Tuesday, January 27, 2015

Mimpi, Ajarkan Fase dalam Kehidupan

Standard
“Jika engkau minta surga, minta lah firdaus”

Sabda indah rosululloh yang syarat akan makna. Betapa utamanya berharap pada Allah, dengan harapan tertinggi. Jika kita minta pada Allah, minta lah yang tertinggi, terbaik, dan termulia. Senada dengan perkataan ayah dua setengah tahun lalu saat akan masuk kuliah. Kenapa harus berharap setinggi itu?. Karena mimpi adalah aspek idealis manusia. Justru karena mimpi itu tak rasional maka disebutlah sebagai mimpi. Mimpi bukan sekedar tergetan yang harus terpenuhi, bukan hanya hasil. Tapi mimpi adalah penuntun kita dalam berporses. Mimpi mengajarkan kita untuk bersungguh-sungguh dalam berbuat dan berdo’a. Mimpi mengajarkan kita untuk tak menyepelekan. Mimpi mengajarkan kita tentang “plan your work and work your planned”.

Jika kita takut bermimpi karena khawatir mimpi kita tak terwujud kemudian menjadi kecewa. Maka percayalah mimpi mengajarkan keindahan proses. Jika kita gagal menggapai mimpi untuk kesempatan pertama serta kecewa mendalam lalu seterusnya beberapa kali berulang. Maka percayalah suatu ketika kita akan mencapai fase dimana kita paham bahwa kegagalan meraih mimpi bukan satu hal yang bisa membuat kita kecewa mendalam. Lagi lagi ini tentang proses. Bahwa untuk memahami fenomena sering kali kita harus melaluinya terlebih dahulu, kemudian baru tahu lalu memahami dan kemudian bisa menerapkan.

Jadi ketika kita punya mimpi setinggi langit dan sulit terwujud, percayalah yang perlu kita lakukan bukan menurunkan mimpi itu, tapi meningkatkan kadar usaha. Sekali lagi bicara tentang mimpi kita masuk pada ranah idealis, bukan realistis. Sekalipun mimpi kita tak terwujud, proses menuju mimpi itu akan mengajarkan kita begitu banyak hal yang akan berpengaruh bagi fase kehidupan kita selanjutnya.

Ya, hidup ini adalah proses. Dan dalam proses itu kita masuk dalam tiap fase. Tiap fase akan menentukan fase kita di kemudian hari. Bisa kita amati di sekitar kita. Ada orang yang pandai berbahasa inggris, TOEFL 650, bisa exchange dengan mudah, sering juara debat bahasa inggris, dan pastinya akan mudah mendapat beasiswa untuk kuliah ke luar negeri. Ada juga orang yang selalu juara lomba Karya Tulis Ilmiah, kualitas KTI nya mengagumkan. Lalu bisa juga kita temui orang yang luar biasa dalam kepemimpinanya, visioner, tegas, dan luar biasa. Kenapa bisa demikian?. Karena mereka telah melewati fase pembelajaran untuk jadi orang yang pandai berbahasa inggris, menulit KTI, dan memimpin. Fase sebelumnya dalam hidup mereka telah mengajarkan itu.

Jadi jika saat ini kita menemukan apa yang ada pada diri mereka belum ada pada diri kita itu bukan karena kita bodoh. Tapi karena kita belum melewati fase-fase yang mereka alami sehingga jadi seperti sekarang. Begitu juga kelebihan yang ada pada diri kita. Kelebihan itu ada karena kita sudah melewati fase-fase tertentu sehingga mengajari kita banyak hal.

Maka yang patut kita pahami sebelum melangkah lebih jauh adalah tentang konsep hidup dan konsep diri. Kita adalah seorang hamba yang ada dalam suatu proses panjang bernama kehidupan. Maka kehidupan ini bukanlah tentang hasil, tapi tentang proses. Tiap proses yang sudah dialami dalam hidup kita akan berpengaruh pada proses-proses selanjutnya.

