Wednesday, October 18, 2017

Madrasah hidup kita

Standard

Menjadi jamak diketahui, setiap proses naik tingkat butuh ujian. Dimanapun, hampir tanpa eksklusi. Termasuk dalam madrasah hidup kita. Ujian silih berganti setiap waktu untuk menentukan, apakah sudah layak kita naik tingkat? Jika belum, ada saja fasilitas ujian remidiasi atau kelas pengayaan agar apa? Agar pada akhirnya kualitas tumbuh dan lalu naik tingkat. Itu harapanya.
 
Hidup ini memang betul seperti madrasah; lengkap dengan kurikulum, proses belajar dan ujianya. Kita pun bertemu guru-guru kehidupan yang mengajarkan ilmu berharga. Hingga pada akhirnya raport akan diumumkan di episode final kehidupan semesta. Yang nilainya baik, maka beruntunglah ia, menerima raport dengan tangan kananya. Sebaliknya, yang celaka menerima dengan tangan kiri, lalu tersungkur malu lagi penuh sesal.

Bedanya, kita akan mengahiri madrasah hidup ini di kelas yang berbeda-beda. Ada yang setara dengan kelas satu sekolah dasar, ada juga yang sudah setingkat dengan perguruan tinggi. Semua tergantung bagaimana proses yang dijalani dalam madrasah dan seberapa giat kita belajar.

Lalu pertanyaanya, sudah kelas berapa kita saat ini? 
 
Kita tak tahu pasti, tapi bisa mengevaluasi. Yang kita evaluasi adalah, seberapa paham kita saat ini terhadap kurikulum hidup, seberapa giat kita belajar dalam madrasah hidup, seberapa bersungguh-sungguh kita berusaha menghadapi ujian hidup untuk meraih cumlaude, dan bagaimana taraf ketekunan kita mengevaluasi diri untuk dapat naik tingkat atas dasar perbaikan berjenjang.

Tiada iman tanpa ujian. Betapapun, iman bukan sekadar apa yang diucap, tapi juga yang nampak dalam perbuatan. Tuhan, betapapun tahu isi hati manusia,  perlu melihat bukti, betulkah ia ber-iman lewat ujian-ujian kehidupan. Maka singkatnya, ujian juga bagian dari konsekuensi iman. Semakin tinggi iman, ujian makin berat. Karena ujian yang sulit hanya akan diberikan pada siswa yang sudah ada di kelas lebih atas. Tentu Tuhan paling tahu detail pastinya. Yang jelas ujian akan berbanding lurus dengan kesanggupan yang diuji.

Terakhir, menjadi penting untuk disadari , bahwa madrasah hidup kita begitu singkat bergulir dalam bumi yang kian tua. Demikianpun singkatnya, ini akan menentukan kebahagiaan hakiki di alam tanpa ujian yang kekal selamanya.

Saturday, July 8, 2017

Review Buku Bukan Mahasiswa Biasa (?)

Standard


"Pembawaan yang ceplas-ceplos membuat saya yakin penulis review buku Bukan Mahasiswa Biasa (?) ini akan jujur dan gamblang memberikan gambaran tentang buku ini. Tak melulu menampilkan sisi positif buku, penulis juga menampakkan kekurangan buku. Summa apresiasi buat Asma Karimah yang sudah berkenan menulis review ini." - Ali Zaenal

Judul              : Bukan Mahasiswa Biasa
Penulis           : M. Ali Zaenal A.
Penerbit         : Dompet Dhuafa
Tahun terbit   : 2017
Cetakan         : Pertama
Tebal              : 188 hlm
ISBN              : 978-602-7807-73-0

Gimana sih mahasiswa ideal itu? Bisa ga ya aku jadi mahasiswa yang ga biasa-biasa aja? Wow, keren ya mba itu, kapan ya aku bisa kaya dia? Aduh berat, gimana bisa aktif organisasi tapi akademis aman? Mana mungkin aktivitis bisa prestatif? Sudahkah aku jadi mahasiswa ideal? Dan segudang pertanyaan yang lumrah berseliweran di benak para mahasiswa, terkhusus mahasiswa baru.

Bukan Mahasiswa Biasa (?) merupakan sebuah memoar perjalanan menggapai cita yang penuh tanya. Penulis menyadari bahwa ia barangkali masih jauh untuk dikatakan sebagai mahasiswa “tak biasa”. Namun, kisah pertemuannya dengan orang-orang inspiratif, mimpinya, dan perjalanan hidupnya semoga bisa berguna bagi pemuda, mahasiswa, atau calon mahasiswa Indonesia yang memiliki pertanyaan-pertanyaan serupa. Terlebih dari itu, penulis berharap para pembaca tak takut lagi bermimpi dan benar-benar mampu menggapai citanya.

Salam untuk kamu, Bukan Mahasiswa Biasa (?)

Tuesday, June 27, 2017

Positive thinking and feeling

Standard


Apa hal mendasar yang membedakan seseorang dengan orang lain? Tentu banyak hal jawabnya. Sekalipun sudah banyak disinggung para motivator dan juga disebut dalam beberapa teori psikologi modern, ada satu hal yang kerap luput hadir pada diri seseorang. Ya, tentang management berpikir dan merasa.

Bagaimana bisa? Pada dasarnya setiap pribadi memiliki kecenderungan berpikir dan merasa yang terpengaruh pada berbagai faktor, lingkungan dan keturunan misalnya. Itulah mengapa ada yang menyebut “kemiskinan” adalah lingkaran setan yang hanya bisa diputus dengan “pencerahan”. 

