Monday, February 27, 2017

Dari Ufuk Timur

Standard
Sepenggalah naik, meninggi, melintasi garis-garis bumi. Pagi itu terasa dingin, tapi perlahan dingin itu mulai menyingsing. Saat mentari mulai menghiasi ufuk timur, kuning cemerlang. Kulit epidermisku mulai menghangat terkena pancaran sinar kesetiaan sang mentari. Aku heran, mengapa ia seolah sangat peduli pada kami? Tiap hari menyinari, padahal tak dapat balasan apa pun dari kami.

Pagi itu, bersamaan dengan terbitnya mentari di ufuk timur, seorang lelaki muda bersiap sedia. Ia berkemas merapihkan barang bawaanya satu per satu. Dari tiket di genggaman tangannya nampak ia akan bertolak dari Stasiun Purwokerto, meluncur menuju Stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Ini adalah kali pertama ia ke Yogyakarta, kota pelajar.

Mukanya terlihat cerah dan penuh dengan tatapan optimis di pagi itu. Tak seperti beberapa hari lalu, mukanya terlihat lusuh dan bingung. Pasalnya memang ia dihinggapi pilihan yang sulit, antara UI atau UGM. Mungkin hanya ada 1 dari 10 juta orang atau lebih, yang beruntung diterima di Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada sekaligus dalam waktu hampir bersamaan, dan dia salah satunya yang beruntung. Hingga setelah shalat istikharah berkali-kali, berdiskusi panjang dengan umi dan abahnya, menyimak ulasan di berbagai sumber, bertanya ke sekian banyak orang, dan tentu berpikir keras, akhirnya ia memilih Gizi Kesehatan FK UGM ketimbang Geografi FMIPA UI. Tentu berat melepas kampus impian yang sudah ada di tangan, kampus yang sejak kelas 2 SMA telah diidam-idamkan. Tapi, inilah hidup yang penuh dengan pilihan. Dan ia telah memilih dengan penuh keyakinan. Tahukah siapa lelaki itu? Lelaki itu adalah aku, M. Ali Zaenal Abidin.

Salam kenal Gadjah Mada!

Salam kenal Gadjah Mada, kampus yang tak pernah ku singgahi sebelumnya, bahkan tak pernah terbayang sebelumnya kuliah di sini. Kampus kerakyatan yang kini telah menjadi almamaterku. Awalnya aku sama sekali tak bergairah melakukan apa pun di kampus biru ini, kecuali kuliah. Harapan ku telah pupus untuk berkuliah di kampus kuning, kampus impianku. Aku takut untuk bermimpi lagi, aku takut kecewa, lagi.

Bulan berganti bulan, hingga suatu ketika di ruang kelas yang hening. Seorang dosen ‘memaksa’ kami untuk bemimpi. Menuliskan 100 Mimpi di selembar kertas yang dijilid rapi. Ya, disaat itulah mau tak mau aku kembali bemimpi, memberanikan diri, mengubur segala ketakutan dalam diri. Lebih dari itu, aku buat pula Visualisasi Mimpiku dalam sebuah video singkat yang kemudian ku unggah di youtube.

Mimpi dan cita adalah artikulasi tujuanku ada di bumi. Aku adalah seorang hamba yang akan selalu setia di garis depan perjuangan.

Aktivis Prestatif Tanpa IPK Minimalis. Adalah cara untuk menjalankan kewajibanku sebagai seorang hamba; beribadah dan berdakwah, sekalipun masih kuliah. Menjadi aktivis, prestatif, dan tanpa IPK minimalis tentu menjadi dambaan semua mahasiswa, perfecto! Aku melihat ini adalah peluang untuk mengartikulasikan kesetiaanku di garis depan perjuangan untuk Allah SWT. Dengan menjadi aktivis, prestatif, dan tanpa IPK minimalis disana ada peluang kabaikan yang banyak, pun peluang dakwah yang lebih luas. Namun, tentu ini tak gampang, butuh perjuangan keras. Sekalipun tak ringan, aku memilih bermimpi menjadi Aktivis Prestatif Tanpa IPK Minimalis! Mimpi itu gratis, maka, bermimpilah setinggi langit.

