Tuesday, November 8, 2016

Apakah Pak Jokowi Telah Berubah? Sebuah Telisik Dua Aksi Massa

Standard
Dua puluh Oktober

Dua puluh Oktober silam, tepat di momentum dua tahun pemerintahan Jokowi-JK ribuan mahasiswa dari segenap penjuru Indonesia beserta serikat buruh berkumpul di kawasan monas. Massa aksi dengan lantang mengungkapkan kekecewaan dan catatan merah pemerintah Jokowi-JK.

Ada banyak massa aksi yang berasal dari luar jawa. Mereka yang notabenenya mahasiswa rela mengurangi jatah uang jajannya untuk berangat ke ibu kota. Demi menyampaikan aspirasi langsung di hadapan Presiden mereka rela berkorban harta, tenaga, waktu, dan tentu kesempatan belajar di kampus. Lantang menyerukan aspirasi demi perbaikan bangsa menjadi ruh yang tersemai subur di hati mereka.

Masih di tanggal yang sama, publik dibanjiri berbagai infomasi mengenai kinerja Kabinet Kerja. Media cetak hingga online, hampir semua memberitakan progresifitas kinerja Jokowi-JK. Seolah ingin menyampaikan bahwa masyarakat puas dengan kinerja kabinet dua tahun ini. Bukan tak ada, namun hanya sedikit media massa yang berani mengungkap catatan merah pemerintahan Jokwi-JK, entah apa sebabnya.

Pemberitaan postif yang “terlalu” santer di media massa seolah menjadikan pemerintah di atas angin. Berbagai aksi dan kritik dalam momentum dua tahun kabinet dianggap menjadi sah untuk diabaikan. Termasuk massa aksi dikawasan monas yang terus berjalan mengarah ke istana negara. Mereka yang berhari-hari sebelumnya telah melayangkan surat resmi dengan harapan Presiden bersedia menemui, harus pulang dengan kekecewaan. Presiden tak menemui massa aksi dengan alasan normatifnya. Namun, lagi-lagi, dalam situasi ini kondisi seolah mewajarkan. Presiden sedang bekerja, tak boleh diganggu, toh dua tahun ini kinerja kabinet sudah bagus kan? Serta berbagai ujaran lain yang senada.

Empat November

Belum genap satu bulan, publik dihebohkan dengan aksi 411. Aksi ini muncul sebagai reaksi umat Islam terhadap penistaan Al-Qur’an oleh Ahok. Berhari-hari sebelum empat november, media massa dan media sosial dipenuhi dengan pemberitaan pra-aksi 411. 

Tak tanggung-tanggung, aksi kali ini menyentuh angka lebih dari empat juta massa aksi. Semua tumpah ruah di kawasan Hotel Indonesia (HI). Sekejap kawasan HI menjelma bak lautan manusia yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia.

Persamaan kedua aksi tersebut

Ada cukup banyak persamaan dalam kedua aksi tersebut. Namun, ada dua persamaan yang sangat penting untuk kita cermati bersama.
Pertama, sama-sama bersifat suka rela. Di kedua aksi tersebut massa aksi yang berasal dari seluruh Indonesia sama-sama menggunakan uang pribadi secara suka rela untuk biaya transportasi dan akomodasi.

Kedua, sama-sama tak ditemui Presiden. Kedua massa aksi telah melayangkan surat resmi agar disaat mereka aksi Presiden bersedia menemu massa aksi. Namun massa kedua aksi tersebut sama-sama mesti menelan ludah dan pulang dengan kecewa sebab Presiden tak menemuinya.

Khusus untuk point yang kedua, menjadi penting untuk ditelaah. Mengapa Presiden tak menemui massa di kedua aksi?

Apakah Jokowi telah berubah? Dulu saat menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta  Jokowi terkenal seantero Indonesia sebagai pemimpin yang gemar blusukan sehigga gampang ditemui rakyatnya. Sementara sekarang, saat rakyat dari seantero Indonesia rela menghabiskan uangnya untuk transportasi dan akomodasi ke Jakarta semata-mata ingin menyampaikan aspirasi langsung tanpa hijab, mengapa Presiden tak menemui rakyatnya? Seolah dalih kunjungan kerja atau rapat menjadi wajar untuk mengabaikan rakyat.

Dalam hal ini saya menjadi terketuk untuk mengingatkan Pak Jokowi yang merupakan seorang muslim dengan nasihat berikut ini.

“Seorang pemimpin yang menutup pintunya pada orang-orang yang memiliki hajat padanya, maka Allah pun menutup pintu langit dari segala hajat dirinya”-Al Albani

Saya memahami betapa beratnya amanah kepemimpinan Pak Jokowi. Sehingga tentu Bapak tak luput dari khilaf. Namun, sebaik-baik mereka yang sedang khilaf adalah mereka yang mau mendengarkan nasihat. Tak peduli siapa yang memberi nasihat, yang jauh lebih penting adalah substansinya.
Terakhir, Pak Jokowi mesti tahu bahwa kami merindukan pemimpin yang benar-benar menjadi pelayan bagi rakyat; pemimpin yang dekat dan menghadirkan rasa aman bagi rakyatnya.

Related Posts:

0 komentar:

Post a Comment