Wednesday, October 15, 2014

Mengajak pada Kebaikan

Standard
Setiap dari kita punya kewajiban untuk mengajak orang berbuat baik. Perlu ikhtiar tangguh dan konsisten. Mengajak pada kebaikan tidak cukup sekali atau dua kali, namun berkali-kali. Hingga akhirnya orang yang kita ajak memutuskan, ikut dengan kebaikan yang kita bawa atau tidak
.
Kita jadi manusia paling bahagia saat mereka berbuat baik atas ajakan kita, nilainya lebih baik dari unta merah, ungkap hadits. Dengan demikian, pohon iman berbunga dan berbuah, sangat indah. Setiap kebaikan mereka bernilai kebaikan juga bagi kita, demikian hakikat amal jariyah.

Namun, jika orang yang kita ajak menolak, atau bahkan menjadi benci pada kita, tak perlu sedih, tak perlu gundah. Petunjuk adalah hak Allah, setiap yang mendekat pada hidayah selalu atas kehendak-Nya. Tugas kita mengajak menuju kebaikan dengan cara yang baik, mendoa’kan agar kita lebih dekat pada-Nya.

"Ketika kita sudah berada di jalur menuju Allah, maka berlarilah. Jika itu sulit bagimu, maka berlari kecilah. Jika kamu lelah, berjalanlah. Dan jika itupun tak bisa, merangkaklah. Namun jangan pernah berbalik arah atau berhenti"- Imam Syafi'i

Tetaplah setia mengajak pada kebaikan. Jika itu berat, maka yakinkan dirimu, ini jalan perjuangan yang membuatmu mulia. Langkah yang konsisten akan makin dekat pada ridho-Nya, langkah kebaikan yang terasa berat pun akan menjadikan-Nya makin cinta.

Apa yang kita cari?, pujian manusia kah?, atau ridho Allah?, maka apapun hasil ajakan kebaikan, tetaplah tersenyum dan bersemangat menebar kebaikan. 

Friday, October 10, 2014

Lestarikan Empat Bahasa Kasih Indonesia

Standard
Dua puluh delapan oktober seribu sembilan ratus dua puluh delapan silam kita masih benar-benar ingat. Pemuda-pemuda negeri ini berjanji, bertumpah darah satu; berbangsa satu; menjunjung bahasa persatuan; Indonesia. Ini merupakan deklarasi besar bangsa Indonesia, semangat kesatuan. Menandai bermulanya sebuah fase baru, perjuangan!.

Perjuangan para pendahulu telah mengantarkan kemerdekaan tanah air menuju satu bahasa, bangsa, dan tumpah darah. Kemerdekaan telah merasuk ke setiap kromosom pemuda-pemuda Indonesia. Menjadikanya bersemangat mempertahankan kemerdekaan bangsanya ketika para penjajah kembali berupaya merebut kemerdekaan.

Sekali merdeka tetap merdeka. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan berhasil diraih. Namun, bukan berarti tugas anak bangsa selesai, melainkan makin menggunung. Bangsa ini dihadapkan dengan problema-problema baru, tantangan baru, dan fase baru. Setiap pemuda dituntut lebih banyak berkorban demi kejayaan bangsa.

Masalah-masalah internal negeri ini begitu banyak, korupsi; krisis moral; kemiskinan dan begitu banyak yang lain. Bahkan, wilayah timur makin senjang dengan keterbelakanya. Kita begitu ngilu melihat problematika semacam ini.

Itu baru problema internal. Parahnya kita memasuki fase neo kolonialisme, penjajahan wujud baru. Derasnya arus westernisasi membuat bangsa ini makin kocar-kacir. Media, pangan, alat transportasi, bahkan sekedar sabun mandi pun negeri ini harus impor. Dari bangun tidur hingga tidur lagi kita menggunakan barang-barang yang mayoritas impor.

