Sunday, January 20, 2013

Penanganan Gizi Buruk di Wonogiri

Standard


Pendahuluan
Sebagai negara berkembang, Indonesia tentu tidak luput dari masalah gizi. Indonesia memiliki dua masalah gizi, yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Kasus kurang gizi di Indonesia meliputi  KEP (Kekurangan Energi Protein), KVA (Kekurangan Vitamin A), GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium), serta AGB (Anemia Gizi Besi). Sementara, kasus gizi lebih di Indonesia terjadi karena adanya ketidakseimbangan dalam pemasukan dan pengeluaran energi pada tubuh di masyarakat. Selain itu,  pertumbuhan ekonomi juga sangat berpengaruh pada  gizi lebih. Masalah gizi di Indonesia diantaranya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya pengetahuan tentang gizi, kurangnya pengetahuan tentang menu seimbang dan kesehatan masyarakat, lingkungan yang tidak memiliki kualitas kesehatan yang baik, kurangnya kesediaan pangan, serta keterbatasan dalam pengolahan pangan (Almatsier, 2001). Selain itu, faktor lain seperti aspek biologis, kebudayaan, serta nilai-nilai tradisional juga menjadi salah satu penyebab adanya malnutrisi terutama pada balita yang disebabkan oleh kesalahan perilaku ibu saat masa kehamilan (Am J Clin Nutr, 2000 cit Jose O Mora dkk., 2012).  Diantara berbagai faktor yang menyebabkan masalah gizi tersebut, ada dua faktor utama yang memicu tingginya kuantitas masalah gizi di suatu wilayah. Faktor utama tersebut adalah faktor demografi dan lingkungan. Faktor demografi atau kependudukan erat kaitannnya dengan jumlah dan distribusi penduduk di suatu wilayah (Wikipedia, 2012). Sedangkan faktor lingkungan berkaitan dengan ketersediaan sumber daya alam  untuk memenuhi kebutuhan penduduk dalam lingkungan tersebut. Faktor lingkungan memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan penduduk yang ada di dalamnya dikarenakan sumber daya alam yang terbatas pula. Sedangkan jumlah penduduk yang terlalu besar di suatu wilayah akibat dari distribusi penduduk yang tidak merata akan memperbesar beban faktor lingkungan dalam memenuhi kebutuhan penduduk tersebut.

Permasalahan
Sebagaimana berita yang termuat di Solo Pos edisi 23 November 2012, Tika Sekar Arum menyampaikan bahwa salah satu kasus gizi berupa malnutrisi ditemukan di daerah Wonogiri beberapa waktu yang lalu. Masalah gizi buruk di Wonogiri meningkat pesat di 2012 dibandingkan 2011. Kasus gizi buruk yang terjadi di Wonogiri pada umumnya terjadi karena kemiskinan yang melanda daerah tersebut. Hal itu berkaitan erat dengan keterbatasan faktor lingkungan dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk di wilayah tersebut. Selain kemiskinan, menurut beliau kasus gizi buruk tersbut disebabkan karena kesalahan pola asuh dan juga penyakit kronis yang dikarenakan banyak ibu yang bekerja ke luar daerah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari,  sehingga asupan gizi anak tidak diatur dengan baik. Berbagai upaya telah dilakukan seperti penanganan bersama puskesmas dan posyandu daerah Wonogiri, Program Makanana Tambahan (PMT), pemantauan, penanganan berdasarkan BBU atau berat badan menurut umur, serta penanganan kesehatan ke klinik gizi  berdasarkan BBTB atau berat badan dan tinggi badan. Sehingga kasus gizi buruk di Wonogiri telah mengalami penurunan secara signifikan. Namun, masih tetap ada beberapa kasus yang belum dapat ditangani karena adanya penyakit bawaan yang menyertai anak tersebut.

