Pendahuluan
Sebagai negara berkembang,
Indonesia tentu tidak luput dari masalah gizi. Indonesia memiliki dua masalah
gizi, yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Kasus
kurang
gizi di
Indonesia meliputi KEP (Kekurangan
Energi Protein), KVA (Kekurangan Vitamin A), GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan
Iodium), serta AGB (Anemia Gizi Besi). Sementara, kasus gizi lebih di Indonesia terjadi karena adanya
ketidakseimbangan dalam pemasukan dan pengeluaran energi pada tubuh di masyarakat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga sangat berpengaruh
pada gizi lebih. Masalah gizi di
Indonesia diantaranya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya pengetahuan tentang
gizi, kurangnya pengetahuan tentang menu seimbang dan kesehatan masyarakat,
lingkungan yang tidak memiliki kualitas kesehatan yang baik, kurangnya
kesediaan pangan, serta keterbatasan dalam pengolahan pangan (Almatsier, 2001). Selain itu, faktor lain seperti aspek
biologis, kebudayaan, serta nilai-nilai tradisional juga menjadi salah satu
penyebab adanya malnutrisi terutama pada balita yang disebabkan oleh kesalahan
perilaku ibu saat masa kehamilan (Am J
Clin Nutr, 2000 cit Jose O Mora dkk., 2012). Diantara berbagai faktor yang menyebabkan
masalah gizi tersebut, ada dua faktor utama yang memicu tingginya kuantitas
masalah gizi di suatu wilayah. Faktor utama tersebut adalah faktor demografi
dan lingkungan. Faktor demografi atau kependudukan erat kaitannnya dengan
jumlah dan distribusi penduduk di suatu wilayah (Wikipedia, 2012). Sedangkan faktor lingkungan berkaitan dengan
ketersediaan sumber daya alam untuk memenuhi
kebutuhan penduduk dalam lingkungan tersebut. Faktor lingkungan memiliki
keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan penduduk yang ada di dalamnya dikarenakan
sumber daya alam yang terbatas pula. Sedangkan jumlah penduduk yang terlalu
besar di suatu wilayah akibat dari distribusi penduduk yang tidak merata akan
memperbesar beban faktor lingkungan dalam memenuhi kebutuhan penduduk tersebut.
Permasalahan
Sebagaimana
berita yang termuat di Solo Pos edisi 23 November 2012, Tika Sekar Arum
menyampaikan bahwa salah
satu kasus gizi berupa malnutrisi
ditemukan di daerah Wonogiri beberapa waktu yang lalu. Masalah gizi buruk di Wonogiri meningkat pesat di 2012 dibandingkan
2011. Kasus
gizi buruk yang terjadi di Wonogiri pada umumnya terjadi karena kemiskinan yang
melanda daerah tersebut. Hal itu berkaitan erat dengan keterbatasan faktor
lingkungan dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk di wilayah tersebut. Selain kemiskinan, menurut beliau kasus gizi buruk
tersbut disebabkan karena kesalahan pola asuh dan juga penyakit kronis yang
dikarenakan banyak ibu
yang bekerja ke luar daerah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sehingga asupan gizi anak tidak diatur dengan baik. Berbagai upaya telah
dilakukan seperti penanganan bersama puskesmas dan posyandu daerah Wonogiri,
Program Makanana Tambahan (PMT), pemantauan, penanganan berdasarkan BBU atau
berat badan menurut umur,
serta penanganan kesehatan ke klinik gizi
berdasarkan BBTB atau berat badan dan tinggi badan. Sehingga kasus gizi
buruk di Wonogiri telah mengalami penurunan secara signifikan. Namun, masih
tetap ada beberapa kasus yang belum dapat ditangani karena adanya penyakit
bawaan yang menyertai anak tersebut.
Penyebab
Kasus Gizi Buruk di Wonogiri
Kasus gizi buruk di Wonogiri
disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor demografi dan lingkungan
yang termanifestasikan dalam wujud kemiskinan, penyakit kronis pada balita, dan kesalahan pola
asuh orang tua. Pada bagian ini, akan dijelaskan
bagaimana ketiga subfaktor
tersebut dapat mempengaruhi kasus gizi buruk di Wonogiri.
a.
