Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia. Data dari Badan Pusat Statistik (2010) menunjukan bahwa 87,18 persen penduduk Indonesia adalah muslim. Jumlah muslim yang sekitar 207.176.162 itu setara dengan 13 persen populasi muslim dunia.
Namun sungguh ironis, bersamaan dengan jumlah penduduk muslim yang banyak, Indonesia pun memiliki angka kemiskinan yang tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin per Maret 2013 mencapai 28,07 juta atau 11,37 persen dari total penduduk Indonesia. Berdasarkan data tersebut kemudian muncul pemikiran nakal, barangkali ada hubungan antara tingginya angka kemiskinan dan status Indonesia sebagai negara mayoritas muslim. Apakah benar ada hubunganya?.
Sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak, sudah seharusnya masyarakat Indonesia memegang teguh nilai-nilai Islam. Pada hakikatnya nilai-nilai Islam bersifat menyeluruh sehingga menyentuh semua dimensi, termasuk dimensi ekonomi. Islam mengajarkan begitu banyak prinsip-prinsip ekonomi, seperti berhemat, berzakat, berinfaq, dan bersemangat dalam mencari rizki Allah. Seorang muslim diajarkan untuk hidup mandiri secara finansial dengan cara bekerja yang halal dan toyib (baik). Konsep “halalan toyiban” ini lebih dikenal dalam urusan memilih makanan dan minuman, padahal konsep ini seharusnya diterapkan di semua dimensi. Demikian pula dalam membelanjakan hartanya, mereka dituntut untuk menegakan prinsip “halalan toyiban”. Sehingga sudah jelas bahwa yang menjadi masalah di Indonesia bukanlah karena mayoritas rakyatnya beragama Islam. Islam selalu mengajarkan untuk bersemangat dalam mencari rizki Allah dengan berprinsip pada konsep “halalan toyiban”.
Prinsip “halalan toyiban” pada dasarnya adalah pondasi dalam usaha mewujudkan masyarakat madani yang mandiri dalam berbagai dimensi, termasuk ekonomi. Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, serta maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kata “madani” merujuk pada kata “madinah”, yaitu nama kota di Saudi Arabia. Madinah pada masa Rosululloh SAW merupakan contoh konkrit tatanan masyarakat yang ideal.
Guna mewujudkan tatanan masyarakat madani, sangat penting untuk menegakan prinsip “halalan toyiban”. Namun, banyak masyarakat Indonesia saat ini merasa tabu terhadap prinsip tersebut. Seringkali mereka lebih memilih prinsip ekonomi liberal atau kapitalis yang cenderung korup dan bertentangan dengan keyakinan mereka. Inilah sebenarnya akar permasalah ekonomi di Indonesia. Masyarakat muslim cenderung mengunggulkan prinsip ekonomi konvensional (kapitalis) daripada prinsip ekonomi Islam. Sehingga mereka lebih mementingkan profit tanpa mempedulikan nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagai dampaknya, Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia sedang menghadapi masalah besar. Selain masalah kemiskinan, Indonesia juga dihadapkan dengan masalah tingginya angka pengangguran. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran per Februari 2013 mencapai 7,17 juta orang atau 5,92 persen dari jumlah angkatan kerja di Indonesia sebesar 121,2 juta orang. Angka ini lebih buruk dibandingkan target sebelumnya yakni 5,5 persen sampai 5,8 persen dengan asumsi pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 6,8 persen sampai 7,2 persen.
Angka pengagguran yang tinggi tersebut mengindikasikan adanya problem umat di Indonesia yang nyata. Jika dilihat lebih detail lagi, kita akan menemukan problem ketidakmandirian rakyat Indonesia dalam usaha memenuhi kebutuhan ekonominya. Banyak rakyat Indonesia yang bergantung terhadap uluran tangan orang lain, termasuk pihak asing. Mereka berkeinginan bekerja sebagai pegawai, karyawan, ataupun pelayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun ironisnya, banyak dari mereka yang tidak siap dalam bersaing memperebutkan kursi kepegawaian tersebut. Dampaknya, banyak dari mereka menjadi penggangguran.
Sistem pendidikan Indonesia saat ini yang cenderung mempersiapkan anak didiknya sebagai “kuli” daripada sebagai “bos” menambah panjang catatan pilu ketenagakerjaan di Indonesia. Peserta didik sudah terlanjur dibuat berpikir nyaman tentang cara memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja di tempat yang sudah “bonafide”. Saking banyaknya yang berpikiran demikian, menyebabkan antrian pendaftar untuk menjadi pegawai sangat panjang. Seleksi yang ketat, rumit, dan lama kerap kali menjadikan banyak orang gagal dalam persaingan tersebut. Parahnya, mereka yang gagal tidak pernah dipersiapkan sebelumnya untuk mengalami kegagalan tersebut. Sehingga mereka hanya bisa berdiam diri tanpa ada usaha pasti. Akibatnya, angka pengangguran pun semakin tinggi.