Penyebab Kasus Gizi Buruk di Wonogiri
Kasus gizi buruk di Wonogiri disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor demografi dan lingkungan yang termanifestasikan dalam wujud kemiskinan, penyakit kronis pada balita, dan kesalahan pola asuh orang tua. Pada bagian ini, akan dijelaskan bagaimana ketiga subfaktor tersebut dapat mempengaruhi kasus gizi buruk di Wonogiri.
a.      Kemiskinan
Pada tahun 2007, Tanumihardjo, S.A. dkk. menjelaskan bahwa akibat kemiskinan yang tidak dapat dihindari adalah terjadinya kelaparan dan ketidakkokohan pangan. Menurut US Departmen of Agriculture (National Research Council, 2006) dan Food and Agriculture Organization (FAO, 2007) dalam Tanumihardjo, S.A. dkk. (2007), kelaparan adalah sensasi gelisah atau menyakitkan karena kekurangan makanan yang bersifat involunter (tidak disengaja). Sedang ketidakkokohan pangan merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan diet dan pilihan makanannya untuk hidup aktif dan sehat karena memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi yang terbatas terhadap makanan yang cukup, aman, dan bernutrisi. Kelaparan dan ketidakkokohan pangan tersebut selanjutnya dapat menyebabkan malnutrisi (American Dietetic Association, 2007). Oleh karena itu, kemiskinan yang terjadi akibat ketidak mampuan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan penduduk di wilayah tersebut perlu segera diatasi.
b.    Penyakit Kronis
Beberapa jenis penyakit kronis maupun akut berpotensi menyebabkan atau memperparah malnutrisi melalui beberapa jalan, di antaranya melalui respon terhadap trauma, infeksi atau inflamasi yang mempengaruhi metabolisme, nafsu makan, absorpsi, atau asimilasi nutrien. Berikut ini lingkaran setan perkembangan dan gerak maju malnutrisi yang berkaitan dengan penyakit (disease-related malnutrition). Penyakit kronis menyebabkan anoreksia yang menyebabkan malnutrisi. Malnutrisi, bersamaan dengan katabolisme yang dipengaruhi stres (stress-related catabolism) yang disebabkan oleh inflamasi, meningkatkan resiko infeksi, disfungsi organ, dan gangguan penyembuhan. Selanjutnya, hal tersebut dapat menjadi rangsangan untuk respon inflamasi dan secara berurutan menyebabkan kelaparan yang kemudian dapat memperparah malnutrisi. (Norman dkk., 2008)
c.    Pola Asuh
Perilaku masyarakat yang salah dalam pemilihan dan pemberian makanan pada anggota keluarganya terutama pada anak-anaknya merupakan salah satu faktor dominan penyebab gizi kurang (Harsiki T., 2002 cit Fivi, 2004). Sementara itu, menurut Fivi (2004), di Indonesia, ibu memiliki peran penting dalam mengatur urusan rumah tangga termasuk pengaturan menu makan keluarga. Sesuai penelitian yang dilakukannya, ditemukan adanya hubungan pola asuh makan dengan status pekerjaan ibu dimana pola asuh makan yang baik lebih tinggi persentasenya pada responden yang ibunya tidak bekerja daripada ibu yang bekerja. Ibu yang bekerja di luar rumah memiliki keterbatasan waktu dalam melaksanakan tugas-tugas rumah tangga sehingga mempengaruhi pola asuh anak dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak (Luciasari, 1995 cit Fivi, 2004).

Solusi Cepat dan Tepat Penanggulangan Permasalahan Gizi di Wonogiri
Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, Menteri Sosial, Menteri Negara Pangan dan Holtikultura dan Menteri Negara Peranan Wanita melakukan kegiatan teknis operasional penanggulangan masalah pangan dan gizi masyarakat sesuai bidang tugas dan fungsinya masing-masing secara terpadu melalui langkah-langkah peningkatan upaya Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), Revitalisasi Posyandu dan Revitalisasi Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) (Inpres No.8, 1999).