Apanya yang “dicerahkan”? Hati dan pikirannya. Dengan cara apa? Melalui pendidikan. Disini penidikan memegang peran sentral dalam  merubah cara pandang dan pengelolaan rasa seseorang.

Selanjutnya, ada faktor-faktor lain juga yang berpegaruh pada kecakapan seseorang dalam mengelola pikiran dan perasaan. Misalnya faktor spiritual dan agama. Kedua faktor tersebut mengambil peran yang relatif signifikan dalam membentuk mindset seseorang untuk memandang sesuatu.  Singkatnya, pendidikan; spiritual; dan agama boleh jadi dianggap faktor yang penting dalam membentuk pola pikir dan pengelolaan rasa yang positif.

Sunday, June 25, 2017

Lelaki Perasa

Standard
Entah, akhir-akhir ini saya sedang cukup terganggu dengan karakter “perasa” yang cukup kuat melekat pada diri saya. Padahal, saya sudah menyadari bahwa saya adalah lelaki perasa dari beberapa tahun silam :D . But It’s fine, ga pernah ada masalah besar karena karakter satu ini. 

Saya pikir jujur pada diri sendiri menjadi penting. Kita akan lebih tahu siapa diri kita jika kita jujur. Kalau kata saya di Buku Bukan Mahasiswa Biasa (?), “jujur membawa mujur”. Karakter “perasa” ini secara berimbang berdampak positif dan negatif sekaligus bagi saya. 

Secara positif karakter ini yang membuat saya selalu melas pada orang-orang yang kurang beruntung. Yang pada akhirnya membuat saya mau turun tangan membantu yang lain. Karakter ini juga sering menjadi booster untuk memperjuangkan sesuatu, baik perasaan pada orangtua, keluarga, agama, bangsa dan seterusnya. Lebih dari itu, karakter “perasa” telah mampu melecutkan tindakan-tindakan saya diatas kemalasan yang ada. Misalnya, ketika saya dihina, at this time I take promise, bahwa suatu saat saya akan melakukan dan mencapai titik yang lebih ketimbang yang menghina. Banyak hal baik yang pada awalnya dimulai dari perasaan, walaupun tentu di tengah jalan niatnya harus selalu diluruskan. Intinya, “perasa” ga selalu buruk kok, ada banyak hal baik yang bisa jadi dimulai dari perasaan.

Di sisi lain, seperti yang sudah saya singguh di atas, karakter “perasa” juga terkadang berdampak negatif. Yang sudah barang tentu itu akan cukup mengganggu. Saya pribadi sejujurnya cukup sulit menuju titik stabil “percaya diri”. Salah satunya Karena karakter “perasa” itu. Kadang (bahkan sering) saya melibatkan perasaan mengenai bagaimana orang lain ketimbang fokus pada diri sendiri. Hingga pada akhirnya “percaya diri” saya untuk melakukan ini itu sebenarnya lebih karena terbiasa.

Baiklah, saya berusaha melihat sesuatu dari dua kutub berbeda. Tentang karakter “perasa”, saya pikir yang jauh lebih penting adalah selalu mengendalikannya. Menggunakannya sebagai potensi dan menjaganya agar tak liar.

Saturday, June 24, 2017

Masih Harus

Standard
Rasa-rasanya mudik kali ini menjadi semacam pereda kulminasi yang melanda. Sepanjang dua bulan lalu hari-hari yang cukup padat merayap menjadi semacam “line way” yang makin menyadarkan bahwa diri ini masih sangat banyak kurangnya dan masih butuh banyak belajar.

Dimulai dari cerita 18 hari di Pare yang memberikan banyak insight, proses finishing buku, hingga 22 hari menjadi Manager Hayaku Jogja.

Keberngkatan ke Pare pada 8 Juni silam menjadi langkah antisipatif terhadap waktu luang pasca kuliah kerja nyata (kkn) yang usai di akhir april. Rasanya tak ingin waktu terbuang sia-sia dengan tanpa melakukan apapun. Terlebih tanggungan akademik telah usai dan hanya tinggal menunggu keluarnya nilai kkn, yudisium, dan lalu wisuda. Apalagi belajar bahasa inggris menjadi satu hal yang urgent di era sekarang ini, khususnya bagi pemuda yang masih belum fasih berbahasa inggris seperti saya.

Sejujurnya, ekspektasi awal saya ke Pare memang relatif rendah pada mulanya. Hanya sekadar mengisi waktu luang dan lalu belajar bahasa inggris sekadar untuk mengenal apa itu TOEFL IBT. Ya, niatnya saya ingin belajar TOEFL IBT di Pare, sebelumnya saya hanya kenal TOEFL PBT dan ITP. Hingga qodarulloh akhirnya saya malah belajar IELTS disina. Belajar IELTS, tidak terbayang pada mulanya. Namun karena unpredictable condition akhirnya mulailah hari-hari saya di Pare dijalani bersama IELTS.

Di Pare saya belajar di dua lembaga, yaitu Global English dan English Studio yang memang fokus memberikan layanan belajar IELTS. Dan disanalah untuk pertama kali saya berkenalan dan bercengkrama dengan IELTS. Ada total 6 program yang saya ikuti di dua lembaga belajar tadi, meliputi reading, listening, writing 1,writing 2, speaking, dan scoring for IELTS. Serta masih ada program camp  hampir setiap hari di jam 05.00-06.00 pagi dan 18.30-20.00 petang. Sehingga, dari jam 05.00-20.00 waktu saya digunakan untuk belajar bahasa inggris. How so productive time isn’t it? Melelahkan, tapi saya senang. Tiada (atau sedikit) kesia-siaan waktu dengan begitu.

