Tuesday, June 27, 2017

Positive thinking and feeling

Standard


Apa hal mendasar yang membedakan seseorang dengan orang lain? Tentu banyak hal jawabnya. Sekalipun sudah banyak disinggung para motivator dan juga disebut dalam beberapa teori psikologi modern, ada satu hal yang kerap luput hadir pada diri seseorang. Ya, tentang management berpikir dan merasa.

Bagaimana bisa? Pada dasarnya setiap pribadi memiliki kecenderungan berpikir dan merasa yang terpengaruh pada berbagai faktor, lingkungan dan keturunan misalnya. Itulah mengapa ada yang menyebut “kemiskinan” adalah lingkaran setan yang hanya bisa diputus dengan “pencerahan”. 

Apanya yang “dicerahkan”? Hati dan pikirannya. Dengan cara apa? Melalui pendidikan. Disini penidikan memegang peran sentral dalam  merubah cara pandang dan pengelolaan rasa seseorang.

Selanjutnya, ada faktor-faktor lain juga yang berpegaruh pada kecakapan seseorang dalam mengelola pikiran dan perasaan. Misalnya faktor spiritual dan agama. Kedua faktor tersebut mengambil peran yang relatif signifikan dalam membentuk mindset seseorang untuk memandang sesuatu.  Singkatnya, pendidikan; spiritual; dan agama boleh jadi dianggap faktor yang penting dalam membentuk pola pikir dan pengelolaan rasa yang positif.

Sunday, June 25, 2017

Lelaki Perasa

Standard
Entah, akhir-akhir ini saya sedang cukup terganggu dengan karakter “perasa” yang cukup kuat melekat pada diri saya. Padahal, saya sudah menyadari bahwa saya adalah lelaki perasa dari beberapa tahun silam :D . But It’s fine, ga pernah ada masalah besar karena karakter satu ini. 

Saya pikir jujur pada diri sendiri menjadi penting. Kita akan lebih tahu siapa diri kita jika kita jujur. Kalau kata saya di Buku Bukan Mahasiswa Biasa (?), “jujur membawa mujur”. Karakter “perasa” ini secara berimbang berdampak positif dan negatif sekaligus bagi saya. 

Secara positif karakter ini yang membuat saya selalu melas pada orang-orang yang kurang beruntung. Yang pada akhirnya membuat saya mau turun tangan membantu yang lain. Karakter ini juga sering menjadi booster untuk memperjuangkan sesuatu, baik perasaan pada orangtua, keluarga, agama, bangsa dan seterusnya. Lebih dari itu, karakter “perasa” telah mampu melecutkan tindakan-tindakan saya diatas kemalasan yang ada. Misalnya, ketika saya dihina, at this time I take promise, bahwa suatu saat saya akan melakukan dan mencapai titik yang lebih ketimbang yang menghina. Banyak hal baik yang pada awalnya dimulai dari perasaan, walaupun tentu di tengah jalan niatnya harus selalu diluruskan. Intinya, “perasa” ga selalu buruk kok, ada banyak hal baik yang bisa jadi dimulai dari perasaan.

Di sisi lain, seperti yang sudah saya singguh di atas, karakter “perasa” juga terkadang berdampak negatif. Yang sudah barang tentu itu akan cukup mengganggu. Saya pribadi sejujurnya cukup sulit menuju titik stabil “percaya diri”. Salah satunya Karena karakter “perasa” itu. Kadang (bahkan sering) saya melibatkan perasaan mengenai bagaimana orang lain ketimbang fokus pada diri sendiri. Hingga pada akhirnya “percaya diri” saya untuk melakukan ini itu sebenarnya lebih karena terbiasa.

Baiklah, saya berusaha melihat sesuatu dari dua kutub berbeda. Tentang karakter “perasa”, saya pikir yang jauh lebih penting adalah selalu mengendalikannya. Menggunakannya sebagai potensi dan menjaganya agar tak liar.