Kasus Gizi buruk di Wonogiri yang muncul pada November 2012 merupakan salah satu kasus yang berkenaan dengan permasalahan gizi anak Indonesia. Dua faktor penyebab utama yang meliputi faktor demografi dan lingkungan perlu segera diatasi agar kasus gizi buruk di Wonogiri tidak terjadi secara berkelanjutan. Namun, perlunya waktu yang cenderung cukup lama untuk mengatasi kedua faktor utama tersebut memicu timbulnya pemikiran kritis yang cepat dan tepat dikarenakan kejadian gizi buruk di Wonogiri sudah cukup banyak. Sesuai dengan Inpres no.8 tahun 1999 yang kedua mengenai Revitalisasi Usaha Perbaikan Gizi Keluarga.  Solusi yang kami pilih adalah dengan pendampingan dan suplementasi bagi penduduk Wonogiri baik yang menedrita gizi buruk maupun tidak.

Pendampingan dilakukan oleh ahli gizi atau penyuluh gizi terhadap keluarga penderita gizi buruk dan yang beresiko menderita gizi buruk. Agar hasilnya lebih efektif, pendampingan dilakukan dalam jumlah kecil yaitu dalam lingkup keluarga. Satu ahli gizi atau penyuluh gizi diberi tanggungjawab untuk mendampingi beberapa keluarga. Dalam upaya edukasi masalah gizi tersebut objek berupa seluruh anggota keluarga.

Ahli gizi dan penyuluh gizi mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan masalah gizi keluarga yang ditanggungnya. Ahli gizi dan penyuluh gizi mendampingi secara penuh beberapa keluarga tersebut. Selain menyelesaikan masalah gizi keluarga, ahli gizi juga mengenalkan kepada keluarga-keluarga tersebut dasar-dasar ilmu gizi yang harus dimiliki oleh keluarga agar tidak ada lagi penderita gizi buruk. Apabila masyarakat sudah memahami dan kondisinya gizi sudah membaik, ahli gizi atau penyuluh gizi mendampingi dan memantau keluarga yang didampinginya sesuai jadwal yang dibuat secara rutin dengan kuantitas yang diturunkan.

Sementara, solusi dalam bentuk suplementasi yang dilakukan tergantung kebutuhan seseorang. Misalnya saja anak dalam keadaan gizi buruk mengalami penurunan daya tahan tubuh yang dapat membuat mereka mudah terserang penyakit. Berdasarkan Buku Pedoman Pelayanan Gizi Buruk yang diterbitkan Kemenkes RI 2011, solusi dari permasalahan itu adalah dengan pemberian suplemen vitamin A dosis tinggi yang sesuai dengan dosis umur anak tersebut. Vitamin A memiliki pengaruh pada kekebalan tubuh, karena kandungan vitamin A yaitu retinol dapat mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B sehingga apabila kekurangan vitamin A dapat menurunkan antibodi yang bergantung pada sel T (Mulyati dkk., 2007). Suplemen yang lain juga dapat meningkatkan daya tahan tubuh seperti Fe yang akan mengoptimalkan kekebalan tubuh.

Selanjutnya, anak gizi buruk juga diberi makanan untuk pemulihan gizi, baik berupa makanan lokal atau pabrikan. Pemberian makanan untuk pemulihan gizi tersebut terdapat 3 jenis pilihan yaitu F-100, makanan lokal dengan densitas energi yang sama terutama lemak (minyak/santan/margarin), dan makanan therapeutic atau gizi siap saji. F-100 adalah Formula makanan cair yang terbuat dari susu, gula, minyak dan mineral mix, yang mengandung energi 100 kkal setiap 100 mililiternya. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian jenis makanan untuk pemulihan gizi adalah disesuaikan dengan masa pemulihannya. Saat satu minggu pertama dilakukan pemberian F-100 lalu untuk memberikan energi bagi anak tersebut dan minggu berikutnya frekuensi dan jumlah dari F-100 dikurangi bersamaan dengan penambahan makanan keluarga (Kemenkes RI, 2011).          
  
Program 1000 HPK Kurangi Risiko Gizi Buruk
1000 HPK (Hari Pertama Kelahiran) merupakan masa penting yang berpotensi besar untuk mengurangi risiko gizi buruk pada seorang anak. Penanganan yang berkala, berkelanjutan dan sedini mungkin mutlak dibutuhkan dalam rangka penanggulangan jangka panjang. Bukan hanya ada kasus kemudian penanganan, tapi justru pencegahan sebelum terjadi kasus. Oleh karenanya, dibutuhkan kerja sama di setiap lini, antara pemerintah selaku pemangku kebijakan, aparatur kesehatan, serta ibu yang memiliki wewenang penuh atas anaknya.