Media sebagai aspek penting dalam kehidupan dikuasai oleh negara-negara barat. Dengan begitu mindset banyak masyarakat Indonesia juga terarah melihat budaya barat selalu lebih baik daripada budaya sendiri. Westernisasi sudah benar-benar melanda setiap sendi kehidupan bangsa ini.
Bahasa sebagai salah satu aspek penting bangsa ini pun tak luput dari pengaruh westernisasi. Banyak rakyat Indonesia kehilangan rasa bangga terhadap bahasa kesatuan kita, bahasa Indonesia. Sering kali Bahasa Indonesia dicampuradukan dengan bahasa asing sehingga tidak sesuai kaidah tata bahasa yang sebenarnya.

Jika masalah tersebut terus dibiarkan maka akan menimbulkan degradasi Bahasa Indonesia yang makin parah. Maka, fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu pun terancam. Kaidah-kaidah historis yang sudah tertulis dari masa ke masa bisa jadi tidak murni lagi.

Sebagai pemuda, kita punya tanggungjawab melestarikan Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu mutlak harus dipertahankan. Kelestarian Bahasa Indonesia merupakan pertaruhan lestarinya kesatuan bangsa ini.

Empat bahasa kasih Indonesia adalah sebuah ungkapan cinta untuk melestarikan bahasa kita, Bahasa Indonesia. Bahasa kita lahir dari rasa cinta terhadap Indonesia, sehingga harus dilestarikan dengan cara-cara penuh cinta.

Bahasa kasih yang pertama adalah bahasa lisan. Bahasa lisan merupakan ungkapan sesuai kaidah kebahasaan dengan konten dan cara penyampaian yang baik. Dalam rangka menerapkan bahasa kasih yang pertama diperlukan pemahaman dan pengetahuan tentang kaidah-kaidah berbahasa Indonesia. Yang jauh lebih penting dari bahasa lisan adalah cara penyampaian dan konten bahasa yang baik. Karena dengan kaidah bahasa yang baik, cara penyampaian yang baik, dan konten yang baik akan mampu memberikan ketauladanan dalam berbahasa. Ketauladanan adalah sikap nyata dari pribadi, ia menyentuh sanubari setiap insan hingga mampu membuatnya tergerak untuk mengikuti kebaikan, dalam hal ini menerapkan Bahasa Indonesia yang baik.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” ― Pramoedya Ananta ToerBahasa kasih yang kedua adalah bahasa tulisan. Tulisan adalah tempat mengabadikan gagasan. Tulisan yang ditulis dengan bahasa kasih akan mampu menyentuh sanubari, bahkan menyentuh secara abadi. Kaidah tatabahasa yang benar dan terabadikan lewat tulisan akan mengekalkan tiap kalimat kebaikan. Sekali lagi, Bahasa Indonesia akan lestari bukan hanya karena tatabahasanya, melainkan cara dan kontenya. 

Bahasa kasih yang selanjutnya adalah sikap mulia. Sebagaimana disebutkan diatas bahwa ketauladanan adalah suatu hal yang sangat penting. Sikap mulia jarang disadari sebagai upaya melestarikan bahasa. Padahal jika ingin membuat orang lain mengikuti ajakan kita untuk melestarikan Bahasa Indonesia, kuncinya menjadikan mereka percaya dengan kita melalui sikap mulia kita di setiap waktu.

Bahasa kasih yang terakhir adalah bahasa hati. Bagaimana mungkin hati berkaitan dengan upaya melestarikan Bahasa Indonesia?.  Terdengar cukup aneh, tapi begitulah adanya. Bahwa setiap bahasa hati akan tersampaikan ke hati. Hati adalah penggerak jiwa untuk berbuat. Jika komunikasi dari hati ke hati berhasil disampaikan, maka upaya menggerakan setiap insan untuk melestarikan Bahasa Indonesia akan berlangsung secara berkelanjutan, tanpa butuh dimonitori.

Begitulah empat bahasa kasih mampu melestarikan Bahasa Indonesia. Ia menjadikan usaha melestarikan bahasa persatuan ini kekal sepanjang hayat. Secara lengkap mulai dari lisan, tulisan, sikap mulia, hingga hati nurani yang bergerak. Melestarikan Bahasa Indonesia bukan sekedar program formal, melainkan tindakan nyata lewat kasih sayang.



