Monday, October 31, 2011

[RINGKASAN] Kontribusi Limbah Ruminansia terhadap Pemanasan Global: Laju Emisi Gas Metana dari Kotoran Kambing, Kerbau dan Sapi

Standard
Isu dunia yang terhangat saat ini adalah tentang pemansan global serta berbagai dampaknya terhadap kehidupan manusia. Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan (Wikipedia, 2010).

Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.

Pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim telah menarik perhatian dunia. Kenaikan suhu udara yang kemudian menjadi sebuah ancaman bagi kehidupan manusia di muka bumi telah menjadi keresahan banyak pihak. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menyebutkan bahwa bila tidak dilakukan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca maka 75-250 juta penduduk di Afrika akan menghadapi krisis air di tahun 2020. Kelaparan yang meluas akan terjadi di Asia Timur, Asia Tenggara dan Asia Selatan. Indonesia pun akan menghadapi kehilangan sekitar dua ribu pulau kecil akibat kenaikan permukaan air laut. Bencana banjir dan kekeringan menjadi ancaman (Fadli, 2007).

Kenyataan memang sepertinya mendukung, betapa negara-negara berkembang banyak yang kurang peduli dengan permasalahan lingkungan. Pembangunan industri di negara-negara berkembang yang masyarakatnya belum sadar terhadap pencemaran, telah mendegradasi kualitas lingkungan hidup secara massif. Berbagai industri, pabrik, dan ini yang paling penting industri perkayuan (penebangan hutan) telah mengakibatkan kerusakan lingkungan secara global.

Bagi negara-negara maju, kerusakan hutan tropis di negara-negara berkembang sangat mengkhawatirkan. Sebab hutan tropis dianggap sebagai paru-paru bumi yang mampu mensirkulasi dan mentransformasi karbondioksida menjadi oksigen. Bila hutan tropis hancur, maka bisa dibayangkan seluruh dunia akan terkena dampaknya. Dewasa ini, tiap tahun menurut Bank Dunia 10 sampai 20 juta hektar hutan tropis hancur. Padahal hutan tropis merupakan ekosistem yang amat penting bagi bumi. Sebagian besar makhluk hidup di bumi berada di hutan tropis.

Bila keadaan demikian terus dibiarkan, maka diperkirakan pada abad 21, hutan tropis akan lenyap dari muka bumi. Saat ini, di dunia hanya Brazil dan Indonesia saja yang masih mempunyai hutan tropis cukup luas. Namun demikian hutan tropis kedua Negara tersebut terus berkurang. Di Indonesia sebagai contoh, menurut Bank Dunia tiap tahun sekitar 600 ribu sampai 2,5 juta hektar hutan tropis musnah.

Pemanasan global disebabkan karena terakumulasinya gas-gas rumah kaca di atmosfer, sehingga panas matahari yang sampai ke permukaan bumi terjebak di dalam atmosfer bumi. Hal ini tentu saja akan meningkatkan suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi (Baskoro, 2009). Gas-gas rumah kaca tersebut meliputi CO2, CH4, N2O, CO dan juga NOX. Gas-gas ini secara alamiah memang ada di alam. Namun kegiatan manusia seperti industri, transportasi, pertanian, peternakan, rumah tangga dan berbagai kegiatan lain dapat menghasilkan gas-gas rumah kaca tersebut dalam jumlah yang besar.

Industri ternak telah menjadi penyebab utama dari pengrusakan lingkungan dan emisi gas rumah kaca. Memelihara ternak untuk konsumsi telah menjadi salah satu penghasil gas karbon dioksida terbesar serta menjadi satu-satunya sumber emisi gas metana dan nitro oksida terbesar. Sektor peternakan telah menyumbang 9 persen racun karbon dioksida, 65 persen nitro oksida, dan 37 persen gas metana yang dihasilkan karena ulah manusia. Gas metana menghasilkan gas rumah kaca 20 kali lebih besar dan nitro oksida 296 kali lebih banyak jauh di atas karbon dioksida. Peternakan juga menimbulkan 64 persen amonia yang dihasilkan karena campur tangan manusia sehingga mengakibatkan hujan asam.