Saturday, January 24, 2015

HARI GIZI NASIONAL 2015

Standard
"Bersama membangun gizi menuju bangsa sehat berprestasi"

Demikian tema Hari Gizi Nasional 2015. Jika dicermati tema tersebut punya makna yang sangat menohok. Betapa lupanya kita terhadap aspek gizi dalam membangun negeri ini. Pradigma selama ini, saat kita ingin membangun negeri maka pendidikan yang harus diperkuat, pertanian, ekonomi, politik, dan lainya. Miris, hanya sedikit yang menyinggung aspek kesehatan, apalagi gizi. Gizi selalu dianggap pelengkap dan kurang penting. Bahkan dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia terlihat pemerintah kurang konsen dalam memperbaiki aspek gizi. Padahal gizi sangat berpengaruh dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Indonesia sebagai negara berkembang memiliki dua modal luar biasa untuk menjadi negara maju, sumber daya alam dan sumber daya manusia. Tak diragukan indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat biodiversity tertinggi di dunia, dikenal sebagai negara agraris dan maritim. Dari segi sumber daya manusia, indonesia punya sekitar 250 juta manusia yang sangat potensial, tertinggi ke empat di dunia.

Namun sayang potensi besar yang dimiliki, khususnya sumber daya manusia tidak digarap dengan baik oleh pemerintah. Pradigma yang selama ini dibangun selalu bertumpu pada aspek hilir, aspek yang bersinggungan langsung dengan hasil seperti pendidikan. Namun tidak mementingkan aspek hulu, antara lain gizi. Bagaimana bisa orang jadi cerdas jika dalam siklus kehidupanya saja tidak memperoleh asupan gizi baik, maka imbasnya ia pun tumbuh kurang baik. Bisa dibayangkan jika seseorang tidak mendapat asupan gizi yang cukup saat dalam kandungan, lalu terus berangsur hingga 1000 hari pertama kehidupan. Maka bisa dipastikan kapasitas otak tak berkembang baik. Jika sudah demikian mau digenjot seperti apapun gizinya tetap saja tidak optimal, ada fase penting yang terlewat.

Kini masyarakat dihadapkan pada jaminan kesehatan dan berbagai macam layanan kesehatan. Entah berapa banyak dana yang dialokasikan untuk membiayai upaya kuratif (pengobatan). Begitu ada yang sembuh lalu ada lagi yang sakit, demikian seterusnya. Upaya preventif (pencegahan) sebenarnya juga sudah mulai digalakan. Tapi terlihat masih belum optimal dan terkesan setengah-setengah.

Lagi-lagi saya katakan pemerintah seakan lebih mementingkan hilir daripada hulu, kurang seimbang. Edukasi yang diberikan selalu berfokus pada generasi tua, anak dan remaja kurang diprioritaskan. Walaupun saat ini kabarnya ada sedikit materi gizi yang masuk kurikulum SMA menurut saya itu kurang operasional. Anak dan remaja lebih membutuhkan materi tentang urgensi gizi itu sendiri, tidak hanya hitung-hitungan kebutuhan gizi. Pentingnya kesadaran akan gizi menjadi utama. Jika kita lihat kurikulum pendidikan beberapa negara lain, sudah ada materi tentang gizi sejak SD. Hal itu dikarenakan pemahaman tentang gizi sangat dibutuhkan sejak dini oleh anak-anak agar bisa memilah mana makanan/jajanan yang layak dan mana yang tidak. Tapi nampaknya di indonesia masih belum sebaik itu.

Itu keadaan di pendidikan dasar dan menengah. Di tingkat pendidikan atas sekelas diploma dan sarjana pun masih terbelit masalah keprofesian. Berbeda dengan profesi kesehatan lain, keprofesian gizi masih tersendat. Pada jenjang sarjana misalnya, dari sekian program sarjana gizi di indonesia hanya ada satu (hampir dua) yang membuka pendidikan keprofesian. Dulu UGM memiliki program keprofesian gizi, lalu ditutup karena alasan standar/pengakuan. Kini Universitas Brawijaya satu-satunya yang memiliki jenjang keprofesian gizi dan kabarnya sebentar lagi UGM akan berjalan lagi (sudah dibuka).

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah di depan mata. Namun nampaknya profesi gizi masih kurang siap menghadapinya. Kelangkaan pendidikan keprofesian tentunya berimbas pada pengakuan internasional. Karena yang dunia internasional butuhkan sebagai klinisi bukan sekedar sarjana gizi namun seorang Registered Dietitian (RD) yang baru bisa didapatkan setelah pendidikan profesi, tentunya dengan standar internasional.