Nampaknya, perdagangan bebas ASEAN 2015 akan memperparah masalah ketenagakerjaan di negeri ini. Pasalnya, tenaga kerja Indonesia akan bersaing tanpa batas dengan tenaga kerja dari negara-negara ASEAN lain. Padahal banyak tenaga kerja Indonesia yang belum memenuhi standar pasar tenaga kerja. Bisakah Anda bayangkan apa yang akan terjadi?. Tentunya persaingan kepegawaian pun akan semakin ketat sehingga angka pengangguran akan membumbung makin tinggi.
Barangkali sebagian dari kita tidak setuju terhadap penjelasan tersebut. Sebagian orang merasa optimis akan kemajuan ekonomi Indonesia dimasa depan. Buktinya saat ini sudah semakin massive bermunculan pengusaha-pengusaha dan industri-industri rumahan. Namun, tahukah Anda ancaman ekonomi dibalik fenomena tersebut?.
Memang benar bahwa di milenium ini sudah cukup banyak bermunculan pengusaha-pengusaha sukses di Indonesia. Mereka memiliki aset perusahaan yang luar biasa, bercabang nasional atau bahkan internasional, dan tentunya menjadikan mereka orang yang kaya raya. Sekilas, kita lihat bahwa berita ini adalah berita bahagia bagi negeri ini. Namun, fenomena tersebut berimplikasi buruk bagi kehidupan dunia akhirat banyak orang. Banyak dari mereka terancam musibah besar yang berupa murka Allah.
Uang riba seringkali digunakan oleh para pengusaha sebagai modal usahanya. Mereka kerap kali meminjam modal dari bank konvensional yang sudah jelas merupakan perbuatan riba. Hasilnya pun seluruh keuntungan mereka menjadi bernilai haram karena modalnya diambil dari sesuatu yang haram.
Selain siksa Allah yang sangat keras bagi pelaku riba tersebut di akhirat kelak, rakyat Indonesia pun terancam siksa dunia berupa tatanan ekonomi masyarakat yang carut marut. Lihatlah masalah kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan lintas dimensi yang semakin parah. Sudah seharusnya kita mawas diri dan beraksi sinergis untuk mengatasi masalah umat ini.
Dari uraian tersebut sudah kita pahami bahwa masalah umat ini sangatlah kompleks. Perkara yang kelihatan baik pun bisa jadi bernilai sangat buruk. Padahal Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Lantas bagaimana solusinya?.
Konsep educopreneur muda penegak prinsip “halalan toyiban” adalah salah satu solusi yang akan mampu mengatasi permasalahan keterpurukan umat. Educopreneur sendiri berasal dari dua kata yaitu “education” (pendidikan) dan “entrepreneur” (wirausaha). Sedangkan “halalan toyiban” adalah prinsip seorang muslim dalam usaha meraih ridho Allah pada usahanya, yaitu halal (diizinkan Allah) dan toyib (baik). Sehingga secara keseluruhan dapat diartikan sebagai pemuda muslim berpendidikan yang berwirausaha sesuai dengan prinsip yang halal dan baik.
Tiga karakter kunci dari muslim educopreneur adalah bertawakal, berikhtiar, dan berdo’a. Tawakal menjadi sangat penting untuk memantapkan tekat. Hendaknya tawakal diletakan dari mulai awal proses, pelaksanaan, dan akhir proses. Hal tersebut agar menjadikan seseorang tidak dibayangi akan kegagalan yang mungkin terjadi. Sejak awal muslim educopreneur sudah berserah diri kepada Allah atas kemungkinan berhasil ataupun gagalnya suatu usaha. Dengan begitu segala ujian dan tantangan dalam berwirausaha akan selalu dimaknai positif, dihadapi tanpa beban, dan dengan pikiran sehat.
Karakter kedua adalah ikhtiar. Ikhtiar adalah usaha yang disertai dengan kesungguhan dalam berproses. Ikhtiar meliputi proses identifikasi, analisis, perencanaan, dan pelaksanaan. Semua hal tersebut harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sesuai prinsip “halalan toyiban”. Bagi seorang muslim educopreneur, proses ikhtiar dilakukan berdasarkan ilmu sehingga mengurangi kemungkinan kegagalan suatu usaha.
Do’a menjadi karakter ketiga bagi muslim educopreneur. Sayangnya do’a ini menjadi hal yang sering diabaikan dalam proses berusaha. Padahal do’a ini adalah penguat dari proses tawakal dan ikhtiar. Do’a akan selalu menguatkan jiwa untuk istiqomah berproses di jalan Allah. Dengan do’a, seseorang akan merasa selalu memiliki harapan, sekalipun dalam keadaan sulit. Maka dari itu, ketiga karakter tersebut adalah satu paket sukses bagi seorang muslim educopreneur.