Saturday, October 4, 2014

Hari Istimewa

Standard
Setiap tahun kita mendapati satu hari yang dianggap istimewa, hari ulang tahun. Hari dimana setiap dari kita diingatkan bahwa kita berawal dari ketiadaan dan kini menjadi ada melalui sebuah momentum, kelahiran.

Hati kita diketuk untuk ingat dan sejenak menyelami segenap dimensi waktu yang telah lalu, muhasabah.Kita diminta jujur mengakui banyaknya dosa dan maksiat yang pernah dilakukan. Kita juga diminta jujur tentang betapa sedikitnya kebaikan yang sudah diperbuat.Keduanya itu menjadikan kita benar-benar terbangun dari mimpi buruk tentang kekufuran dan kedurhakaan. Betapa hari itu menjadikan diri serasa makhluk termiskin di semesta alam, karena tak punya apapun. Betapa pula hari itu menjadikan diri serasa makhluk tersombong di semesta alam, karena jauh dari syukur. Dan bersama keburukan diri yang bersemayam, dentuman jam kehidupan kian melemah, pertanda nafas ini makin terbatas, hidup ini tak lama.

Nafas ini begitu sesak, tangis pun menyeruak tak tertahankan, hampir tak sanggup menerima, betapa beratnya kehidupan ini. Jangan berputus asa akhi!, Allah tak suka dengan yang demikian, tak suka pula dengan kesedihan yang berkepanjangan, Ia hanya ingin kau lebih sadar diri, tak lupa tentang  hakikat mengapa engkau dilahirkan. Kini bergegaslah, ambil kembali pena dan secarik kertas putihmu, tuliskan dengan lebih jelas, kedurhakaan mana yang ingin kau tinggalkan, kebaikan apa yang ingin kau ukir, dengan mantap!.

Kemudian tinta hitam mulai membasahi secarik kertas putih, berisikan azzam untuk perbaikan diri. Namun, entah kenapa ini tetap saja terasa begitu berat. Lalu ku susuri sebuah jalan sepi lagi gelap, tak ku temukan siapapun. Terus berjalan, hingga akhirnya menemukan sebuah rumah berlentera kecil, berisi seorang tua. Ku intip lewat celah dinding bambu rumah, pak tua itu sedang membaca sebuah sajak yang tertuang di atas kertas kekuningan. Lirih  berbisik ia berkata “Nak, di negeri seberang sana engkau sedang apa?, sudah makan kah engkau?, ayah rindu”. Berhenti sejenak, kemudian beliau menengadahkan tanganya “ROBBI AWZI’NI AN ASYKURO NI’MATAKALLATI AN ‘AMTA ‘ALAYYA. WA ‘ALA WAALIDAYYA WA AN A’MALA SHOLIHAN TARDHOH, WA ASHLIH LII FI DZURRIYATIY” (Wahai Robbku, ilhamkanlah padaku untuk bersyukur atas nikmatmu yang telah Engkau karuniakan padaku juga pada orang tuaku. Dan ilhamkanlah padaku untuk melakukan amal sholeh yang Engkau ridhoi dan perbaikilah keturunanku) (QS. Al Ahqof:15). “Sesungguhnya Allah mengumpulkan kita dengan do’a nak, ayah disini mendo’akan mu, demikian pula engkau disana, dan oleh sebab itu ayah tak pernah kesepian”, pungkasnya.

Lagi-lagi tetesan permata hati kembali membasahi pipi, sungguh betul kata pak tua, waktu dan tempat tak akan pernah mampu memisahkan kita, tak pula mampu menghalangi perjuangan, ia ada hanya untuk menunjukan bahwa persaudaraan kita sudah begitu kental. Meskipun di tempat berbeda tapi hakikatnya kita bersama. Bagian bumi yang kita pijak boleh berbeda, namun seluruh do’a bermuara pada lapis langit yang sama.

Muhasabah, perencanaan dan do’a kalian adalah bekal yang semoga mampu menjadikan saya pribadi yang bertaqwa pada-Nya. Terimakasih atas do’a yang tercurah, semoga keberkahan dan kasih-Nya tercurah untukmu pula Saudaraku.