Program 1000 Hari Pertama Kehidupan (program 1000 HPK) merupakan cara yang efektif. Seperti yang disebutkan dalam rancangan programnya, bahwa Gerakan 1000 HPK bukanlah inisiatif institusi maupun pembiayaan baru melainkan meningkatkan efektivitas dari inisiatif yang telah ada yaitu meningkatkan koordinasi termasuk dukungan teknis, advokasi tingkat tinggi, dan kemitraan inovatif, dan partisipasi untuk meningkatkan keadaan gizi dan kesehatan masyarakat, dan pembangunan.

Gerakan 1000 hari pertama ini mendorong agar semua pemangku kebijakan, tidak hanya pemerintah, tapi juga dunia usaha, organisasi profesi, dan lembaga kemasyarakatan untuk turut aktif dalam penanggulangan permasalahan gizi anak Indonesia (Pedoman Perencanaan Program Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK), 2012 ). Status gizi seorang anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pola asuh ibu.  Pola asuh yang dimaksudkan adalah pemberian ASI eksklusif, MP (makanan pendamping) ASI, serta  perawatan kesehatan lain yang diberikan seorang ibu terhadap bayinya. Jika seorang ibu berkomitmen memberi bayinya ASI eksklusif  sampai berusia 6 bulan maka asupan gizi bayi akan terjamin. Begitu juga dengan pemberian MP ASI yang tepat dan sesuai dengan umur bayi serta perawatan kesehatan seperti imunisasi lengkap akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan bayi. Pola asuh setiap ibu akan berbeda. Perbedaan pola asuh didasari oleh beberapa hal seperti riwayat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tradisi yang berlaku di masyarakat, dan sebagainya.  Pengetahuan tentang asupan gizi menjadi landasan bagi para ibu dalam mengatur pola makan untuk anaknya. Sehingga dengan pengadaan pola makan yang tepat, gizi anak tercukupi.

Sebagai tindakan pencegahan gizi buruk, seorang calon ibu maupun yang sudah menjadi ibu perlu mendapat pengetahuan dasar gizi. Oleh karena itu, setiap puskesmas atau tempat layanan kesehatan lainnya di setiap daerah diharapkan dapat turut berpartisipasi dengan mengadakan penyuluhan dan pemantauan langsung melalui program semacam KMS (Kartu Menuju Sehat). Pembekalan yang diberikan bertujuan supaya ibu mampu menentukan pola asuh yang baik dan benar. Namun untuk mencegah dan menghilangkan kasus gizi buruk di Indonesia  kita perlu memperhatikan variabel-variabel yang bepengaruh lainnya.

Variabel lain yang berpengaruh terhadap status gizi seorang anak yaitu pekerjaan ibu yang ditilik dari ketersediaan waktu ibu untuk mengasuh dan memperhatikan pola makan anaknya. Karena setiap pertumbuhan dan perkembangan anak perlu dipantau, maka dari itu setiap ibu perlu menyediakan waktu untuk anaknya, sesibuk apapun pekerjaan ibu. Namun apabila ada kendala lain pastikan ibu menyerahkan pengasuhan anaknya di tangan orang yang mampu dipercaya, sehingga asupan gizi anak akan terjamin.

Pada beberapa kasus gizi buruk, ditemukan bahwa apabila seorang anak menderita gizi buruk semenjak masa kehamilan dan tidak segera ditangani sampai batas umur tertentu, maka gizi buruk tersebut akan bersifat irreversible atau tidak dapat disembuhkan. Oleh karena itu,  motto pencegahan lebih baik daripada pengobatan perlu ditanamkan demi mengurangi kasus gizi buruk di Indonesia.