Selanjutnya selalu menarik untuk bicara tentang perjumpaan. Saya beruntung bisa berjumpa dengan banyak pemuda dari berbagai pelosok tanah air. Lebih spesifik, pemuda yang ambiz untuk kuliah ke luar negeri dan belajar mati-matian untuk mencapai score IELTS 6,5 ke atas. Ada dari mereka yang di Pare ber-bulan-bulan, bahkan masuk hitungan tahun. Hikmahnya saya jadi lebih termotivasi untuk belajar IELTS dan menjalani hari dengan “keminggris” (It is “term” how I call my self for being crazy because of english practice daily). Hikmah lainnya, “I learn more that nothing is impossible”. Asal mau sungguh-sungguh dan cerdas dalam berstrategi inshaAllah semuanya cita bisa dicapai. And finally, for 18 days learning IELTS, alhamdulillah I reach score 5,5 to 6 out of 9 (simulation test). InshaAllah dengan belajar terus dan terus skor IELTS bisa naik, saya optimis. Seperti kata seorang abang “banyak latihan tak akan menghianati hasil”.

Selanjutnya, cerita yang datang dari sebuah resto jepang bernama “Hayaku”. Di tengah periode les di Pare, saya menerima pesan whatsapp dari manager Hayaku Jogja. Beliau meminta tolong pada saya untuk menggantikan posisinya sementara, kabarnya beliau akan ke luar kota sekitar 2,5 bulan. Awlanya saya ragu dan lebih cenderung menolak tawaran itu. Lalu seperti biasa, saya telpon Umi untuk meminta pertimbangan. Dan lalu, sejujurnya ada alasan lebih rasional yang saya ambil why I take this job. Pikiran saya yang saat itu sedang candu dengan IELTS, “sepertinya saya butuh segera official test IELTS yang mahal itu, tapi bagaimana ya biar ga merepotkan orangtua, malu kalo minta duit lagi dan lagi”. Pertimbangan lainnya, I think “it is will be so exciting” learning by working. Belajar tentang manajemen penyelenggaraan makanan di resto, ini sebuah kesempatan emas. Jika biasanya hanya belajar itu dari buku, kelas, dan jurnal; kali ini saya bisa praktek langsung. Yang lebih menguatkan saya, ini adalah pekerjaan yang berkaitan dengan bidang ilmu yang saya minati “it is food quality and safety management”.

Sebenarnya deg deg-an saat mula-mula bekerja di Hayaku Jogja. Managing restaurant may be totally different with managing student organization. Tapi, ternyata pengalaman berorganisasi di kampus sangat berguna disini. Bagaimana mengelola manusia, keuangan, aset, promosi dan seterusnya. Disini, rasa kemanusiaan juga sering diuji. Bagaimana menghadapi karyawan dengan berbagai latar belakang, serta konsumen yang juga beraneka ragam. Makin belajar untuk respect pada aturan dan mencari benang merah antara “rasa” dan “logika”. Terkadang karena rasa, kita menjadi condong pada ke-tidak-adil-an. Padahal, adil itu penting untuk membuat sistem stabil. Tugas seorang manager dan tentu pemimpin adalah bagaimana memastikan sebuah sistem itu stabil, yang mana hanya bisa terwujud dengan profesionalisme, keadilan, serta tentu kemanusiaan. Masih ada sekitar 45 hari lagi untuk belajar dan bekerja di Hayaku Jogja. Masih banyak ilmu yang dipelajari di bangku kuliah, namun belum diterapkan.  Periode penyesuaian telah usai, kedepan adalah saatnya periode perbaikan. Berkomiten untuk menyediakan good service restaurant dan menjamin kualitas makanan yang baik merupakan prioritas kami kedepan.

Lalu, bersamaan dengan itu tahapan editing dan finishing buku juga sedang berlangsung. Di tulisan ini saya ingin menyampaikan banyak terimakasih pada Dompet Dhuafa dan umat yang telah memfasilitasi pembuatan buku saya. Sebuah memoar perjalanan menggapai cita dan merupakan buku “solo” saya yang pertama. Atas izin Allah, buku yang ditulis saat sedang sibuk-subuknya kkn akhirnya sudah  bisa di-order. Buku ini adalah salah satu wujud syukur saya pada Allah atas segala karunianya, terkhusus dari zaman sekolah dasar hingga kuliah yang menyimpan banyak kenangan. Ini juga merupakan ikhtiar untuk meringankan beban bagi sesama yang membutuhkan.
Saya menyadari buku ini masih banyak kurangnya dan tentu belum sebagus buku-buku karya Salim A. Fillah, Andrea Hirata, ataupun Habiburrahman. Juga merupakan buku yang out dari genre penulisan saya. Model penulisan buku “Bukan Mahasiswa Biasa (?)” adalah cerita, bukan prosa sebagaimana yang lebih suka saya buat. But not matter, semoga ini menjadi langkah awal untuk lebih luas menebar manfaat. Saya bertekat untuk selalu menuliskan yang terbaik dan memperbaiki yang ditulis sekarang dan kedepannya, inshaAllah.

Sejujurnya masih ada sebuah peristiwa penting, namun nampaknya belum saatnya saya tulis. Saya hanya berharap, siapapun yang membaca tulisan ini berkenan untuk men-do’a-kan yang baik dan terbaik untuk kita bersama, Islam, dan Indonesia.