Kemiskinan
Pada tahun 2007, Tanumihardjo, S.A. dkk. menjelaskan bahwa akibat kemiskinan yang tidak dapat dihindari adalah terjadinya kelaparan
dan ketidakkokohan pangan. Menurut
US Departmen of Agriculture (National
Research Council, 2006) dan Food
and Agriculture Organization (FAO, 2007) dalam Tanumihardjo, S.A. dkk. (2007), kelaparan adalah sensasi
gelisah atau menyakitkan karena kekurangan makanan yang bersifat involunter
(tidak disengaja). Sedang ketidakkokohan pangan merupakan keadaan dimana
seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan diet dan pilihan makanannya untuk
hidup aktif dan sehat karena memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi yang
terbatas terhadap makanan yang cukup, aman, dan bernutrisi. Kelaparan dan
ketidakkokohan pangan tersebut selanjutnya dapat menyebabkan malnutrisi
(American Dietetic Association, 2007). Oleh karena itu, kemiskinan yang terjadi akibat ketidak
mampuan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan penduduk di wilayah tersebut perlu
segera diatasi.
b.
Penyakit
Kronis
Beberapa jenis penyakit kronis maupun akut
berpotensi menyebabkan atau memperparah malnutrisi melalui beberapa jalan, di
antaranya melalui respon
terhadap trauma, infeksi atau inflamasi yang mempengaruhi metabolisme, nafsu
makan, absorpsi, atau asimilasi nutrien. Berikut ini lingkaran setan
perkembangan dan gerak maju malnutrisi yang berkaitan dengan penyakit (disease-related malnutrition). Penyakit kronis
menyebabkan anoreksia yang menyebabkan malnutrisi. Malnutrisi, bersamaan dengan
katabolisme yang dipengaruhi stres (stress-related catabolism) yang disebabkan oleh
inflamasi, meningkatkan resiko infeksi, disfungsi organ, dan gangguan
penyembuhan. Selanjutnya, hal tersebut dapat menjadi rangsangan untuk respon
inflamasi dan secara berurutan menyebabkan kelaparan yang kemudian dapat
memperparah malnutrisi. (Norman dkk., 2008)
c.
Pola
Asuh
Perilaku
masyarakat yang salah dalam pemilihan dan pemberian makanan pada anggota
keluarganya terutama pada anak-anaknya
merupakan salah satu faktor dominan penyebab gizi kurang (Harsiki T., 2002 cit
Fivi, 2004). Sementara itu, menurut Fivi (2004), di Indonesia, ibu memiliki
peran penting dalam mengatur urusan rumah tangga termasuk pengaturan menu makan
keluarga. Sesuai
penelitian yang dilakukannya,
ditemukan adanya hubungan pola asuh makan dengan status pekerjaan ibu dimana
pola asuh makan yang baik lebih tinggi persentasenya pada responden yang ibunya
tidak bekerja daripada ibu yang bekerja. Ibu yang bekerja di luar rumah
memiliki keterbatasan waktu dalam melaksanakan tugas-tugas rumah tangga
sehingga mempengaruhi pola asuh anak dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
anak (Luciasari, 1995 cit Fivi, 2004).
Solusi Cepat dan Tepat Penanggulangan
Permasalahan Gizi di Wonogiri
Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian,
Menteri Sosial, Menteri Negara Pangan dan Holtikultura dan Menteri Negara
Peranan Wanita melakukan kegiatan teknis operasional penanggulangan masalah
pangan dan gizi masyarakat sesuai bidang tugas dan fungsinya masing-masing
secara terpadu melalui langkah-langkah peningkatan upaya Revitalisasi Sistem
Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), Revitalisasi Posyandu dan Revitalisasi
Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) (Inpres No.8, 1999).
Kasus Gizi buruk di Wonogiri yang muncul pada
November 2012 merupakan
salah satu kasus yang berkenaan dengan permasalahan gizi anak Indonesia. Dua faktor
penyebab utama yang meliputi faktor demografi dan lingkungan perlu segera
diatasi agar kasus gizi buruk di Wonogiri tidak terjadi secara berkelanjutan.
