. Gotong royong, kita barangkali sering
melihat di layar televisi ada orang-orang yang merasa gagah laksana pahlawan,
menganggap dirinya berjasa besar pada negeri ini. Ada juga yang merasa paling
berkuasa dan paling berhak melakukan apa-apa pada negeri ini melalui
kebijakannya yang sering kali tak bijak. Saya punya saran pada mereka-mereka
itu, sesekali bolehlah bapak ibu berkunjung ke desa-desa, menginap dua-tiga malam, serta ikut acara-acara warga.
Hingga semoga, Anda masih bisa merasakan, bahwa Indonesia ini milik semua,
milik bersama. Anda bisa melihat bagaimana warga desa bergotong-royong,
konsisten, dan telaten menggalakan beberbagai
agenda desa, yang tentu dalam rangka perbaikan Indonesia. Misalnya melalui PKK,
ibu-ibu di Desa Gledeg masih saja mau direpotkan untuk kumpul rutin bulanan diengah kesibukan bekerja dan mengurus keluarga, juga menjalankan berbagai agenda, higga mengeluarkan uang pribadi untuk menggerakan PKK. Begitu pula para bapak,
takmir masjid/mushola, dan karangtaruna mereka rela tak digaji namun menjadi
orang yang nampak sibuk dengan kerja-kerja sosialnya.
Potensi spesifik, setiap desa atau wilayah tentu tak bisa disamakan
dalam manajemen pengelolaannya. Ada ke-khas-an yang mesti dikapitalisasi
menjadi sumber ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Contohnya di Desa Gledeg, sebuah desa tani
yang sebagian warganya menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Jika pemerintah
sanggup melihat ini sebagai potensi dan punya daya untuk berinovasi. Tentu masa
depan pertanian Indonesia akan lebih cerah, alih-alih sekadar mengimpor beras
dan menyaksikan rakyatnya kelaparan. Begitu pula desa lain, punya potensi
spesifik masing-masing, ada yang punya kelebihan di bidang pariwista, kerajinan
tangan, dan ada juga peternakan. Lalu, jika penyeragaman kebijakan masih jadi
solusi dan ke-khas-an tidak dilihat sebagai potensi, bagaiana Indonesia akan
maju? Potensi desa menjadi bukti bahwa tak hanya kota yang punya potensi dengan
segala industri dan pertokoannya, desa juga punya pertanian;wisata; peternakan;
dan lain sebagainya.
Selanjutnya menjadi saran bagi
pemerintah pusat atau daerah. Bahwa di desa-desa ada berbagai masalah yang
begitu kompleks. Terutama dalam sistem manajemen pemerintahan desa dan sumber
daya manusia. Salah satu contoh, dalam proses perencanaan desa, nampaknya
sangat perlu penekanan dan pembekalan mengenai data-based policy. Yang mana kebijakan yang dikeluarkan merupakan
hasil dari analisa data akurat, uji publik, dan tak hanya sekadar asumsi. Hal
demikianlah yang kedepan perlu dikembangkan agar tak ada yang serampangan dalam
mengelola desa.
Lalu, untuk sumber daya manusia.
Masih minimnya warga berpendidikan menengah ke atas hingga perguruan tinggi
masih potret nyata desa. Ada juga fenomena leadership crisis yan terlihat menjalar. Akibatnya terjadilah lack of management. Harapannya, jika
benar-benar pemerintah serius membangun desa, jangan hanya diberi uang saja.
Berikanlah juga alternatif solusi terhadap permasalahan sumberdaya manusia di
desa.
Pekerjaan rumah kita sebagai
sebuah bangsa masih banyak. Terlalu meng-anak-tiri-kan desa ketimbang kota
hanya akan menjadikan tugas-tugas kian menggunung. Sudah saatnya desa
berbenah.
0 komentar:
Post a Comment