Friday, February 28, 2014

Mau jadi seperti apa?

Standard
Di setiap persimpangan jalan kita harus kembali memilih
Kemana langkah kita akan tertuju?

Kini pun demikian
Aku telah sampai waktu untuk kembali memilih
Mau jadi seperti apa?

Warna dalam diri kita amat beraneka
Tumbuh saling mendesak
Mewarnai
Menghiasi
Meneduhkan pandangan
ah...sungguh indah

Satu sama lain saling mendesak untuk mendominasi
Dan kemudian yang mendominasi itu akan menjadi representasi
Bagaimana diri ini terlihat di luar itulah cerminan dalamnya

Terlepas dari perkara kemunafikan
Warna ini sungguh indah

Mau jadi seperti apa?
Hmmm...kembali dan kembali harus meneguhkan hati
I'm the special one!
So different and unique!

Tuesday, February 11, 2014

Ketetapan Hidup

Standard
"Percayalah, bahwa beban ini ada untuk menguatkan, beban ini ada untuk mengokohkan, beban ini ada untuk memuliakan".
  
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?. Inilah ketetapan Allah, bahwa kita akan diuji sesuai kadar keimanan kita. Semakin berat kadar iman, maka ujianya semakin berat pula.
  
Kalau ujian seperti ini saja sudah loyo, lalu bagaimana?. Bukankah di luar sana amat banyak orang yang diuji oleh Allah dengan beban yang lebih berlipat-lipat?. Cukupkah sampai disitu kadar imanmu sehingga engkau menyerah dengan ujian itu?. Atau ujian itu menjadikan engkau lebih kuat untuk mempersiapkan ujian-ujian lain yang lebih berat dimasa yang akan datang?

Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Maka, apa lagi yang menggusarkanmu?. Yakinlah dengan sebenar-benar keyakinan bahwa engkau mampu.   


Bukankah Allah Maha mengetahui sementara kamu tidak mengetahui?. Inilah hidup yang diciptakan sebagai penjara bagimu. Terasa berat memang, tapi inilah ketetapan bahwa kebahagiaan hakiki kita bukan disini, melainkan di jannah-Nya.


Cukuplah Allah menjadi penolongmu wahai abdulloh. Ingatlah, innalloha ma'ana: sesungguhnya Allah bersama kita. Kini kencangkanlah sabukmu, dan tataplah kedepan, harapkanlah ridho-Nya, bukan pujian semu.

Robbisrohli sodri wayassirli amri wahlul ‘uqdatammillisaani yafkahul kauli: Ya allah lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, lancarkanlah lisanku dan baguskanlah ucapanku. Berdo'alah demikian sebagaimana Nabi Musa AS berdo'a pada Rabb-nya. 

"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan"

Saturday, February 8, 2014

Umi, Bapak Maafkan Aku

Standard
Malam ini begitu syahdu, aku terhanyut dalam memori masa lalu. Betapa panjangnya jalanan ini. 

Berkelok, menanjak, berbatu aku jalani.

Sampai tiba disaat mengenang kebahagiaan, keberhasilan, dan pencapaian aku terkejut.  Aku lupa bahwa mungkin ini semua adalah kebahagiaan umi dan bapak , tapi bukan kebahagiaanya yang hakiki.

Maafkan aku karena aku lalai Umi, Bapak.

Aku lalai mengingat apa maumu

Aku terlalu egois

Aku lupa kerjakeras luarbiasamu

Aku terlalu sok tahu

Dan malam ini aku disadarkan. Engkau yang terbiasa menutupi rasa kecewa, kini mengungkapnya dengan lesu. Seolah engkau tak punya hak pada putramu. Seolah tak ada wewenang mengatur. Engkau hanya berharap aku sadar. Dengan kelembutan kata penuh harap.

Kukatakan dalam hati, engkau berhak wahai Umi, Bapak. Sungguh teramat berhak mengaturku. Selama itu perkara yang haq, engkau benar-benar berhak.

Aku ini memang keterlaluan. Kemanakah saja selama ini. Teramat kurang memahami maumu. Padahal sudah telak aku tahu, ridhomu adalah ridho Illahi.

Dalam hening, kalimat sederhana itu terucap:
“nak satu saja keinginanku pada kalian, jadilah seorang yang alim, karena untuk jadi orang benar kita butuh ilmu, jangan terlalu memikirkan dunia, jangan sampe menyesal”

Hampir air mata ini tercurah, lalu ku tahan. Sungguh perkataanmu merasuki hatiku wahai Bapak. Aku sadar sembilan belas tahun ini terlalu dzolim diriku yang terlalu banyak memikirkan keduniawian. Mungkin aku sudah terlalu silau dengan tipuan fatamorgana duniawi.

Sungguh agung do’amu, bukan bercita putranya menjadi ternama atau kaya raya. Namun agar putranya menjadi seorang yang alim lagi solih.

Kini aku sudah terlampau jauh dari harapanmu. Maka, maafkan aku.
Malam ini menyedihkan, namun mencerahkan.

Umi, Bapak, aku tak mau jadi anak durhaka.

Terimakasih malam ini sudah mencurahkan rasa, do’a dan cita. Do’akanlah aku wahai Umi Bapak, semoga aku tak hiraukan lagi godaan setan yang menakutiku akan kesusahan, kelaparan, dan kemiskinan. Bimbinglah kami selalu, putra-putrimu wahai Umi, Bapak. Aku mencintaimu dalam segala keterbatasanku.