Jika kita tengok kembali permasalah diatas terkait modal yang haram, lalu timbul pertanyaan, jika demikian bagaimana kita mencari modal?. Jawabanya sederhana, sebagaimana kisah kekasih tercinta kita, Rosululloh Muhammad SAW. Sebelum beliau menjadi pengusaha, beliau berusaha mengumpulkan modal dengan cara-cara yang halal dan baik. Beliau mendasarkan usahanya mencari modal dengan “education”. Beliau bertindak sebagai orang kepercayaan dalam berdagang dan menggembala kambing dikala muda. Maka tengoklah diri kita sebagai umat rosul, hendaknya kita gunakan masa muda yang kita miliki untuk mengumpulkan modal usaha dengan cara yang halal dan baik. Misalnya dengan mengikuti lomba, beasiswa, menabung, bekerja sambilan, mengajar les, dan sebagainya. Maka dengan demikian setelah kita selesai menempuh pendidikan, kita sudah siap secara finansial untuk mengawali usaha kita. Sehingga akan terwujud konsep educopreneur muda yang berprinsip “halalan toyiban”.
Untuk dapat menegakan prinsip “halalan toyiban” tentunya dibutuhkan kepahaman. Sebagaimana kita tahu bahwa kepahaman didapatkan dari proses tarbiyah (pendidikan). Maka dalam upaya memahamkan seseorang terhadap prinsip “halalan toyiban” diperlukan proses pendidikan yang intensif.
Pendidikan tersebut hendaknya dimulai sejak kecil. Dengan memahamkan terlebih dahulu terhadap tauhid, lalu diiringi dengan pendidikan akidah dan fiqih. Dimulai dari lingkup keluarga, sekolah, hingga masyarakat.
Pendidikan di dalam keluarga menjadi awal proses yang sangat penting. Pendidikan tersebut akan menciptakan idealisme dasar dari tiap-tiap individu. Terlebih lagi frekuensi terjadinya komunikasi berlangsung sangat intensif, sehingga pendidikan di keluarga menjadi sangat penting.
Beranjak dari pendidikan keluarga, seorang anak akan memperoleh pendidikan secara formal maupun non formal di luar rumah. Sayangnya keadaan pendidikan formal kita sekarang ini masih mengesampingkan pendidikan ruhiyah pada siswanya. Siswa kurang mendapatkan pemahaman mengenai prinsip-prinsip Islam, termasuk prinsip “halalan toyiban”. Beruntung, saat ini sudah bermunculan sekolah-sekolah formal yang berusaha memberikan asupan ruhani pada siswanya. Maka dari itu, sebaiknya orang tua memilih secara teliti sekolah yang akan ditempati anaknya untuk menuntut ilmu.
Disamping pendidikan formal, alangkah lebih baik jika seorang anak diikutsertakan juga dalam penididikan non formal. Tentunya penididkan non formal yang diutamakan adalah pendidikan yang lebih intensif dalam memberi pemahaman pada seorang anak terhadap syariat Islam.
Seorang anak merupakan bagian dari masyarakat, maka ia pun harus berinteraksi dengan masyarakat. Dalam proses interaksi tersebutlah mereka mengalami proses pendidikan di masyarkat. Secara umum pendidikan tersebut lebih dipengaruhi oleh teman sepergaulan mereka ataupun teman akrab mereka. Maka dari itu sangat dianjurkan memilih teman yang mampu memberikan kepahaman yang benar terhadap syariat Islam.
Di masa pendidikan tersebut sangat diharapkan kepahaman seseorang terhadap syariat Islam akan semakin meningkat, termasuk kepahaman terhadap konsep kemandirian umat dan prinsip “halalan toyiban”. Hal yang perlu diingat, bahwa proses pendidikan tersebut harus terus berlanjut sepanjang hayat. Sekalipun seseorang sudah paham, dia tetap perlu dijaga kepahamanya agar tidak kembali menyimpang dengan cara terus menuntut ilmu.
Setelah paham terhadap konsep, kemudian seorang muslim hendaknya segera mempraktikanya. Dalam proses pelaksanaan tersebut seorang pemuda muslim hendaknya menegaskan prinsip “halalan toyiban” dengan kokoh. Dengan demikian berarti dia melakukan ikhtiar secara kafah (menyeluruh) dari mulai proses pengumpulan modal hingga akhir. Dalam berwirausaha seorang muslim ditekankan untuk berbuat jujur, transparan, teliti, dan cerdik. Sehingga akan tercapai keuntungan secara nominal maupun amalan.
Pada akhirnya, sebagai solusi efektif untuk mengatasi masalah umat. Diperlukan proses pendidikan yang akan memberikan pemahaman pada masyarakat tentang syariat Islam. Sehingga akan terbentuk sosok educopreneur muda yang siap menegakan prinsip “halalan toyiban”.
#Juara 2 Lomba Esai Moslem Entrepreneur Festival tingkat Nasional 2013
#Juara 2 Lomba Esai Moslem Entrepreneur Festival tingkat Nasional 2013
0 komentar:
Post a Comment