Alkisah ada
seorang pemuda, semenjak kecil hidupnya sebatang kara tanpa orangtua. Dia
tumbuh di lingkungan panti asuhan muslim di pinggiran kota. Ia terbiasa hidup
apa adanya, serba kekurangan. Jangankan untuk mimpi tinggi-tinggi, bisa makan
untuk hari ini saja dia bersyukur. Seperti anak-anak lain di panti, dia
terbiasa berbagi dan saling meminjam. Dari mulai buku sekolah hingga kemeja dan
sepatu.
Beruntung,
takdir mengantarkannya pada sebuah kampus negeri di pusat kota. Ia mendapat
beasiswa penuh yang diperuntukan bagi mereka yang berprestasi akademik tapi
kurang mampu secara finansial. Meski begitu, kesehariannya hampir tak berubah.
Ia masih harus pinjam buku hingga peralatan kuliah sana sini. Sering juga
menahan lapar karena uang saku beasiswa yang amat terbatas.
Ia kemudian menjadi sedih
dan sering merenungi nasibnya. “Kenapa? Kenapa Ya Allah? Kenapa engkau
takdirkan aku seperti ini?” Ucapnya lirih di atas kasur kamar kosnya yang
beruukuran 2x2 meter itu. Sejak masuk kuliah ia jadi lebih sering merenung dan
mengutuki nasibnya. Melihat banyak kawannya hidup serba cukup dan bergelimang
harta, itu sunggu terasa tak adil baginya. “Dimana keadilanmu Wahai Tuhan?”,
sambungnya.
Hingga
suatu hari, salah seorang dosen di kampus memintanya dan kawan-kawan untuk
mengerjakan tugas studi lapangan. Uniknya studi lapangan kali ini dilakukan
dengan mewawancarai anak jalanan di sepanjang ruas jalan kota.
Satu
persatu anak jalanan ia sapa dan diajaklah ngobrol. Sampai akhirnya dia bertemu
dengan seorang lelaki yang tak bisa melihat dan berjalan. Ia didampingi
adik kecilnya yang masih berusia sekitar 12 tahun. Baginya si adik adalah mata
dan kakinya, yang menjadikan ia bisa mengerti “sedikit” tentang dunia dan
menapaki jengkal tanahnya.
Percakapan
dimulai.
Dia: Halo
de, salam kenal, namaku “Dia”. Dari kampus sebelah, kebetulan lagi dapet tugas
dari dosen buat wawancara nih. Boleh ya
kita ngobrol sebentar?
Adik: Boleh
mas, tapi jangan lama-lama ya. Kami lagi nyari duit.
Dia: Oh iya de, ga masalah, paling 10 menitan kok.
Yuk kita kesitu, yang agak teduh.
Mereka berpindah tempat di bawah pohon beringin yang teduh
Dia: Adik,
ini kakaknya ya? Atau saudara?
Adik: Ini
abang saya mas. Maaf kalo dia ga bisa diganggu, dia emang pendiam.
Dia: Ooo
gitu, ya ya gapapa de. Maaf ya sebelumnya ganggu.
Setelah
ngobrol kesana kemari tentang materi kuliah, Dia masih melanjutkan obrolan
dengan Adik Kakak bersaudara itu.
Dia: Kalian
tinggal dimana?
Adik:
Disitu …(tangannya setengah mengangkat mengarah pada jembatan di sebrang rel
kereta api).
Dia: Ha?
Maksudnya di jembatan?
Adik: Iya
Dia: Ibu
Ayah juga disitu?
Adik: Ibu
Ayah sudah lama meninggal, waktu itu usia saya masih 5 tahun. Mereka tertabrak
kereta.
Seolah
butuh mencurahkan unek-uneknya si adik terus berkata-kata.
Adik: Ya
sejak itu saya Cuma tinggal bareng kakak. Sama beberapa pengemis lain juga,
tapi yang utama sama kakak.
Matanya
terlihat berusaha membendung air mata, tapi raut muka gadis kecil itu tak bisa
berdusta. Ia sedang dalam kondisi sulit, atau bahkan terlalu banyak kesulitan
yang menghimpitnya.
Dia: Sabar
ya de…
Adik:
Semoga bisa kak. Sebenernya saya udah capek kak hidup gini. Ga bisa sekolah,
harus cari duit, tinggal di kolong jembatan juga. Apalagi setelah kakak
kecelakaan, kehilangan kaki dan penglihatan di usia 10 tahun. Hidup kami
makin sulit. Rasanya ingin mati saja kadang.
Dia:
Astaghfirulloh..jangan bilang gitu de, kita masih punya Allah.
Dalam hati
dia terbersit, “ya Allah ampuni aku, yang ternyata terlalu banyak mengeluh dan
tidak bersyukur, padahal masih ada orang yang hidup dengan ujian yang jauh
lebih berat”.
Obrolan
mereka pun terus berlanjut. Bahkan sejak saat itu Dia jadi sering mengunjungi
mereka. Dia sangat berterimakasih pada mereka yang telah menampar, bahwa
ternyata ujian hidupnya tak seberat orang lain di luar sana, salah satunya
mereka.
Dia jadi
ingat suatu bacaan di awal shalat wajib yang artinya “sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku, dan matiku karena Allah ta’ala.”
Maka, dalam
menjalani peran dalam kehidupan ini kita butuh menyumpurnakan tawakal. Sebab
diri kita seutuhnya milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Kita tak bisa
menjadi orang lain atau menolak ujian dari Allah. Yang bisa kita lakukan adalah
selalu melakukan yang terbaik dari apa yang Allah titipkan pada kita.
0 komentar:
Post a Comment