Thursday, February 6, 2014

Muhasabah

Standard
Sembilan belas tahun sudah diri ini berteduh di atas birunya langit dan bertumpu pada hijaunya bumi.

Sembilan belas tahun sudah aku menikmati bersihnya udara, menyegarkan diri dengan jernihnya air. 

Sembilan belas tahun sudah degupan jantung, kokohnya badan, dan sehatnya akal ku dapati.

Sembilan belas tahun, merupakan waktu yang lama dalam kehidupan ragawi manusia.

Sembilan belas tahun aku hidup dalam sebuah pencarian jati diri, sampai saat ini.

Lalu nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?.

Sedih rasanya mengingat banyak dosa, kedzoliman, dan kekufuran yang menjangkiti diri ini. Benar-benar hamba yang tak tahu terimakasih!.  Begitu banyak nikmat yang telah Tuhan anugerahkan pada kita, namun nampaknya diri ini masih jauh dari kesyukuran hakiki. 

Saat melihat superioritas orang lain seringkali kita melayang, lupa akan anugerah Tuhan pada diri kita dan terjebak dalam ilusi. Tentunya jika iman sedang melemah bisa jadi kekufuran melanda. Merasa Tuhan tak adil, merasa iri, minder dan bahkan ketika ternyata motivasi yang timbul ternyata pun punya resiko. Bisa ada dua kemungkinan motivasi yang muncul. Bisa berupa motivasi untuk menjadi lebih baik sebagai wujud pengabdian pada Tuhan atau malah motivasi yang dimotori nafsu sehingga kerja keras yang timbul hanya karena ingin "terlihat baik". Bedanya sangat amat tipis, susah dibedakan. Hasilnya sama-sama terlihat pribadi yang populis, namun isinya berbeda. Yang satu berisi niatan islahun nafs (perbaikan diri) dan yang satu niatanya untuk jadi "beken" atau untuk dipuji. Termasuk yang manakah kita?. Jika cenderung pada poin yang kedua sebaiknya segera kita berbenah, jangan sampai amalan solih menjadi berbau busuk karena niatanya yang bernilai sampah!.

Wednesday, February 5, 2014

Trivium

Standard
Dimasa Romawi silam,  begitu banyak manusia terbelenggu dalam kebodohan. Bukan hanya kebodohan intelektual, lebih jauh yaitu kebodohan moral. Masa itu sungguh gelap, teramat mengerikan.

Teriakan derita akibat kebodohan pada giliranya meminta kebebasan, mengharap kemuliaan. Maka setelah kesadaran muncul, setitik cahayapun timbul. Kini giliran cahaya memainkan peran dalam gulita. Sederhana, namun mengesankan pada zamanya. Sebuah konsep Liberal Art diperkenalkan. 

Liberal Art atau "Artes Liberales" pada masanya dipahami sebagai disiplin ilmu yang menggagas tentang seni kebebasan. Harapanya, bisa terlihat jelas perbedaan antara orang yang bebas dibanding budak. Terlepas dari kontroversi ideologi kala itu, saya memahami bahwa inilah upaya pembentukan karakter.

Kekaisaran Romawi konon amat gencar menanamkan konsep Liberal Art ini, sangat penting menurut mereka. Dalam keterbatasan pengetahuan, yang saya tahu ada tiga inti dari konsep Liberal Art yaitu Grammer, Logika, dan Retorika, ketiganya lebih dikenal dengan istilah "Trivium".

Trivium, dalam bahasa latin sendiri bermakna Tiga Tujuan. Menurut saya, itu bermakna bahwa tiga inti konsep Liberal Art memiliki tujuan masing-masing dalam upaya membangun konsep Liberal Art itu sendiri. Sederhananya tiga inti tersebut adalah komponen-komponen yang membentuk satu pribadi, yaitu Liberal Art.

Saya terkesima dengan konsep ini, bukan karena esensinya, melainkan karena keindahanya memaknai perpaduan. Nampaknya saya lebih terkesima lagi saat mengaitkanya dengan kehidupan sekarang, tentang perpaduan. Telah hadir ditengah saya tiga perpaduan indah, sebagaimana Trivium meneguhkan konsep Liberal Art. 

Entah darimana asal kata Trivium yang sering kami gunakan untuk menyebut tiga komponen inti dalam organisasi kemahasiswaan. Namun demikian, saya pikir sangat relevan kaitanya terhadap makna Trivium dalam konsep Liberal Art. Pada pokoknya, Trivium bermakna tiga komponen yang berpadu.

Trivium dalam organisasi kemahasiswaan bukan sekedar masalah struktural. Terlepas dari kondisi masing-masing organisasi yang menerapkan konsep Trivium ataupun tidak, terdapat esensi yang lebih mendalam bahwa ternyata sehebat apapun pemimpin ia tak bisa sendiri.

Hakikat manusia adalah memiliki kekurangan dan kelebihan, maka dalam hal ini Trivium merupakan bagian yang saling menguatkan. Hal tersebut membuat saya teringat pada sebuah kisah, ketika Nabi Musa AS berdo'a pada Tuhan "... dan jadikanlah untukku pembantu dari keluargaku, yaitu Harun saudaraku" (Q.S. Thahaa: 29-30). Semakin memperkuat bahwa memang dalam berjuang kita membutuhkan partner yang menguatkan. Dalam do'a Nabi Musa tersebut dikabarkan bahwa Nabi Musa tidak memiliki kefasihan berbicara sebagaimana Nabi Harun sehingga beliau memohon pada Tuhan agar diperkenankan Nabi Harun menjadi partnernya dalam berjuang.