Saturday, June 24, 2017

Masih Harus

Standard
Rasa-rasanya mudik kali ini menjadi semacam pereda kulminasi yang melanda. Sepanjang dua bulan lalu hari-hari yang cukup padat merayap menjadi semacam “line way” yang makin menyadarkan bahwa diri ini masih sangat banyak kurangnya dan masih butuh banyak belajar.

Dimulai dari cerita 18 hari di Pare yang memberikan banyak insight, proses finishing buku, hingga 22 hari menjadi Manager Hayaku Jogja.

Keberngkatan ke Pare pada 8 Juni silam menjadi langkah antisipatif terhadap waktu luang pasca kuliah kerja nyata (kkn) yang usai di akhir april. Rasanya tak ingin waktu terbuang sia-sia dengan tanpa melakukan apapun. Terlebih tanggungan akademik telah usai dan hanya tinggal menunggu keluarnya nilai kkn, yudisium, dan lalu wisuda. Apalagi belajar bahasa inggris menjadi satu hal yang urgent di era sekarang ini, khususnya bagi pemuda yang masih belum fasih berbahasa inggris seperti saya.

Sejujurnya, ekspektasi awal saya ke Pare memang relatif rendah pada mulanya. Hanya sekadar mengisi waktu luang dan lalu belajar bahasa inggris sekadar untuk mengenal apa itu TOEFL IBT. Ya, niatnya saya ingin belajar TOEFL IBT di Pare, sebelumnya saya hanya kenal TOEFL PBT dan ITP. Hingga qodarulloh akhirnya saya malah belajar IELTS disina. Belajar IELTS, tidak terbayang pada mulanya. Namun karena unpredictable condition akhirnya mulailah hari-hari saya di Pare dijalani bersama IELTS.

Di Pare saya belajar di dua lembaga, yaitu Global English dan English Studio yang memang fokus memberikan layanan belajar IELTS. Dan disanalah untuk pertama kali saya berkenalan dan bercengkrama dengan IELTS. Ada total 6 program yang saya ikuti di dua lembaga belajar tadi, meliputi reading, listening, writing 1,writing 2, speaking, dan scoring for IELTS. Serta masih ada program camp  hampir setiap hari di jam 05.00-06.00 pagi dan 18.30-20.00 petang. Sehingga, dari jam 05.00-20.00 waktu saya digunakan untuk belajar bahasa inggris. How so productive time isn’t it? Melelahkan, tapi saya senang. Tiada (atau sedikit) kesia-siaan waktu dengan begitu.

Selanjutnya selalu menarik untuk bicara tentang perjumpaan. Saya beruntung bisa berjumpa dengan banyak pemuda dari berbagai pelosok tanah air. Lebih spesifik, pemuda yang ambiz untuk kuliah ke luar negeri dan belajar mati-matian untuk mencapai score IELTS 6,5 ke atas. Ada dari mereka yang di Pare ber-bulan-bulan, bahkan masuk hitungan tahun. Hikmahnya saya jadi lebih termotivasi untuk belajar IELTS dan menjalani hari dengan “keminggris” (It is “term” how I call my self for being crazy because of english practice daily). Hikmah lainnya, “I learn more that nothing is impossible”. Asal mau sungguh-sungguh dan cerdas dalam berstrategi inshaAllah semuanya cita bisa dicapai. And finally, for 18 days learning IELTS, alhamdulillah I reach score 5,5 to 6 out of 9 (simulation test). InshaAllah dengan belajar terus dan terus skor IELTS bisa naik, saya optimis. Seperti kata seorang abang “banyak latihan tak akan menghianati hasil”.