Namun, perlunya waktu yang cenderung cukup lama untuk mengatasi kedua faktor utama
tersebut memicu timbulnya pemikiran kritis yang cepat dan tepat dikarenakan
kejadian gizi buruk di Wonogiri sudah cukup banyak. Sesuai dengan Inpres no.8 tahun 1999
yang kedua mengenai Revitalisasi
Usaha Perbaikan Gizi Keluarga. Solusi yang kami pilih adalah dengan pendampingan dan
suplementasi bagi penduduk Wonogiri baik yang menedrita gizi buruk maupun
tidak.
Pendampingan dilakukan oleh ahli gizi atau penyuluh
gizi terhadap keluarga penderita gizi buruk dan
yang beresiko menderita gizi buruk. Agar hasilnya lebih efektif, pendampingan
dilakukan dalam jumlah kecil yaitu dalam lingkup keluarga. Satu ahli gizi atau penyuluh
gizi diberi
tanggungjawab untuk mendampingi beberapa keluarga. Dalam upaya
edukasi masalah gizi tersebut objek berupa seluruh anggota keluarga.
Ahli gizi dan penyuluh gizi
mempunyai
kewajiban untuk menyelesaikan masalah gizi keluarga yang ditanggungnya. Ahli
gizi dan penyuluh gizi mendampingi
secara penuh beberapa keluarga tersebut. Selain menyelesaikan masalah gizi
keluarga, ahli gizi juga mengenalkan kepada keluarga-keluarga tersebut
dasar-dasar ilmu gizi yang harus dimiliki oleh keluarga agar tidak ada lagi
penderita gizi buruk. Apabila masyarakat sudah memahami dan kondisinya gizi
sudah membaik, ahli gizi atau penyuluh gizi mendampingi dan memantau
keluarga yang didampinginya
sesuai jadwal yang dibuat secara rutin dengan kuantitas yang diturunkan.
Sementara, solusi
dalam bentuk suplementasi yang dilakukan tergantung kebutuhan seseorang.
Misalnya saja anak
dalam keadaan gizi buruk mengalami penurunan daya tahan tubuh yang dapat
membuat mereka mudah terserang penyakit. Berdasarkan Buku Pedoman Pelayanan
Gizi Buruk yang diterbitkan Kemenkes RI 2011, solusi dari permasalahan itu adalah dengan pemberian suplemen vitamin
A dosis tinggi yang sesuai dengan dosis umur anak tersebut. Vitamin A memiliki
pengaruh pada kekebalan tubuh, karena kandungan vitamin A yaitu retinol dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B sehingga apabila
kekurangan vitamin A dapat menurunkan antibodi yang bergantung pada sel T
(Mulyati dkk., 2007). Suplemen yang lain juga
dapat meningkatkan daya tahan tubuh seperti Fe yang akan mengoptimalkan
kekebalan tubuh.
Selanjutnya,
anak gizi buruk juga diberi makanan untuk pemulihan gizi, baik berupa makanan lokal
atau pabrikan. Pemberian makanan untuk pemulihan gizi tersebut terdapat 3 jenis
pilihan yaitu F-100, makanan lokal dengan densitas energi yang sama terutama
lemak (minyak/santan/margarin), dan makanan therapeutic
atau gizi siap saji. F-100 adalah Formula makanan cair yang terbuat dari susu, gula, minyak dan
mineral mix, yang mengandung energi 100 kkal setiap 100 mililiternya. Hal yang
perlu diperhatikan dalam pemberian jenis makanan untuk pemulihan gizi adalah
disesuaikan dengan masa pemulihannya. Saat satu minggu pertama dilakukan
pemberian F-100 lalu untuk memberikan energi bagi anak tersebut dan minggu
berikutnya frekuensi dan jumlah dari F-100
dikurangi bersamaan dengan penambahan makanan keluarga (Kemenkes RI, 2011).
Program
1000 HPK Kurangi Risiko Gizi Buruk
1000 HPK (Hari
Pertama Kelahiran) merupakan masa penting yang berpotensi besar untuk
mengurangi risiko gizi buruk pada seorang anak. Penanganan yang berkala, berkelanjutan dan sedini
mungkin mutlak dibutuhkan dalam rangka penanggulangan jangka panjang. Bukan
hanya ada kasus kemudian penanganan, tapi justru pencegahan sebelum terjadi
kasus. Oleh karenanya, dibutuhkan kerja sama di setiap lini, antara pemerintah
selaku pemangku kebijakan, aparatur kesehatan, serta ibu yang memiliki wewenang
penuh atas anaknya.