Dengan demikian, diharapkan dengan program ini pemangku kebijakan memiliki komitmen dan gerakan nyata dalam perencanaan serta penganggaran di setiap jenjang kepemimpinan, dari tingkat kecamatan hingga tingkat pusat. Namun, tentunya gerakan ini tidak akan berhasil tanpa koordinasi yang baik, maka dari itu, pemerintah pusatlah yang harus memonitoring setiap langkah yang ditempuh pemangku kebijakan di bidang ini (Pedoman Perencanaan Program Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK), 2012 ). Jika semua pihak telah sepaham akan pentingnya penanganan sedini mungkin dan terkoordinasi dengan baik, program 1000 HPK akan berdampak besar bagi penyelesaian permasalahan gizi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia.
Anonim. (2012). Demografi. Wikipedia Ensiklopedia Bebas. Tersedia dalam: <http://id.wikipedia.org/wiki/Demografi> [Diakses 10 Januari 2013].
 Aswin., Saryono. & Rahmawati, Dian. (2006) Hubungan Pola Asuh dan Status Gizi pada Bayi di Desa Wangon, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), 3 (2) Juli, pp. 86-94.
Chandradewi, A.A.S.P., Suranadi, Luh. (2008) Studi tentang Karakteristik Keluarga dan Pola Asuh pada balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk di Kabupaten Lombok Barat. Jurnal Kesehatan Prima, 2 (2) Agustus, pp. 296-303. Tersedia dalam: <http://www.scholar.google.co.id> [Diakses 6 Desember 2012].
Diana, F. M. (2006) Hubungan Pola Asuh Dengan Status Gizi Anak Batita Di Kecamatan Kuranji Kelurahan Pasar Ambacang Kota Padang Tahun 2004. Jurnal Kesehatan Masyarakat [Internet], September, I (1) pp. 19-23. Tersedia dalam: <http://www.jurnalkesmas.com/index.php/kesmas/article/view/18/13> [Diakses 6 Desember 2012].
Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat. (2012). Kerangka Kebijakan Gerakan Sadar Gizi dalam Rangka 1000 HPK Republik Indonesia[Internet]. Jakarta : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tersedia dalam: <http://kgm.bappenas.go.id> [Diakses 6 Desember 2012].
Elida. & Fridayati, Lucy. (2011) Penaggulangan Gizi Buruk Melalui Analisis Sikap dan Kebiasaan Ibu dalam Pengaturan Makanan Keluarga. Jurnal Gizi dan Pangan, 6(1), pp. 84-89. Tersedia dalam: <http://www.scholar.google.co.id> [Diakses 6 Desember 2012].
Mora, J. O. & Nestel, S. N. (2000) Improving Prenatal Nutrition in Developing Countries: Strategis, Prospects, and Challenges. The American Journal of Clinical Nutrition, 71 Suppl, 1353S-63S. Tersedia dalam: <http:// ajcn.nutrition.org/> [Diakses 6 Desember 2012].
Norman, K., Pichard, C., Lochs, H., Pirlich, M. (2008) Prognostic Impact of Disease-Related Malnutrition. Clinical Nutrition [Internet], No. 27 pp. 5–15. Tersedia dalam: <http://www.clinicalnutritionjournal.com/article/S0261-5614(07)00168-9/fulltext> [Diakses 7 Desember 2012].
Presiden Republik Indonesia. (1999). Instruksi Presiden No. 8 Tentang Gerakan Nasional Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi. Jakarta: Biro Peraturan Perundang-undangan.  Tersedia dalam: <portal.mahkamahkonstitusi.go.id> [Diakses 7 Desember 2012].
Tanumihardjo, S.A., Anderson, C., Kaufer-Horwitz, M., Bode, L., Emenaker, N. J., Haqq, A.M., Satia, J. A., Silver, H. J., Stadler D. D. (2006) Poverty, Obesity, and Malnutrition: An International Perspective Recognizing the Paradox. Journal of the American Dietetic Association [Internet], No. 107, pp. 1966-1972. Tersedia dalam: <http://www.journals.elsevierhealth.com/periodicals/yjada/article/S0002-8223(07)01617-3/fulltext> [Diakses 1 Januari 2013].

[Mokhamad Ali Zaenal Abidin et al.]

0 komentar:

Post a Comment