Selanjutnya, cerita yang datang dari sebuah resto jepang bernama “Hayaku”. Di tengah periode les di Pare, saya menerima pesan whatsapp dari manager Hayaku Jogja. Beliau meminta tolong pada saya untuk menggantikan posisinya sementara, kabarnya beliau akan ke luar kota sekitar 2,5 bulan. Awlanya saya ragu dan lebih cenderung menolak tawaran itu. Lalu seperti biasa, saya telpon Umi untuk meminta pertimbangan. Dan lalu, sejujurnya ada alasan lebih rasional yang saya ambil why I take this job. Pikiran saya yang saat itu sedang candu dengan IELTS, “sepertinya saya butuh segera official test IELTS yang mahal itu, tapi bagaimana ya biar ga merepotkan orangtua, malu kalo minta duit lagi dan lagi”. Pertimbangan lainnya, I think “it is will be so exciting” learning by working. Belajar tentang manajemen penyelenggaraan makanan di resto, ini sebuah kesempatan emas. Jika biasanya hanya belajar itu dari buku, kelas, dan jurnal; kali ini saya bisa praktek langsung. Yang lebih menguatkan saya, ini adalah pekerjaan yang berkaitan dengan bidang ilmu yang saya minati “it is food quality and safety management”.

Sebenarnya deg deg-an saat mula-mula bekerja di Hayaku Jogja. Managing restaurant may be totally different with managing student organization. Tapi, ternyata pengalaman berorganisasi di kampus sangat berguna disini. Bagaimana mengelola manusia, keuangan, aset, promosi dan seterusnya. Disini, rasa kemanusiaan juga sering diuji. Bagaimana menghadapi karyawan dengan berbagai latar belakang, serta konsumen yang juga beraneka ragam. Makin belajar untuk respect pada aturan dan mencari benang merah antara “rasa” dan “logika”. Terkadang karena rasa, kita menjadi condong pada ke-tidak-adil-an. Padahal, adil itu penting untuk membuat sistem stabil. Tugas seorang manager dan tentu pemimpin adalah bagaimana memastikan sebuah sistem itu stabil, yang mana hanya bisa terwujud dengan profesionalisme, keadilan, serta tentu kemanusiaan. Masih ada sekitar 45 hari lagi untuk belajar dan bekerja di Hayaku Jogja. Masih banyak ilmu yang dipelajari di bangku kuliah, namun belum diterapkan.  Periode penyesuaian telah usai, kedepan adalah saatnya periode perbaikan. Berkomiten untuk menyediakan good service restaurant dan menjamin kualitas makanan yang baik merupakan prioritas kami kedepan.

Lalu, bersamaan dengan itu tahapan editing dan finishing buku juga sedang berlangsung. Di tulisan ini saya ingin menyampaikan banyak terimakasih pada Dompet Dhuafa dan umat yang telah memfasilitasi pembuatan buku saya. Sebuah memoar perjalanan menggapai cita dan merupakan buku “solo” saya yang pertama. Atas izin Allah, buku yang ditulis saat sedang sibuk-subuknya kkn akhirnya sudah  bisa di-order. Buku ini adalah salah satu wujud syukur saya pada Allah atas segala karunianya, terkhusus dari zaman sekolah dasar hingga kuliah yang menyimpan banyak kenangan. Ini juga merupakan ikhtiar untuk meringankan beban bagi sesama yang membutuhkan.
Saya menyadari buku ini masih banyak kurangnya dan tentu belum sebagus buku-buku karya Salim A. Fillah, Andrea Hirata, ataupun Habiburrahman. Juga merupakan buku yang out dari genre penulisan saya. Model penulisan buku “Bukan Mahasiswa Biasa (?)” adalah cerita, bukan prosa sebagaimana yang lebih suka saya buat. But not matter, semoga ini menjadi langkah awal untuk lebih luas menebar manfaat. Saya bertekat untuk selalu menuliskan yang terbaik dan memperbaiki yang ditulis sekarang dan kedepannya, inshaAllah.

Sejujurnya masih ada sebuah peristiwa penting, namun nampaknya belum saatnya saya tulis. Saya hanya berharap, siapapun yang membaca tulisan ini berkenan untuk men-do’a-kan yang baik dan terbaik untuk kita bersama, Islam, dan Indonesia.


Saya, dan mungkin Anda juga merasakan. Diri ini terlalu banyak kurangnya, khilafnya, salahnya. Namun, yakinlah, Allah lebih mencintai mereka yang terus berproses berbenah daripada yang duduk murung tertunduk tanpa berbuat apapun. Diri ini, masih harus banyak belajar, masih harus terus berbenah.