Saya, dan mungkin Anda juga merasakan. Diri ini terlalu banyak kurangnya, khilafnya, salahnya. Namun, yakinlah, Allah lebih mencintai mereka yang terus berproses berbenah daripada yang duduk murung tertunduk tanpa berbuat apapun. Diri ini, masih harus banyak belajar, masih harus terus berbenah.

Tuesday, May 23, 2017

Memoar Aksi Masa 2 Mei 2016

Standard
Ini adalah sebuah memoar yang akan selalu terkenang dalam hidup saya. Bukan karena saya menjadi orang yang turut berbicara di depan, melakukan lobby, menggerakan masa. Hal yang jauh lebih penting adalah ketika saya menjadi bagian dari gerlombang perlawanan terhadap kedzaliman. Ini adalah kerja-kerja sinergi, ketika ego disingkirkan dan semua memilih lebur jadi satu. Sebuah memoar emas 9000 mahasiswa UGM berkumpul di Gedung Pusat UGM melawan kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan beberapa kebijakan lain yang lalim. Semoga kita konsisten di garis depan perjuangan, walau fase dan metode yang berbeda.




Sunday, May 21, 2017

Desa sebagai Lokomotif Perbaikan Indonesia

Standard
Diperkirakan, jutaan penduduk desa akan berpindah dan memenuhi sudut-sudut kota di masa yang akan datang. Fenomena itu terjadi bukan tanpa sebab, pasalnya kantong-kantong perekonomian negara berpusat di kota-kota, juga tentang kemewahan hidup yang ditawarkan; kota menyimpan sejuta pesona. Serta tentu ada faktor-faktor lain yang membuat para penghuni desa berduyun-duyun ke kota.

Ini adalah tulisan singkat yang barangkali bisa menjadi potret kecil desa-desa di Indonesia. Ditulis berdasarkan pengalaman nyata berinteraksi, hidup bersama, dan bersinergi dengan masyarakat desa. Melalui sebuah program KKN-PPM UGM unit JTG-05 di Desa Gledeg, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Hampir satu bulan penuh penulis menjalani program tersebut dari 1 Maret sampai dengan 30 April 2017.

Lokomotif perbaikan Indonesia ada di desa, tak hanya di kota. Perlu diingat bahwa jumlah desa di Indonesia lebih banyak ketimbang jumlah kota. Hanya fokus pada perbaikan kota tanpa upaya serius menggenapi kekurangan desa-desa merupakan sebuah gagasan timpang yang perlu dikoreksi. Faktanya, bisa kita lihat di desa-desa upaya gotong royong warga seperti terlupa untuk direkam sebagai hal yang patut dihargai. Pemerintah pusat dan juga media masa, mereka lebih suka bergumul dalam masalah mayor kenegaraan ketimbang mengoptimalkan dan tentu juga mengintensifkan pemberdayaan masyarakat desa, nampaknya masih demikian kentara.

Selanjutnya, mari kita renungi dengan seksama bagaimana masyarakat desa berkeringat, namun masih sanggup tersenyum ikhlas mengupayakan perbaikan negara melalui desa. Gotong royong, kita barangkali sering melihat di layar televisi ada orang-orang yang merasa gagah laksana pahlawan, menganggap dirinya berjasa besar pada negeri ini. Ada juga yang merasa paling berkuasa dan paling berhak melakukan apa-apa pada negeri ini melalui kebijakannya yang sering kali tak bijak. Saya punya saran pada mereka-mereka itu, sesekali bolehlah bapak ibu berkunjung ke desa-desa, menginap  dua-tiga malam, serta ikut acara-acara warga. Hingga semoga, Anda masih bisa merasakan, bahwa Indonesia ini milik semua, milik bersama. Anda bisa melihat bagaimana warga desa bergotong-royong, konsisten, dan telaten menggalakan beberbagai agenda desa, yang tentu dalam rangka perbaikan Indonesia. Misalnya melalui PKK, ibu-ibu di Desa Gledeg masih saja mau direpotkan untuk kumpul rutin bulanan diengah kesibukan bekerja dan mengurus keluarga, juga menjalankan berbagai agenda, higga mengeluarkan uang pribadi  untuk menggerakan PKK. Begitu pula para bapak, takmir masjid/mushola, dan karangtaruna mereka rela tak digaji namun menjadi orang yang nampak sibuk dengan kerja-kerja sosialnya.

Potensi spesifik, setiap desa atau wilayah tentu tak bisa disamakan dalam manajemen pengelolaannya. Ada ke-khas-an yang mesti dikapitalisasi menjadi sumber ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.  Contohnya di Desa Gledeg, sebuah desa tani yang sebagian warganya menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Jika pemerintah sanggup melihat ini sebagai potensi dan punya daya untuk berinovasi. Tentu masa depan pertanian Indonesia akan lebih cerah, alih-alih sekadar mengimpor beras dan menyaksikan rakyatnya kelaparan. Begitu pula desa lain, punya potensi spesifik masing-masing, ada yang punya kelebihan di bidang pariwista, kerajinan tangan, dan ada juga peternakan. Lalu, jika penyeragaman kebijakan masih jadi solusi dan ke-khas-an tidak dilihat sebagai potensi, bagaiana Indonesia akan maju? Potensi desa menjadi bukti bahwa tak hanya kota yang punya potensi dengan segala industri dan pertokoannya, desa juga punya pertanian;wisata; peternakan; dan lain sebagainya.