Selain menghasilkan feses dan urine, dari proses pencernaan ternak ruminansia menghasilkan gas metan (CH4) yang cukup tinggi. Gas metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1 % per tahun dan terus meningkat (Suryahadi dkk., 2002). Pada peternakan di Amerika Serikat, limbah dalam bentuk feses yang dihasilkan tidak kurang dari 1.7 milyar ton per tahun, atau 100 juta ton feces dihasilkan dari 25 juta ekor sapi yang digemukkan per tahun dan seekor sapi dengan berat 454 kg menghasilkan kurang lebih 30 kg feses dan urine per hari (Dyer, 1986). Sedangkan menurut Crutzen (1986), kontribusi emisi metan dari peternakan mencapai 20 – 35 % dari total emisi yang dilepaskan ke atmosfir. Di Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan (Suryahadi dkk., 2002).

Laju emisi CH4 ke atmosfer merupakan yang paling cepat diantara keenam gas rumah kaca. Konsentrasi CH4 meningkat 150% dari konsentrasinya sebelum jaman revolusi industri tahun 1750 (IPCC, 2001). Proyeksi emisi CH4 oleh Nakicenovic et al. pada tahun 2000 memperlihatkan bahwa konsentrasi CH4 akan terus meningkat hingga tahun 2050. Akan tetapi, sejak awal 1990, laju peningkatan konsentrasinya menurun secara drastis dan bahkan pada periode 1998-2002, konsentrasi CH4 di atmosfer cenderung stabil dan mengarah ke tren negatif (Dlugokencky et al., 2003). Fenomena ini menyebabkan timbulnya wacana untuk meninjau ulang status CH4 sebagai salah satu gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global karena pengaruhnya yang semakin kecil (Bousquet et al., 2006).

Meskipun telah diketahui perkiraan persentase emisi metana dari sektor peternakan, namun laju emisi per satuan waktu untuk kotoran yang dihasilkan oleh berbagai jenis ternak belum banyak dipublikasikan. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan pengamatan dan pengukuran laju emisi metana dari kotoran kambing, kerbau dan sapi. Dengan mengetahui, laju emisi tersebut maka diharapkan dapat dilakukan perkiraan total emisi dari sektor peternakan secara lebih baik.

Secara umum, fenomena yang terjadi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kotoran sapi, kambing dan kerbau menghasilkan akumulasi emisi gas metana yang terus meningkat sesuai dengan bertambahnya waktu.
2. Laju emisi masing-masing jenis kotoran berbeda-beda. Hal ini mengindikasikan kandungan tiap jenis kotoran tersebut mempunyai kandungan metana yang berbeda-beda.
3. Laju emisi metana pada perlakuan anaerobik dan aerobik berbeda. Hal ini ditentukan ada tidaknya oksigen dalam media penyimpanan dan aktivitas bakteri yang berperan dalam mendekomposisi bahan.
4. Laju emisi yang tercepat adalah kotoran hewan yang diperlakukan secara anaerobik. Hal ini dikarenakan bakteri yang mengurai kotoran menjadi gas metana adalah bakteri yang tumbuh dalam lingkungan anaerobik.


Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Laju emisi gas metana dari kotoran hewan ruminansia, khususnya pada kambing, kerbau dan sapi terus mengalami peningkatan, sesuai pertambahan waktu.


2. Persamaan matematis emisi gas metana pada kondisi aerob dan anaerob adalah sebagai berikut:


3. Laju emisi untuk masing-masing jenis kotoran pada kondisi aerob dan anaerob adalah sebagai berikut:


4. Dari data tersebut dapat dibandingkan laju emisi pada kondisi aerob dan anaerob. Terlihat bahwa ada perbedaan yang signifikan anatara 2 kondisi tersebut, terutama pada kotoran sapi. Hal tersebut sekaligus memperlihatkan bahwa kotoran sapi adalah jenis kotoran ruminansia yang paling banyak menghasilkan gas metana di antara ketiga jenis kotoran yang diuji.


#Finalis Indonesian Science Project Olympiad Bidang Lingkungan 2011