Rasa-rasanya mudik kali ini
menjadi semacam pereda kulminasi yang melanda. Sepanjang dua bulan lalu
hari-hari yang cukup padat merayap menjadi semacam “line way” yang makin menyadarkan bahwa diri ini masih sangat banyak
kurangnya dan masih butuh banyak belajar.
Dimulai dari cerita 18 hari di
Pare yang memberikan banyak insight, proses
finishing buku, hingga 22 hari
menjadi Manager Hayaku Jogja.
Keberngkatan ke Pare pada 8 Juni
silam menjadi langkah antisipatif terhadap waktu luang pasca kuliah kerja nyata
(kkn) yang usai di akhir april. Rasanya tak ingin waktu terbuang sia-sia dengan
tanpa melakukan apapun. Terlebih tanggungan akademik telah usai dan hanya
tinggal menunggu keluarnya nilai kkn, yudisium, dan lalu wisuda. Apalagi
belajar bahasa inggris menjadi satu hal yang urgent di era sekarang ini, khususnya bagi pemuda yang masih belum
fasih berbahasa inggris seperti saya.
Sejujurnya, ekspektasi awal saya
ke Pare memang relatif rendah pada mulanya. Hanya sekadar mengisi waktu luang
dan lalu belajar bahasa inggris sekadar untuk mengenal apa itu TOEFL IBT. Ya,
niatnya saya ingin belajar TOEFL IBT di Pare, sebelumnya saya hanya kenal TOEFL
PBT dan ITP. Hingga qodarulloh akhirnya
saya malah belajar IELTS disina. Belajar IELTS, tidak terbayang pada mulanya.
Namun karena unpredictable condition akhirnya
mulailah hari-hari saya di Pare dijalani bersama IELTS.
Di Pare saya belajar di dua
lembaga, yaitu Global English dan English Studio yang memang fokus memberikan
layanan belajar IELTS. Dan disanalah untuk pertama kali saya berkenalan dan
bercengkrama dengan IELTS. Ada total 6 program yang saya ikuti di dua lembaga
belajar tadi, meliputi reading,
listening, writing 1,writing 2, speaking, dan scoring for IELTS. Serta
masih ada program camp hampir setiap hari di jam 05.00-06.00 pagi dan
18.30-20.00 petang. Sehingga, dari
jam 05.00-20.00 waktu saya digunakan untuk belajar bahasa inggris. How so productive time isn’t it? Melelahkan,
tapi saya senang. Tiada (atau sedikit) kesia-siaan waktu dengan begitu.
Selanjutnya selalu menarik untuk
bicara tentang perjumpaan. Saya beruntung bisa berjumpa dengan banyak pemuda
dari berbagai pelosok tanah air. Lebih spesifik, pemuda yang ambiz untuk kuliah ke luar negeri dan
belajar mati-matian untuk mencapai score IELTS
6,5 ke atas. Ada dari mereka yang di Pare ber-bulan-bulan, bahkan masuk
hitungan tahun. Hikmahnya saya jadi lebih termotivasi untuk belajar IELTS dan
menjalani hari dengan “keminggris” (It is “term” how I call my self for being
crazy because of english practice daily). Hikmah lainnya, “I learn more that nothing is impossible”. Asal
mau sungguh-sungguh dan cerdas dalam berstrategi inshaAllah semuanya cita bisa
dicapai. And finally, for 18 days learning
IELTS, alhamdulillah I reach score
5,5 to 6 out of 9 (simulation test). InshaAllah dengan belajar terus dan
terus skor IELTS bisa naik, saya optimis. Seperti kata seorang abang “banyak latihan
tak akan menghianati hasil”.
Selanjutnya, cerita yang datang
dari sebuah resto jepang bernama “Hayaku”. Di tengah periode les di Pare, saya
menerima pesan whatsapp dari manager Hayaku Jogja. Beliau meminta
tolong pada saya untuk menggantikan posisinya sementara, kabarnya beliau akan
ke luar kota sekitar 2,5 bulan. Awlanya saya ragu dan lebih cenderung menolak
tawaran itu. Lalu seperti biasa, saya telpon Umi untuk meminta pertimbangan.