Masih dalam lingkup pembahasan MEA, angka impor pangan akan meningkat karena kemudahan dan kemurahan biaya untuk impor. Lalu apakah masyarakat kita sudah pintar memilah mana makanan yang baik dan mana yang tidak baik?. Sebagaimana kita tau produk impor cukup rawan memicu masalah gizi. Contoh sederhananya adalah produk high sugar yang jelas akan memicu berbagai sindrom metabolik jika dikonsumsi berebih.

Data Riset Kesehatan Dasar Depkes 2013 pun masih menunjukan tingginya angka gizi buruk, gizi kurang, obesitas dan masalah gizi lain di Indonesia. Secara nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari 5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Secara nasional masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8 persen, terdiri dari gemuk 10,8 persen dan sangat gemuk (obesitas) 8,8 persen. Prevalensi gemuk terendah di Nusa Tenggara Timur (8,7%) dan tertinggi di DKI Jakarta (30,1%). Lebih parahnya lagi akses kesahatan di daerah timur masih sangat terbatas padahal angka gizi buruk di daerah timur tinggi. Nampaknya kita punya begitu banyak pekerjaan rumah untuk gizi indonesia. Berprestasi atau tidaknya indonesia bagi saya tidak lebih penting dari nyawa yang melayang akibat gizi buruk dan masalah gizi lainya. 

Tidak ada yang perlu dipersalahkan, tulisan ini hanya kritik dan pengingat bagi saya pribadi, pemegang kebijakan, dan setiap orang yang membaca bahwa kita masih punya banyak masalah gizi Indonesia yang harus diselesaikan bersama.

Selamat Hari Gizi Nasional 2015. “High Quality People Begin from Good Nutrition”

Salam, Mokhamad Ali Zaenal Abidin
Isu & Advokasi Ikatan Lembaga Mahasiswa Gizi Indonesia

Friday, January 23, 2015

Takut dan Harap

Standard
Sejak lama logika ini heran, betapa sulitnya menemukan perpaduan indah antara takut dan harap. “khaufan wa thama'an”, demikian Tuhan perintah dalam tiap do’a yang tercurah. Do’a yang disertai rasa takut dan harap. Takut bilamana Tuhan tak berkenan dan  berharap semoga dikabulkan.

Nampaknya, ini tak sekedar berlaku pada tiap do’a yang tercurah. Namun pada tiap langkah hidup. Betapa takutnya kita dengan segala ketidakpastian di masa mendatang, menjemukan. Jemu karena mungkin apa yang kita lakukan, kita perbuat, kita usahakan sekarang tak berbuah sebagaimana harapan atau bahkan membuat terperangah pilu. Sungguh, rasa takut kerap menghantui.

Di tengah ketidakpastian kita masih punya harapan. Lalu harapan itulah yang selalu menguatkan langkah. Bagiamana menjadi tangguh dan berkali-kali lipat lebih kuat. Harapan menyegarkan ruh dengan cinta. Cinta yang menjulang tinggi hingga selalu setia pada hakikat bahwa Tuhan tak pernah mengecewakan.

Takut dan harap, perpaduan indah yang mendalam maknanya. Lagi lagi harus saya katakan, kita tak berdaya, tak pantas melenggang angkuh di muka bumi. Karena dengan mudah bisa saja Tuhan balikan segala keadaan hingga yang kau takutkan menjadi nyata. Sungguh manusia itu tak berdaya.

Maka, harapan selalu menjaga agar segala resiko besar yang diambil tak berujung penyesalan. Ia menanamkan bagaimana cinta mengajarkan untuk percaya dan terus percaya, Tuhan tak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya. Tuhan maha cinta, selalu menyertai hamba-Nya. Bilapun ujian datang, itu bukan karena Tuhan jahat, tapi karena tuhan rindu. Rindu peluh ditengah sujud sepertiga malam yang lama tak tercurah. Maka yakin lah dengan sungguh, Tuhan maha cinta.

Wednesday, January 21, 2015

Ego

Standard
Banyak orang di luar sana yang sedang kelaparan, menderita, dan kesusahan. Mereka hidup dalam keterbatasan yang berlarut, keterbelakangan yang menghinakan, dan kemelaratan yang nyata. Lalu apa yang membuat kita masih berpikir terlalu egois?. Aku, aku, dan aku, nampaknya semangat ke-aku-an sudah mendarah daging dalam tubuh kita hingga setiap hirup nafas, pikiran, dan hati tercurah untuk mencari jalan bagaimana agar aku begini, bagaimana agar aku begitu, bagaimana agar aku unggul dibanding orang lain dalam hal duniawi.