Saturday, April 8, 2017

Menguatkan Identitas Diri

Standard
Identitas adalah suatu informasi khas yang melekat pada diri seseorang. Misalnya; nama, tempat tanggal lahir, dan nomer kartu tanda penduduk.Yang telah disebutkan tadi merupakan identitas tersurat di atas kertas. Sedangkan ada juga identitas yang bersifat tersirat, namun bisa dirasakan ke-khas-annya.

Banyak orang tahu identitas tersuratnya, tapi bigung apa identitas tersiratnya. Yang demikian itu kemudian sering disebut krisis kepribadian. Dimana seseorang bingung menentukan jenis kelamin kepribadiannya. Ia bingung bagaimana memposisikan diri dalam pergaulan sosial. 

Ada juga orang-orang yang sebetulnya sudah memiliki identitas diri, namun belum kuat. Ia sering kali masih terbawa dengan orang lain. Merasa inferior dan rendah, serta cenderung ingin menjadi orang lain. Lalu dengan berbagai cara mereka berusaha meningkatkan eksistensi diri, termasuk dengan cara-cara yang kontroversial.

Jika sekarang kamu ada pada posisi sebagai orang yang tidak tahu identitas tersiratmu, maka berkacalah. Tatap diirimu lekat dan bertanyalah pada dirimu, who are you? Engkau perlu menyadari siapa dirimu, sebelum pada akhirnya menguatkan karakter identitas dirimu.

Sementara bagi kamu yang masih sering terombang-ambing dalam bayang orang lain. Barangkali menjadi perlu untuk percaya pada dirimu sepenuhnya. Mungkin semua itu terjadi karena kau tak pernah percaya pada dirimu. Kau selalu inferior dan minder menatap dirimu. Padahal, mungkin dirimu sejatinya tak seburuk itu. Menempatkan dirimu pada kesejajaran dengan orang lain adalah kewajiban. Kesetaraan dan kesama-rataan merupakan fitrah hidup manusia.

Kini saatnya menguatkan identitas diri dengan menaruh kepercayaan pada diri sendiri. Lalu mulai memperbaiki kekurangan demi kekurangan diri. Serta meningkatkan segala potensi kebaikan diri.

Monday, February 27, 2017

Dari Ufuk Timur

Standard
Sepenggalah naik, meninggi, melintasi garis-garis bumi. Pagi itu terasa dingin, tapi perlahan dingin itu mulai menyingsing. Saat mentari mulai menghiasi ufuk timur, kuning cemerlang. Kulit epidermisku mulai menghangat terkena pancaran sinar kesetiaan sang mentari. Aku heran, mengapa ia seolah sangat peduli pada kami? Tiap hari menyinari, padahal tak dapat balasan apa pun dari kami.

Pagi itu, bersamaan dengan terbitnya mentari di ufuk timur, seorang lelaki muda bersiap sedia. Ia berkemas merapihkan barang bawaanya satu per satu. Dari tiket di genggaman tangannya nampak ia akan bertolak dari Stasiun Purwokerto, meluncur menuju Stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Ini adalah kali pertama ia ke Yogyakarta, kota pelajar.

Mukanya terlihat cerah dan penuh dengan tatapan optimis di pagi itu. Tak seperti beberapa hari lalu, mukanya terlihat lusuh dan bingung. Pasalnya memang ia dihinggapi pilihan yang sulit, antara UI atau UGM. Mungkin hanya ada 1 dari 10 juta orang atau lebih, yang beruntung diterima di Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada sekaligus dalam waktu hampir bersamaan, dan dia salah satunya yang beruntung. Hingga setelah shalat istikharah berkali-kali, berdiskusi panjang dengan umi dan abahnya, menyimak ulasan di berbagai sumber, bertanya ke sekian banyak orang, dan tentu berpikir keras, akhirnya ia memilih Gizi Kesehatan FK UGM ketimbang Geografi FMIPA UI. Tentu berat melepas kampus impian yang sudah ada di tangan, kampus yang sejak kelas 2 SMA telah diidam-idamkan. Tapi, inilah hidup yang penuh dengan pilihan. Dan ia telah memilih dengan penuh keyakinan. Tahukah siapa lelaki itu? Lelaki itu adalah aku, M. Ali Zaenal Abidin.

Salam kenal Gadjah Mada!

Salam kenal Gadjah Mada, kampus yang tak pernah ku singgahi sebelumnya, bahkan tak pernah terbayang sebelumnya kuliah di sini. Kampus kerakyatan yang kini telah menjadi almamaterku. Awalnya aku sama sekali tak bergairah melakukan apa pun di kampus biru ini, kecuali kuliah. Harapan ku telah pupus untuk berkuliah di kampus kuning, kampus impianku. Aku takut untuk bermimpi lagi, aku takut kecewa, lagi.

Bulan berganti bulan, hingga suatu ketika di ruang kelas yang hening. Seorang dosen ‘memaksa’ kami untuk bemimpi. Menuliskan 100 Mimpi di selembar kertas yang dijilid rapi. Ya, disaat itulah mau tak mau aku kembali bemimpi, memberanikan diri, mengubur segala ketakutan dalam diri. Lebih dari itu, aku buat pula Visualisasi Mimpiku dalam sebuah video singkat yang kemudian ku unggah di youtube.

Mimpi dan cita adalah artikulasi tujuanku ada di bumi. Aku adalah seorang hamba yang akan selalu setia di garis depan perjuangan.

