Thursday, June 16, 2016

Untaian Cinta

Standard
Pagi itu matahari bersinar cerah. Menyinari buwana, menghangatkan samudera. Bersama denganya, burung-burung pun mengangkasa. Pagi itu benar-benar sempurna untuk memulai sebuah harapan baru dalam kehidupan. Maka, ku mulai hariku dengan senyum bahagia. Ku susuri tapak jalan panjang yang diapit pepohonan hijau nan rimbun. Nyiur pun tak mau melewatkan pagi itu, pagi yang asri. Begitu segarnya udara pagi itu. Udara perkotaan tapi tak kalah segarnya dengan udara di desa  ku yang permai.

Selepas itu ku kembali pulang, jam dinding berdetak tepat pukul 6.30. Tiba-tiba handphone ku berdering. Oh, nampaknya dia. Dia yang telah lama ku kenal. Sosok dewasa yang selalu bersuka cita. Dan yang unik, sms paginya selalu tepat pukul 6.30 hampir setiap hari. Dalam sms-nya kali ini, seperti biasa isinya hanya informasi organisasi, maklum kini aku dan dia bersama dalam sebuah organisasi berbasis pangan lokal. Ku baca, ku jawab, dia membalas, dan seterusnya hingga waktu pun tak terasa sudah pukul 7.00. Ku tinggal sejenak handphone­-ku di kursi kamar. Dua raka’at shalat dhuha ku cukupkan sebagai awal hari ku seperti biasa.

Sekembalinya ke kamar, ku raih kembali handphone­-ku. Ku baca lirih pesan darinya, bi aku sedang proses nih, ada seorang lelaki melamarku. Aku pun tersenyum dan segera merespon, wah alhamdulillah, semoga dilancarkan prosesnya, jangan lupa istikharah ya. Setelah itu tak kunjung dia menjawab. Lalu ku baringkan badanku di kasur empuk kamarku. Ku pejamkan mata, tapi tetap saja, bayangnya selalu saja muncul. Hmm, namapaknya tak bisa dengan mudah ku bohongi hatiku. Jantungku berdetak kencang kala itu, tak terkendali.

Tapi aku tak mau merusak kebahagiaanya. Dia ingin segera menikah. Sedangkan aku, untuk mengungkapkan rasa saja belum berani. Ah, ku putuskan memejamkan mata kembali. Tapi lagi-lagi wajahnya terlihat makin jelas di dalam tidurku. Apa ini?

Ku raih lagi handphone­-ku. Belum juga dia kunjung menjawab. Ku tatap cukup lama. Puluhan menit lamanya. Hingga terbersit diingatanku kata-kata ayah saat ku kecil, jujur memang kadang pahit, tapi selalu saja lebih baik. Lantas jemariku pun otomatis bergerak mengetik di atas tombol-tombol handphone­-ku yang masih jadul itu. Sejujurnya aku pun mencintaimu, tapi aku sadar aku bukan siapa-siapa. Sekarang aku pun sedang istikharah agar hati lebih mantap. Setelahnya akan ku kabarkan hasilnya padamu. Semoga kejujuran ini tak merusak apapun.

Berjam-jam tak berani ku buka handphone­-ku. Kira-kira apa ya jawabnya? ucapku lirih. Ah hidup ini harus dihadapi, terlalu pengecut untuk lari dari kenyataan. Lalu ku buka handphone-ku. Benar ternyata, panjang lebar jawabnya. Dan pastinya dia tak menduga tentang apa yang aku ungkapkan.

Pesan singkat yang saling berbalas pagi itu berakhir dengan senyum dan tanda tanya besar bagi kami, bagaimana selanjutnya? Karena ternyata dia pun belum memutuskan menerima atau menolak lamaran lelaki itu. Dan aku pun masih tetap dalam istikharahku, memantapkan diri.  (AZ)

0 komentar:

Post a Comment