Ego memang tidak akan pernah terpisah dari diri kita, ia merupakan satu kesatuan. Tapi jangan lantas kita jadi terlalu egois, menisbatkan semua hal atas dasar “aku”. Jangan selalu kita memperturutkan ego yang bernafas nafsu. Aku ini siapa?, tak lain hanya hamba yang bertugas memakmurkan bumi ini dan menyembah-Nya. Maka tekan lah dalam-dalam semangat ke-aku-an itu.

Memang betul kita harus berpikir tentang diri sendiri, memperbaiki diri, berkarya, aktualisasi, dan seterusnya. Tapi tidak lantas membuat kita lupa bahwa problematika masyarakat sangatlah kompleks, kalo bukan kita siapa lagi yang akan membantu?.

Kuat kan pribadimu, terus belajar di setiap dimensi waktu, perbaiki dirimu, yakin lah bahwa Tuhan punya rencana indah atas lika-liku hidupmu.

Wednesday, January 14, 2015

Berjumpa

Standard
Berjumpa, sebuah momentum pertemuan nurani dalam ikatan cinta

Dulu saat SMA saya pernah berpikir, andaikan saja ada barisan yang kokoh dalam menyeru pada kebenaran. Barisan itu tangguh dalam menegakan kalimat indah. Setiap komponenya berkarakter kuat, bersahaja, dan tauladan mulia. Mereka pemuda yang cerah wajahnya, lagi mendekatkan pada-Nya. Sungguh indah jika benar ada.

Itu semua hanya angan hingga betul saya dipertemukan dengan mereka di kampus kerakyatan. Bahkan mereka terlalu hebat bagi saya. Mereka tidak lagi sekedar mementingkan ego, namun senyum orang lain lah yang selalu ingin mereka wujudkan. Mereka tak sempurna, tapi selalu berproses memperbaiki diri.

Saya bersyukur pada Tuhan atas perjumpaan ini. Atas kesempatan menempa diri, membina diri, dan terus berproses menggaapai cita insan mulia. Syukur atas cinta yang terpatri dalam nurani.

Thursday, January 8, 2015

Jalan Cinta

Standard
“Kita tak pernah diajari untuk membenci, hanya mencinta dan berbagi”

Sering kali hati yang tersayat, terluka, dan terdzolimi merintih pilu. Memori tentang mereka yang melukai terbayang begitu menyeramkan. Bahkan jika ada kesempatan seolah ingin membalas apa yang mereka lakukan.

“Tapi, bukankah kita tak pernah diajari untuk mendendam?”

Lika-liku kehidupan mempertemukan kita dengan banyak orang dan banyak keadaan. Ada orang yang menyenangkan dengan keramahan dan kebaikanya, ada juga orang yang berkarakter tidak “mengenakan” untuk dideskripsikan. Ada keadaan yang membuat kita rindu dan ingin mengulang setiap waktu, juga ada keadaan yang tak ingin terbayang barang sedetikpun.

Ini lah kehidupan, kita ditakdirkan bertemu banyak orang agar kita tahu bahwa Tuhan memang luar biasa!. Orang-orang dengan karakter baik ditakdirkan menjadikan kita paham makna kasih dan cinta. Sedangkan orang dengan karakter tak “mengenakan” adalah sosok yang ditakdirkan untuk menjadikan kita lebih tangguh, lebih hebat!.

Bersabarlah!, kata yang mudah dikatakan namun sulit dilakukan. Kenapa demikian?, karena hadiahnya adalah surga!.  Bersabarlah dengan sebaik-baik kesabaran, baik disaat lapang maupun sempit.

Pada akhirnya, meluruskan niat adalah menjadi kunci dalam tiap perbuatan kita. Jangan sampai kita bergerak karena benci, jangan sampai kita bertindak karena dendam. Ini lah Jalan Cinta, bagaimana setiap perbuatan kita mengandung semangat ingin berbagi dan bermanfaat. Bagaimana rasa kasih dan cinta kita melambung tinggi untuk-Nya dan untuk mereka, bahkan lebih dari rasa cinta pada diri sendiri.