Aku selalu meyakini, apa yang terjadi pada kita saat ini adalah hasil akumulasi pilihan-pilihan kita di masa lalu. Pun demikian, pilihan-pilihan kita saat ini adalah penentu bagaimana kita di masa yang akan datang.

Mimpi itu menjadi awal mula perjalanan panjang ku. Sejak saat itu aku mulai aktif di berbagai organisasi, berusaha menjadi lentera kebahagiaan bagi banyak orang. Dari organisasi tingkat program studi, fakultas, universitas, hingga nasional. Dari serangkaian proses berorganisasi tersebut ada hal-hal yang tertanam dalam dan membekas pada diriku.
Sejatinya, untuk bahagia tak harus kaya, tak pula harus punya jabatan. Bahagia adalah hak semua orang. Dan bagiku kebahagiaan itu terasa dengan berbagi dan bermanfaat bagi orang lain. Berkhidmat untuk umat, berusaha merangkai makna dari segenap peristiwa, lalu memberi arti bagi orang lain.

Setiap peristiwa mengandung hikmah bagi siapa saja yang ingin mengambil pelajaran. Dari setiap orang yang kita temui, tempat yang kita kunjungi, dan buku yang kita baca. Semua adalah bagian proses pembelajaran hidup sepanjang hayat, dari buayan hingga ke liang lahat. Menjadi pribadi pembelajar, merupakan obsesi yang harus subur terpatri dalam diri. Aku menyadari bahwa dengan ilmu, amal akan bermakna. Dengan pengetahuan, kita akan mampu memberi dampak yang lebih mengangkasa.

Hingga pada akhirnya aku menemukan makna, bahwa kepemimpinan bukan tentang jabatan saja. Kepemimpinan sejati adalah tentang dampak. Memimpin dengan hati dan pikiran jernih untuk kemudian mampu mengurai kekusutan problema peradaban. Memimpin adalah tentang rasa rumongso, sebuah tindakan yang berasal dari hati yang hidup dan tergerak.

Hingga pada akhirnya, jerih payah itu berbuah. Setiap detik yang selalu ku usahakan isi dengan hal positif, setiap tetes keringat tanda lelah, juga setiap ucap tanpa kata menyerah. Alhamdulillah, atas kuasa Allah SWT apa yang aku impikan di awal kuliah berhasil ku capai. Menjadi aktivis; dari mulai sebagai staf, kemudian beramanah sebagai Ketua BEM FK UGM, Menteri Advokasi Kemasyarakatan BEM KM UGM, hingga Presiden Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM maupun Koordinator Isu Lingkungan di BEM Seluruh Indonesia. Pun Alhamdulillah, dakwah ku dipermudah dan cenderung lebih didengar saat aku dinobatkan sebagai Mahasiswa Berprestasi Utama FK UGM maupun salah satu Mahasiswa Berprestasi di UGM. La haula wala quwwata illa billah.

Tentu aku menyadari bahwa semua itu bukan tujuan yang patut dibangga-banggakan, apalagi menjadikan diri ini ujub. Semua itu hanya strategi agar dakwah lebih didengar dan perjuangan meninggikan kalimat Allah lebih massive. Berdakwahlah sesuai bahasa kaumnya. Ada yang berdakwah di masjid dan majelis-majelis ilmu yang mulia, sedangkan aku memilih berdakwah di tengah lautan manusia pada lingkup lainya.