Aktivis Prestatif Tanpa IPK Minimalis. Adalah cara untuk menjalankan kewajibanku sebagai seorang hamba; beribadah dan berdakwah, sekalipun masih kuliah. Menjadi aktivis, prestatif, dan tanpa IPK minimalis tentu menjadi dambaan semua mahasiswa, perfecto! Aku melihat ini adalah peluang untuk mengartikulasikan kesetiaanku di garis depan perjuangan untuk Allah SWT. Dengan menjadi aktivis, prestatif, dan tanpa IPK minimalis disana ada peluang kabaikan yang banyak, pun peluang dakwah yang lebih luas. Namun, tentu ini tak gampang, butuh perjuangan keras. Sekalipun tak ringan, aku memilih bermimpi menjadi Aktivis Prestatif Tanpa IPK Minimalis! Mimpi itu gratis, maka, bermimpilah setinggi langit.

Aku selalu meyakini, apa yang terjadi pada kita saat ini adalah hasil akumulasi pilihan-pilihan kita di masa lalu. Pun demikian, pilihan-pilihan kita saat ini adalah penentu bagaimana kita di masa yang akan datang.

Mimpi itu menjadi awal mula perjalanan panjang ku. Sejak saat itu aku mulai aktif di berbagai organisasi, berusaha menjadi lentera kebahagiaan bagi banyak orang. Dari organisasi tingkat program studi, fakultas, universitas, hingga nasional. Dari serangkaian proses berorganisasi tersebut ada hal-hal yang tertanam dalam dan membekas pada diriku.
Sejatinya, untuk bahagia tak harus kaya, tak pula harus punya jabatan. Bahagia adalah hak semua orang. Dan bagiku kebahagiaan itu terasa dengan berbagi dan bermanfaat bagi orang lain. Berkhidmat untuk umat, berusaha merangkai makna dari segenap peristiwa, lalu memberi arti bagi orang lain.

Setiap peristiwa mengandung hikmah bagi siapa saja yang ingin mengambil pelajaran. Dari setiap orang yang kita temui, tempat yang kita kunjungi, dan buku yang kita baca. Semua adalah bagian proses pembelajaran hidup sepanjang hayat, dari buayan hingga ke liang lahat. Menjadi pribadi pembelajar, merupakan obsesi yang harus subur terpatri dalam diri. Aku menyadari bahwa dengan ilmu, amal akan bermakna. Dengan pengetahuan, kita akan mampu memberi dampak yang lebih mengangkasa.

Hingga pada akhirnya aku menemukan makna, bahwa kepemimpinan bukan tentang jabatan saja. Kepemimpinan sejati adalah tentang dampak. Memimpin dengan hati dan pikiran jernih untuk kemudian mampu mengurai kekusutan problema peradaban. Memimpin adalah tentang rasa rumongso, sebuah tindakan yang berasal dari hati yang hidup dan tergerak.

Hingga pada akhirnya, jerih payah itu berbuah. Setiap detik yang selalu ku usahakan isi dengan hal positif, setiap tetes keringat tanda lelah, juga setiap ucap tanpa kata menyerah. Alhamdulillah, atas kuasa Allah SWT apa yang aku impikan di awal kuliah berhasil ku capai. Menjadi aktivis; dari mulai sebagai staf, kemudian beramanah sebagai Ketua BEM FK UGM, Menteri Advokasi Kemasyarakatan BEM KM UGM, hingga Presiden Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM maupun Koordinator Isu Lingkungan di BEM Seluruh Indonesia. Pun Alhamdulillah, dakwah ku dipermudah dan cenderung lebih didengar saat aku dinobatkan sebagai Mahasiswa Berprestasi Utama FK UGM maupun salah satu Mahasiswa Berprestasi di UGM. La haula wala quwwata illa billah.

Tentu aku menyadari bahwa semua itu bukan tujuan yang patut dibangga-banggakan, apalagi menjadikan diri ini ujub. Semua itu hanya strategi agar dakwah lebih didengar dan perjuangan meninggikan kalimat Allah lebih massive. Berdakwahlah sesuai bahasa kaumnya. Ada yang berdakwah di masjid dan majelis-majelis ilmu yang mulia, sedangkan aku memilih berdakwah di tengah lautan manusia pada lingkup lainya.

Sahabat perjuangan. Adalah mereka yang membuat mimpiku kuat terjaga. Saat langkahku terhuyun-huyun hampir roboh, mereka ada di sampingku mendampingi. Dalam tulisan ini aku sampaikan terimakasih dan senantiasa ku do’akan sahabat perjuangan ku istiqomah dalam beribadah pada-Nya. Sahabatku di berbagai tempat; Forsalamm se-UGM, Pondok Pesantren Mahasiswa Baiturrahman, Gizi Kesehatan UGM, BEM FK UGM, BEM KM UGM, Komunitas Mahasiswa Berprestasi UGM, dan tentu masih banyak lagi. Serta terkhusus untuk Beasiswa Aktivis Nusantara, salah satu wadah pembinaanku, wadah berjejaingku, wadah berlomba-lomba menebar kebaikan.

Beasiswa Aktvis Nusantara adalah sekolah qolbu dan akal ku. Tempat dimana qolbu ditempa untuk lebih peka dan peduli, tempat dimana akal dilatih untuk tangkas mencerna dan menggagas solusi.

Perjalanan masih panjang, ada banyak mimpi yang ingin ku capai. Termasuk mimpi besar untuk konsisten turut serta merawat Indonesia, mewujudkan Indonesia madani. Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, sedangkan Islam merupakan agama rahmatanlil’alamin. Sudah saatnya Indonesia sebagai negara muslim bangkit menjadi pusat peradaban dunia. Dan aku akan ambil bagian dalam kebangkitan itu.

Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku.-Mohammad Hatta

Di tulisan ini aku ingin merepetisi dan menguatkan mengenai apa mimpiku. Mimpi terbesarku hidup di dunia adalah menjadi hamba yang bertakwa pada Allah SWT. Ketakwaan itu ku harap dapat hidup dalam tutur dan lakuku. Terejawentahkan dalam segala amal perbuatanku.

Sebagai salah satu upaya menjadi hamba yang bertakwa pada Allah SWT, insha Allah aku akan berusaha sekuat tenaga bermanfaat bagi umat. Memulai karya peradaban melalui pintu istimewa di bidang makanan, insha Allah akan menjadi pembuka untuk karya-karya besar lainya.

You are what you eat. Bicara makanan bukan hanya tentang kenyang. Bicara makanan adalah tentang sehat, cerdas, berdaulat, dan pada akhirnya tentang Indonesia madani. Banyak orang menganggap remeh makanan, padahal makanan adalah aspek penting kehidupan. Tanpa makanan yang baik manusia tak akan bisa hidup sehat, bahkan dapat pula kesulitan belajar. Mana mungkin Indonesia ini akan madani jika rakyatnya sakit-sakitan dan tak pandai?

Rencana yang insha Allah akan saya lakukan adalah dengan mengamalkan ilmu makanan yang telah saya pelajari saat berkuliah di program studi gizi kesehatan UGM. Aktif di pusat kajian gizi, memiliki pekerjaan dan usaha di bidang makanan, berperan mengedukasi dan menyadarkan masyarakat tentang makanan sehat, serta yang tidak kalah penting adalah mengamalkan ilmu gizi dan kesehatan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, insha Allah akan selalu merasa bodoh sehingga belajar ke jenjang magister dan doktor bidang  keamanan pangan dan menyelesaikanya sebelum usia 35 tahun. Insha Allah langkah ini akan selalu setia di garis depan perjuangan, berperan aktif dalam berbagai upaya mewujudkan Indonesia dan dunia yang sehat melalui makanan.

Di kala mentari yang mulanya ada di ufuk timur telah menyingsing ke ufuk barat, itulah tanda waktu sudah petang. Lelaki yang awalnya bagaikan mentari di ufuk timur, kini sudah ada di ufuk barat dunia kampus. Namun, layaknya mentari, ia terbenam di satu sisi bumi, lalu terbit di sisi lain. Sampai jumpa di belahan bumi lain dan saksikan saat mentari itu terbit.

(Sebuah tulisan sebagai syarat wisuda Penerima Manfaat Beasiswa Aktivis Nusantara 2017)

Monday, February 20, 2017

Memaknai Kesuksesan

Standard
Ketika sukses telah ansich berarti kekayaan, jabatan, serta segala macam keglamoran dunia. Ketika banyak orang telah menggadaikan idealismenya untuk itu semua. Ketika yang tersisa hanya hegemoni ditengah sengsara. Lalu, masih kah saja kau tuli dan buta?

Tak semua orang sedangkal itu memaknai sukses, tapi, tak juga sedikit yang terperangkap. Kesalahan memaknai sukses telah membuat dunia rusak, menuju hancurnya. Kegagalan memaknai sukses telah banyak membuat menusia berjiwa srigala yang tega memangsa manusia-manusia lain laksana domba. Kebodohan memaknai sukses pula lah yang telah membuat sebagian orang sesat dan tersungkur dalam kubangan lumpur.

Lalu, apa makna sukses sebenarnya?

Bagiku sukses adalah tentang ridha Allah. Bagimana rangkaian detik ke menit, menit ke jam, jam ke hari, hingga tahun berganti tahun semua adalah amalan mulia untuk menggapai ridha-Nya. Tugas kita adalah secara telaten dan sabar memastikan bahwa setiap satuan waktu dalam hidup kita merupakan ibadah. Hingga pada akhirnya kita hanya akan tahu kesuksesan hakiki di hari akhir kelak.

Jadi, kini menjadi jelas. Setiap langkah adalah ibadah yang diliputi ketekunan. Belajarmu, dakwahmu, tulisanmu, ucapanmu, dan segala tindak tandukmu adalah rangkaian kesuksesan hakiki.

Sunday, February 19, 2017

Dunia itu fana, sedangkan akhirat kekal selamanya.

Standard
Layaknya lirik lagu karya Nicky Astria bahwa dunia ini panggung sandiwara. Setiap orang mengambil perannya masing-masing. Ada yang memilih menjadi orang baik, ada pula yang memilih sebaliknya. Tentu ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Layaknya panggung sandiwara yang bakal berakhir, dunia inipun sama, ada ujungnya. Lalu, setelah itu kita masuk ke dalam kehidupan yang sebenar-benarnya. 

"Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah ibarat hiburan dan permainan, dan sesungguhnya negeri akhirat itu ialah kehidupan yang sebenar-benarnya, sekiranya mereka mengetahui". (Al-Ankabut: 64)

Setiap orang bebas memilih akan berbuat seperti apa di dunia ini. Yang perlu diingat, semua akan mati dan segala yang diperbuat akan dipertanggungjawabkan.Itulah mengapa tak ada paksaan dalam berislam, karena pada akhirnya semua implikasi menjadi tanggungjawab masing-masing. Yang beramal soleh akan mendapat balasan kebaikan berkali lipat, demikian pula sebaliknya, yang berbuat durhaka pada Allah akan dibalas dengan siksa neraka yang menyala-nyala.

