Literatur sejarah telah
mencatat kerasnya perjuangan bangsa ini untuk mendapatkan kemerdekaanya.
Pengorbanan jiwa, raga, harta, dan tahta melebur menjadi satu, merujuk pada
satu cita, merdeka!. Hingga pada suatu masa, proklamasi kebebasan jiwa pun
menjadi nyata, Indonesia merdeka.
Ratusan tahun
terbelenggu dalam kedzoliman sang budak nafsu menjadikan nurani bergetar, kami
harus merdeka!. Tekat yang semakin memuncah pun akhirnya terlahir dalam wujud
gerakan-gerakan nyata. Dimotori kaum cendekia, Nusantara bangkit dalam satu
tujuan mulia, mensucikan hak-hak manusia.
Tahun ini, seratus lima
tahun sudah kebangkitan kita. Berawal dari gagasan dan motivasi sang cendekia
hebat, dr. Wahidin Soedirohusodo. Lahirlah Boedi Utomo oleh Soetomo, Soeraji,
Muh Saleh, dan Gunawan pada 20 Mei 1908. Boedi Utomo adalah pelopor pergerakan
kebangkitan nasional Indonesia. Maka, setiap 20 Mei kita dapati sebagai
peringatan Kebangkitan Nasional.
Begitulah sejarah
bermula hingga akhirnya Indonesia mendapatkan haknya, merdeka!. Tak sampai
disitu, sejarah pun terus bergulir hingga munculah kembali rezim yang menindas.
Nurani pun kembali berteriak, dan lagi-lagi kaum cendekialah yang menjadi motor
penggerak kebebasan.
Ingatkah kita tragedi
berdarah semanggi?. Cendekia muda berjuang menghadapi rezim yang korup,
menuntut kebebasan rakyat. Korban bergelimangan, bahkan ada yang tewas.
Lagi-lagi disitu kita temukan identitas, mahasiswa kedokteran, syahid dalam perjuanganya.
Terlihat jelas, peranan
civitas medika dalam perjuangan bangsa ini. Merekalah intelektual yang visioner
dan progresif, berfikir melampaui zamanya. Tidak hanya berkutat pada rutinitas
klinisnya, mereka berjuang memperbaiki tatanan masyarakat. Cita mereka mulia,
menyembuhkan kronisnya penyakit bangsa ini.
Lagi-lagi kita bicara
zaman yang terus bergulir, belum genap dua windu sejak reformasi, keadaan
berubah!. Civitas medika yang dulu dikenal ramah pada bangsanya, kini tak lagi
demikian. Begitu banyak yang berpola hidup borjuis, lupa pada proletal; banyak
yang berkutat hanya di akademis, lupa pada humanis; banyak yang berpikir
tentang materil, lupa pada rakyat yang kerdil.
Tanpa mengurangi rasa
hormat saya pada para civitas medika, saya hanya menulis tentang opini publik
yang merebak. Bukanya saya benci pada mereka, melainkan hanya ngilu dalam dada. Mereka itu orang-orang
berakal briliant, sangat disayangkan
jika digunakan hanya berorientasi pribadi. Bangsa ini butuh kalian wahai si
pemilik otak emas!.
Rasanya semakin ngilu saja ketika publik berkoar tentang sikap alergi anak
kedokteran terhadap politik. Fakta kah?, atau sekedar gosip belaka?. Hampir
satu setengah tahun saya bergaul dengan para civitas medika. Saya pun merasakan
sikap anti pati terhadap politik, atau lebih halusnya “sikap kurang peka”.
Banyak dari mereka yang berfokus pada akademik saja, tanpa berusaha berkarya
lebih sebagaimana yang seharusnya mereka bisa lakukan.
Jangankan berpolitik,
mendengar kata politik saja barangkali terdengar asing di telinga mereka.
Apakah benar-benar politik itu terpikir sangat rumit bagi mahasiswa kedokteran
yang selalu sibuk dengan tuntutan akademisnya?. Sungguh disayangkan, semoga
tidak berkelanjutan.
Kata Ibu dr. Siti
Fadilah ada dua pilihan untuk kita, berpolitik atau dipolitisasi!. Tidak harus
seseorang terjun langsung dalam politik praktis, tapi paling tidak peduli saja
itu cukup!. Sudah jelas, kita tidak mau kan dipolitisasi, maka pedulilah pada
isu politik yang rumit itu.
Entah bagaimana cara
terefektif untuk menyadarkan mahasiswa kedokteran agar tanggap terhadap isu
poitik. Namun, yang jelas perlu campur tangan berbagai pihak untuk
mewujudkanya. Salah satu pihak yang berperan penting terhadap upaya tersebut
adalah Badan Eksekutif Mahasiswa.
Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) mengambil peranan yang penting dalam upaya edukasi tersebut. Melalui
paparan informasi, komunikasi, dan fasilitasi. Informasi yang diberikan oleh
BEM dalam bentuk media cetak, elektronik atau pun hanya sekedar poster akan
meningkatkan pengetaahuan mahasiswa seputar berita politik. Paparan yang terus
berlanjut tersebut akan meningkatkan kesadaran mereka mengenai urgensi politik.
Demikian pula
komunikasi, akan memberikan dampak yang signifikan dalam proses interaksi antar
komunikator. Pengurus BEM yang sudah dibiasakan terpapar oleh isu politik akan
memiliki pengaruh pada lingkungan pergaulanya. Dalam proses pregaulan, akan
terjadi komunikasi inter personal yang intensif. Dengan demikian menjadi sangat
penting bagi pengurus BEM untuk peduli terhadap isu politik yang berkembang.
Upaya fasilitasi yang
dilakukan oleh BEM dapat berupa mengadaan kegiatan strategis untuk memahamkan
mahasiswa kedokteran tentang isu politik. Kajian isu, bedah parpol ataupun
seminar tentang health policy yang akan meningkatkan kesadaran politik
mahasiswa FK. Semua upaya sederhana tersebut adalah langkah awal yang bisa
dilakukan saat ini. Maka, untuk keberlanjutan upaya peningkatan kesadaran
mahasiswa kedokteran terhadap isu politik sangat dibutuhkan dukunga dari semua
pihak¸ termasuk pemangku kebijakan.
di share di fb aja nih tulisan2mu li, biar temen2 bisa ikut sebar juga. setuju banget deh tentang pendidikan politik untuk fk
ReplyDeleteSiap mba, makasih udah berkunjung :)
ReplyDelete