"Bersama membangun gizi menuju bangsa sehat berprestasi"
Demikian tema Hari Gizi Nasional 2015. Jika dicermati tema tersebut punya makna yang sangat menohok. Betapa lupanya kita terhadap aspek gizi dalam membangun negeri ini. Pradigma selama ini, saat kita ingin membangun negeri maka pendidikan yang harus diperkuat, pertanian, ekonomi, politik, dan lainya. Miris, hanya sedikit yang menyinggung aspek kesehatan, apalagi gizi. Gizi selalu dianggap pelengkap dan kurang penting. Bahkan dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia terlihat pemerintah kurang konsen dalam memperbaiki aspek gizi. Padahal gizi sangat berpengaruh dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Indonesia sebagai negara berkembang memiliki dua modal luar biasa untuk menjadi negara maju, sumber daya alam dan sumber daya manusia. Tak diragukan indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat biodiversity tertinggi di dunia, dikenal sebagai negara agraris dan maritim. Dari segi sumber daya manusia, indonesia punya sekitar 250 juta manusia yang sangat potensial, tertinggi ke empat di dunia.
Namun sayang potensi besar yang dimiliki, khususnya sumber daya manusia tidak digarap dengan baik oleh pemerintah. Pradigma yang selama ini dibangun selalu bertumpu pada aspek hilir, aspek yang bersinggungan langsung dengan hasil seperti pendidikan. Namun tidak mementingkan aspek hulu, antara lain gizi. Bagaimana bisa orang jadi cerdas jika dalam siklus kehidupanya saja tidak memperoleh asupan gizi baik, maka imbasnya ia pun tumbuh kurang baik. Bisa dibayangkan jika seseorang tidak mendapat asupan gizi yang cukup saat dalam kandungan, lalu terus berangsur hingga 1000 hari pertama kehidupan. Maka bisa dipastikan kapasitas otak tak berkembang baik. Jika sudah demikian mau digenjot seperti apapun gizinya tetap saja tidak optimal, ada fase penting yang terlewat.
Kini masyarakat dihadapkan pada jaminan kesehatan dan berbagai macam layanan kesehatan. Entah berapa banyak dana yang dialokasikan untuk membiayai upaya kuratif (pengobatan). Begitu ada yang sembuh lalu ada lagi yang sakit, demikian seterusnya. Upaya preventif (pencegahan) sebenarnya juga sudah mulai digalakan. Tapi terlihat masih belum optimal dan terkesan setengah-setengah.
Lagi-lagi saya katakan pemerintah seakan lebih mementingkan hilir daripada hulu, kurang seimbang. Edukasi yang diberikan selalu berfokus pada generasi tua, anak dan remaja kurang diprioritaskan. Walaupun saat ini kabarnya ada sedikit materi gizi yang masuk kurikulum SMA menurut saya itu kurang operasional. Anak dan remaja lebih membutuhkan materi tentang urgensi gizi itu sendiri, tidak hanya hitung-hitungan kebutuhan gizi. Pentingnya kesadaran akan gizi menjadi utama. Jika kita lihat kurikulum pendidikan beberapa negara lain, sudah ada materi tentang gizi sejak SD. Hal itu dikarenakan pemahaman tentang gizi sangat dibutuhkan sejak dini oleh anak-anak agar bisa memilah mana makanan/jajanan yang layak dan mana yang tidak. Tapi nampaknya di indonesia masih belum sebaik itu.
Itu keadaan di pendidikan dasar dan menengah. Di tingkat pendidikan atas sekelas diploma dan sarjana pun masih terbelit masalah keprofesian. Berbeda dengan profesi kesehatan lain, keprofesian gizi masih tersendat. Pada jenjang sarjana misalnya, dari sekian program sarjana gizi di indonesia hanya ada satu (hampir dua) yang membuka pendidikan keprofesian. Dulu UGM memiliki program keprofesian gizi, lalu ditutup karena alasan standar/pengakuan. Kini Universitas Brawijaya satu-satunya yang memiliki jenjang keprofesian gizi dan kabarnya sebentar lagi UGM akan berjalan lagi (sudah dibuka).
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah di depan mata. Namun nampaknya profesi gizi masih kurang siap menghadapinya. Kelangkaan pendidikan keprofesian tentunya berimbas pada pengakuan internasional. Karena yang dunia internasional butuhkan sebagai klinisi bukan sekedar sarjana gizi namun seorang Registered Dietitian (RD) yang baru bisa didapatkan setelah pendidikan profesi, tentunya dengan standar internasional.
Masih dalam lingkup pembahasan MEA, angka impor pangan akan meningkat karena kemudahan dan kemurahan biaya untuk impor. Lalu apakah masyarakat kita sudah pintar memilah mana makanan yang baik dan mana yang tidak baik?. Sebagaimana kita tau produk impor cukup rawan memicu masalah gizi. Contoh sederhananya adalah produk high sugar yang jelas akan memicu berbagai sindrom metabolik jika dikonsumsi berebih.
Data Riset
Kesehatan Dasar Depkes 2013 pun masih menunjukan tingginya angka gizi buruk,
gizi kurang, obesitas dan masalah gizi lain di Indonesia. Secara nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari 5,7
persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi
nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat
meningkat. Secara nasional masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8 persen,
terdiri dari gemuk 10,8 persen
dan sangat gemuk (obesitas) 8,8 persen. Prevalensi gemuk
terendah di Nusa Tenggara Timur (8,7%) dan
tertinggi di
DKI
Jakarta (30,1%).
Lebih parahnya lagi akses kesahatan di daerah timur masih sangat
terbatas padahal angka gizi buruk di daerah timur tinggi. Nampaknya kita punya
begitu banyak pekerjaan rumah untuk gizi indonesia. Berprestasi atau tidaknya
indonesia bagi saya tidak lebih penting dari nyawa yang melayang akibat gizi
buruk dan masalah gizi lainya.
Tidak ada yang perlu dipersalahkan, tulisan ini hanya kritik dan pengingat bagi saya pribadi, pemegang kebijakan, dan setiap orang yang membaca bahwa kita masih punya banyak masalah gizi Indonesia yang harus diselesaikan bersama.
Selamat Hari Gizi Nasional 2015. “High Quality People Begin from Good Nutrition”
Salam, Mokhamad Ali Zaenal Abidin
Isu & Advokasi Ikatan Lembaga Mahasiswa Gizi Indonesia
0 komentar:
Post a Comment