Dan lalu, sejujurnya ada alasan lebih rasional yang saya ambil why I take this job. Pikiran saya yang
saat itu sedang candu dengan IELTS, “sepertinya saya butuh segera official test IELTS yang mahal itu, tapi bagaimana ya biar ga merepotkan orangtua, malu kalo minta
duit lagi dan lagi”. Pertimbangan lainnya, I
think “it is will be so exciting” learning by working. Belajar tentang
manajemen penyelenggaraan makanan di resto, ini sebuah kesempatan emas. Jika
biasanya hanya belajar itu dari buku, kelas, dan jurnal; kali ini saya bisa
praktek langsung. Yang lebih menguatkan saya, ini adalah pekerjaan yang
berkaitan dengan bidang ilmu yang saya minati “it is food quality and safety management”.
Sebenarnya deg deg-an saat mula-mula bekerja di Hayaku Jogja. Managing restaurant may be totally different
with managing student organization. Tapi, ternyata pengalaman berorganisasi
di kampus sangat berguna disini. Bagaimana mengelola manusia, keuangan, aset,
promosi dan seterusnya. Disini, rasa kemanusiaan juga sering diuji. Bagaimana
menghadapi karyawan dengan berbagai latar belakang, serta konsumen yang juga
beraneka ragam. Makin belajar untuk respect
pada aturan dan mencari benang merah antara “rasa” dan “logika”. Terkadang karena
rasa, kita menjadi condong pada ke-tidak-adil-an. Padahal, adil itu penting
untuk membuat sistem stabil. Tugas seorang manager
dan tentu pemimpin adalah bagaimana memastikan sebuah sistem itu stabil,
yang mana hanya bisa terwujud dengan profesionalisme, keadilan, serta tentu
kemanusiaan. Masih ada sekitar 45 hari lagi untuk belajar dan bekerja di Hayaku
Jogja. Masih banyak ilmu yang dipelajari di bangku kuliah, namun belum
diterapkan. Periode penyesuaian telah
usai, kedepan adalah saatnya periode perbaikan. Berkomiten untuk menyediakan good service restaurant dan menjamin
kualitas makanan yang baik merupakan prioritas kami kedepan.
Lalu, bersamaan dengan itu
tahapan editing dan finishing buku juga sedang berlangsung.
Di tulisan ini saya ingin menyampaikan banyak terimakasih pada Dompet Dhuafa dan
umat yang telah memfasilitasi pembuatan buku saya. Sebuah memoar perjalanan
menggapai cita dan merupakan buku “solo” saya yang pertama. Atas izin Allah,
buku yang ditulis saat sedang sibuk-subuknya kkn akhirnya sudah bisa di-order.
Buku ini adalah salah satu wujud syukur saya pada Allah atas segala karunianya,
terkhusus dari zaman sekolah dasar hingga kuliah yang menyimpan banyak kenangan.
Ini juga merupakan ikhtiar untuk meringankan
beban bagi sesama yang membutuhkan.
Saya menyadari buku ini masih
banyak kurangnya dan tentu belum sebagus buku-buku karya Salim A. Fillah,
Andrea Hirata, ataupun Habiburrahman. Juga merupakan buku yang out dari genre penulisan saya. Model
penulisan buku “Bukan Mahasiswa Biasa (?)” adalah cerita, bukan prosa sebagaimana
yang lebih suka saya buat. But not
matter, semoga ini menjadi langkah awal untuk lebih luas menebar manfaat.
Saya bertekat untuk selalu menuliskan yang terbaik dan memperbaiki yang ditulis
sekarang dan kedepannya, inshaAllah.
Sejujurnya masih ada sebuah
peristiwa penting, namun nampaknya belum saatnya saya tulis. Saya hanya
berharap, siapapun yang membaca tulisan ini berkenan untuk men-do’a-kan yang
baik dan terbaik untuk kita bersama, Islam, dan Indonesia.
Saya, dan mungkin Anda juga
merasakan. Diri ini terlalu banyak kurangnya, khilafnya, salahnya. Namun, yakinlah, Allah lebih mencintai mereka
yang terus berproses berbenah daripada yang duduk murung tertunduk tanpa
berbuat apapun. Diri ini, masih harus banyak belajar, masih harus terus
berbenah.
0 komentar:
Post a Comment