Program 1000 Hari Pertama Kehidupan
(program 1000 HPK) merupakan cara yang efektif. Seperti yang disebutkan dalam
rancangan programnya, bahwa Gerakan
1000 HPK bukanlah inisiatif institusi maupun pembiayaan baru melainkan
meningkatkan efektivitas dari inisiatif yang telah ada yaitu meningkatkan
koordinasi termasuk dukungan teknis, advokasi tingkat tinggi, dan kemitraan
inovatif, dan partisipasi untuk meningkatkan keadaan gizi dan kesehatan
masyarakat, dan pembangunan.
Gerakan 1000 hari pertama
ini mendorong agar semua pemangku kebijakan, tidak hanya pemerintah, tapi juga
dunia usaha, organisasi profesi, dan lembaga kemasyarakatan untuk turut aktif
dalam penanggulangan permasalahan gizi anak Indonesia (Pedoman Perencanaan Program Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu
Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK), 2012 ). Status gizi
seorang anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pola asuh
ibu. Pola asuh yang dimaksudkan adalah
pemberian ASI eksklusif, MP (makanan pendamping) ASI, serta perawatan kesehatan lain yang diberikan
seorang ibu terhadap bayinya. Jika seorang ibu berkomitmen memberi bayinya ASI
eksklusif sampai berusia 6 bulan maka
asupan gizi bayi akan terjamin. Begitu juga dengan pemberian MP ASI yang tepat
dan sesuai dengan umur bayi serta perawatan kesehatan seperti imunisasi lengkap
akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan bayi. Pola asuh setiap ibu akan
berbeda. Perbedaan pola asuh didasari oleh beberapa hal seperti riwayat
pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tradisi yang berlaku di masyarakat, dan
sebagainya. Pengetahuan tentang asupan
gizi menjadi landasan bagi para ibu dalam mengatur pola makan untuk anaknya.
Sehingga dengan pengadaan pola makan yang tepat, gizi anak tercukupi.
Sebagai tindakan pencegahan
gizi buruk, seorang calon ibu maupun yang sudah menjadi ibu perlu mendapat
pengetahuan dasar gizi. Oleh karena itu,
setiap puskesmas atau tempat layanan kesehatan lainnya di setiap daerah diharapkan
dapat turut berpartisipasi dengan
mengadakan penyuluhan dan pemantauan langsung melalui program semacam KMS (Kartu Menuju
Sehat).
Pembekalan yang diberikan bertujuan supaya ibu mampu menentukan pola asuh yang
baik dan benar. Namun untuk mencegah dan menghilangkan kasus gizi buruk di
Indonesia kita perlu memperhatikan
variabel-variabel yang bepengaruh lainnya.
Variabel lain yang
berpengaruh terhadap status gizi seorang anak yaitu pekerjaan ibu yang ditilik
dari ketersediaan waktu ibu untuk mengasuh dan memperhatikan pola makan
anaknya. Karena setiap pertumbuhan dan perkembangan anak perlu dipantau, maka
dari itu setiap ibu perlu menyediakan waktu untuk anaknya, sesibuk apapun
pekerjaan ibu. Namun apabila ada kendala lain pastikan ibu menyerahkan
pengasuhan anaknya di tangan orang yang mampu dipercaya, sehingga asupan gizi anak akan
terjamin.
Pada beberapa kasus gizi
buruk, ditemukan bahwa apabila seorang anak menderita gizi buruk semenjak masa kehamilan dan tidak segera
ditangani sampai batas umur tertentu, maka gizi buruk tersebut akan bersifat irreversible atau tidak dapat
disembuhkan. Oleh karena itu, motto pencegahan lebih baik daripada
pengobatan perlu ditanamkan demi mengurangi kasus gizi buruk di Indonesia.