Sahabat perjuangan. Adalah mereka yang membuat mimpiku kuat terjaga. Saat langkahku terhuyun-huyun hampir roboh, mereka ada di sampingku mendampingi. Dalam tulisan ini aku sampaikan terimakasih dan senantiasa ku do’akan sahabat perjuangan ku istiqomah dalam beribadah pada-Nya. Sahabatku di berbagai tempat; Forsalamm se-UGM, Pondok Pesantren Mahasiswa Baiturrahman, Gizi Kesehatan UGM, BEM FK UGM, BEM KM UGM, Komunitas Mahasiswa Berprestasi UGM, dan tentu masih banyak lagi. Serta terkhusus untuk Beasiswa Aktivis Nusantara, salah satu wadah pembinaanku, wadah berjejaingku, wadah berlomba-lomba menebar kebaikan.

Beasiswa Aktvis Nusantara adalah sekolah qolbu dan akal ku. Tempat dimana qolbu ditempa untuk lebih peka dan peduli, tempat dimana akal dilatih untuk tangkas mencerna dan menggagas solusi.

Perjalanan masih panjang, ada banyak mimpi yang ingin ku capai. Termasuk mimpi besar untuk konsisten turut serta merawat Indonesia, mewujudkan Indonesia madani. Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, sedangkan Islam merupakan agama rahmatanlil’alamin. Sudah saatnya Indonesia sebagai negara muslim bangkit menjadi pusat peradaban dunia. Dan aku akan ambil bagian dalam kebangkitan itu.

Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku.-Mohammad Hatta

Di tulisan ini aku ingin merepetisi dan menguatkan mengenai apa mimpiku. Mimpi terbesarku hidup di dunia adalah menjadi hamba yang bertakwa pada Allah SWT. Ketakwaan itu ku harap dapat hidup dalam tutur dan lakuku. Terejawentahkan dalam segala amal perbuatanku.

Sebagai salah satu upaya menjadi hamba yang bertakwa pada Allah SWT, insha Allah aku akan berusaha sekuat tenaga bermanfaat bagi umat. Memulai karya peradaban melalui pintu istimewa di bidang makanan, insha Allah akan menjadi pembuka untuk karya-karya besar lainya.

You are what you eat. Bicara makanan bukan hanya tentang kenyang. Bicara makanan adalah tentang sehat, cerdas, berdaulat, dan pada akhirnya tentang Indonesia madani. Banyak orang menganggap remeh makanan, padahal makanan adalah aspek penting kehidupan. Tanpa makanan yang baik manusia tak akan bisa hidup sehat, bahkan dapat pula kesulitan belajar. Mana mungkin Indonesia ini akan madani jika rakyatnya sakit-sakitan dan tak pandai?

Rencana yang insha Allah akan saya lakukan adalah dengan mengamalkan ilmu makanan yang telah saya pelajari saat berkuliah di program studi gizi kesehatan UGM. Aktif di pusat kajian gizi, memiliki pekerjaan dan usaha di bidang makanan, berperan mengedukasi dan menyadarkan masyarakat tentang makanan sehat, serta yang tidak kalah penting adalah mengamalkan ilmu gizi dan kesehatan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, insha Allah akan selalu merasa bodoh sehingga belajar ke jenjang magister dan doktor bidang  keamanan pangan dan menyelesaikanya sebelum usia 35 tahun. Insha Allah langkah ini akan selalu setia di garis depan perjuangan, berperan aktif dalam berbagai upaya mewujudkan Indonesia dan dunia yang sehat melalui makanan.

Di kala mentari yang mulanya ada di ufuk timur telah menyingsing ke ufuk barat, itulah tanda waktu sudah petang. Lelaki yang awalnya bagaikan mentari di ufuk timur, kini sudah ada di ufuk barat dunia kampus. Namun, layaknya mentari, ia terbenam di satu sisi bumi, lalu terbit di sisi lain. Sampai jumpa di belahan bumi lain dan saksikan saat mentari itu terbit.

(Sebuah tulisan sebagai syarat wisuda Penerima Manfaat Beasiswa Aktivis Nusantara 2017)

0 komentar:

Post a Comment