Dengan demikian, diharapkan
dengan program ini pemangku kebijakan memiliki komitmen dan gerakan nyata dalam
perencanaan serta penganggaran di setiap jenjang kepemimpinan, dari tingkat
kecamatan hingga tingkat pusat. Namun, tentunya gerakan ini tidak akan berhasil
tanpa koordinasi yang baik, maka dari itu,
pemerintah pusatlah yang harus memonitoring setiap langkah yang ditempuh
pemangku kebijakan di bidang ini (Pedoman
Perencanaan Program Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama
Kehidupan (1000 HPK), 2012 ). Jika semua pihak telah sepaham akan pentingnya
penanganan sedini mungkin dan
terkoordinasi dengan baik, program 1000 HPK akan berdampak besar bagi penyelesaian permasalahan gizi di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi.
Jakarta: Gramedia.
Anonim.
(2012). Demografi. Wikipedia
Ensiklopedia Bebas. Tersedia dalam: <http://id.wikipedia.org/wiki/Demografi> [Diakses 10 Januari 2013].
Aswin., Saryono. &
Rahmawati, Dian. (2006) Hubungan Pola Asuh dan Status Gizi pada Bayi di Desa
Wangon, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of
Nursing), 3 (2) Juli, pp. 86-94.
Chandradewi,
A.A.S.P., Suranadi, Luh. (2008) Studi tentang Karakteristik Keluarga dan Pola
Asuh pada balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk di Kabupaten Lombok Barat. Jurnal Kesehatan Prima, 2 (2) Agustus,
pp. 296-303. Tersedia dalam: <http://www.scholar.google.co.id> [Diakses 6
Desember 2012].
Diana,
F. M. (2006) Hubungan Pola Asuh Dengan
Status Gizi Anak Batita Di Kecamatan Kuranji Kelurahan Pasar Ambacang Kota
Padang Tahun 2004. Jurnal
Kesehatan Masyarakat [Internet], September, I (1) pp. 19-23. Tersedia dalam:
<http://www.jurnalkesmas.com/index.php/kesmas/article/view/18/13>
[Diakses 6 Desember 2012].
Direktorat
Kesehatan dan Gizi Masyarakat. (2012). Kerangka
Kebijakan Gerakan Sadar Gizi dalam Rangka 1000 HPK Republik Indonesia[Internet].
Jakarta : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tersedia dalam:
<http://kgm.bappenas.go.id> [Diakses 6 Desember 2012].
Elida.
& Fridayati, Lucy. (2011) Penaggulangan Gizi Buruk Melalui Analisis Sikap
dan Kebiasaan Ibu dalam Pengaturan Makanan Keluarga. Jurnal Gizi dan Pangan, 6(1), pp. 84-89. Tersedia dalam:
<http://www.scholar.google.co.id> [Diakses 6 Desember 2012].
Mora,
J. O. & Nestel, S. N. (2000) Improving Prenatal Nutrition in Developing
Countries: Strategis, Prospects, and Challenges. The American Journal of Clinical Nutrition, 71 Suppl, 1353S-63S.
Tersedia dalam: <http://
ajcn.nutrition.org/>
[Diakses 6
Desember 2012].
Norman,
K., Pichard, C., Lochs, H., Pirlich, M. (2008) Prognostic
Impact of
Disease-Related Malnutrition. Clinical Nutrition [Internet], No. 27
pp. 5–15. Tersedia dalam:
<http://www.clinicalnutritionjournal.com/article/S0261-5614(07)00168-9/fulltext>
[Diakses 7 Desember 2012].
Presiden
Republik Indonesia. (1999). Instruksi Presiden No. 8 Tentang Gerakan Nasional
Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi. Jakarta: Biro Peraturan
Perundang-undangan. Tersedia dalam: <portal.mahkamahkonstitusi.go.id>
[Diakses 7 Desember 2012].
Tanumihardjo,
S.A., Anderson, C., Kaufer-Horwitz, M., Bode, L., Emenaker, N. J., Haqq, A.M.,
Satia, J. A., Silver, H. J., Stadler D. D. (2006) Poverty, Obesity, and
Malnutrition: An International Perspective Recognizing the Paradox. Journal
of the American Dietetic Association [Internet], No. 107, pp. 1966-1972. Tersedia dalam:
<http://www.journals.elsevierhealth.com/periodicals/yjada/article/S0002-8223(07)01617-3/fulltext>
[Diakses 1 Januari 2013].
[Mokhamad Ali Zaenal Abidin et al.]
0 komentar:
Post a Comment