"Jibril mendatangiku lalu berkata: Wahai Muhammad! Hiduplah sesukamu, karena sesungguhnya kamu akan mati, cintailah siapa yang kamu suka, karena sesungguhnya engkau akan berpisah denganya dan berbuatlah sesukamu, karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan karenanya...". (H.R. Ath-Thabarani)

"Panas api yang kamu nyalakan di dunia ini (termasuk matahari) hanyalah sepertujuh puluh dari panasnya api neraka di akhirat. Kalau sebagian kecil (api neraka) jatuh ke dunia, niscaya mendidihlah air laut karena panasnya". (H.R Muslim)  "

Hidup di zaman ini memang sulit, sebagaimana hadits rasululloh saw.

"Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api." (H.R Tirmidzi no. 2260)

Nyata adanya bahwa ketika kita berpegang teguh pada tali agama Allah, itu bukan perkara yang mudah. Kondisi lingkungan berikut berbagai godaan, nyinyiran yang kerap pula disertai cacian, hingga faktor internal diri yang kerap menjadi ujian. Semua itu adalah proses yang mesti dilalui seorang muslim dengan sabar.

"Kamu sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang ddemikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan". (Ali Imran: 186)

Terakhir, menjadi sangat jelas bahwa hidup ini adalah pilihan. Jalan mana yang kita pilih, maka jalan itu yang akan mengantar kita ke surga atau neraka. Wallohua'lam

Ilmu yang Bermanfaat

Standard
"Barang siapa yang seharusnya mempelajari ilmu karena Allah, namun dia mempelajari hanya untuk memperoleh harta duniawi, maka dia tidak akan mendapati aroma surga" (H.R. Abu Daud)

Bagaimana perasaan Anda membaca hadits tersebut? Kalo saya, jujur saya tertohok. Bagaimana kita mendapati kenyataan saat ini bahwa banyak orang (bisa jadi termasuk kita), belajar ilmu hanya untuk mendapat perkerjaan, niat sudah jauh dari kata lurus lillahita'ala. Sedih melihat kondisi macam ini menjadi relitas yang subur di tengah masyarakat. Uang menempuh pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) yang mahal membuat kerap kali orientasi pendidikan bukan untuk mencerdaskan, tapi untuk mencetak tenaga siap kerja, bukan begitu?

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Selain tentu mesti meluruskan niat.

Terus terang kerap kali saya pun khawatir jikalau ilmu saya tak berkah karena salah niat atau proses. 

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, "Orang yang berilmu dan ahli berfatwa, tidak ada sesuatu yang lebih dibutuhkan melainkan sikap santun, tenang, dan sopan. Itulah kelambu bagi ilmunya dan perhiasannya. Apabila ia kehilangan sikap itu, maka ilmunya seperti badan yang telanjang tanpa busana".

Hal pertama yang bisa kita lakukan adalah memperbaiki akhlak kita. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tersebut di atas bahwa akhlak adalah busana ilmu. Agar ilmu menjadi baik dan indah maka perlu menggunakan busana yang baik pula bernama akhlak.

Nabi bersabda, "Sesungguhnya di antara amal kebaikan seorang mukmin yang dapat menyusul setelah kematiannya adalah ilmu bermanfaat yang diajarkan dan disebarluaskan, anak shaleh yang ditinggalkan, mushaf yang diwariskan, masjid yang dibangun, rumah untuk ibnu sabil yang dibangun, sungai yang dialirkan, sedekah yang dikeluarkan sewaktu sehatnya dan hidupnya. Semua itu akan menyusul setelah kematianya". (H.R. Ibnu Majah) 

Yang kedua, ilmu yang bermanfaat. Sehingga mengartikulasikan ilmu dalam amal adalah hal yang sangat penting. Ilmu tak boleh hanya bertengger di kepala atau bahkan menjadikan kita pongah karena merasa paling tahu. Ilmu mesti bermanfaat untuk orang lain tanpa pamrih, semata berharap Allah ridha dengan segala yang kita lakukan. Dengan begitu insha Allah llmu akan berkah (bertambah kebaikan). Ilmu yang dibagikan tidak akan membuat kita bodoh dan mengurangi ilmu yang kita punya, tapi akan membuat kita makin belajar, mejadikan kita lebih tahu.

Tentu, berawal dari keresahan dan kekhawatiran tentang drajat keberkahan ilmu yang saya peroleh selama berkuliah di Gizi Kesehatan UGM membuat saya ingin menebarkan manfaat lewat ilmu saya. Ya, walaupun saya sadar ilmu saya masihs sangat sedikit, tapi saya berharap dapat bermanfaat.

Saya memulai dengan menjadi narasumber di Dinas Perindutrian dan Perdagangan Kabupaten Sleman. Disini saya berbicara dari pasar ke pasar dihadapan para pedagang. Sejauh ini sudah ada dua pasar yang saya datangi, insha Allah segera menyusul pasar lain. Saya sangat berharap dengan aktifitas ini ilmu yang saya peroleh selama kuliah merupakan ilmu yang berkah.

Pasar Potrojayan

Pasar Tegalsari


Ketika hati kalut, jangan terus larut

Standard
"Ketahuilah, sesungguhnya ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal diri itu buruk, maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia." (H.R. Bukhari dan Muslim)

Lalu, pertanyaan yang muncul buat kita, bagaimana kah kondisi hati kita saat ini?

Jawabnya tak perlu njlimet, cukup lihat bagaimana aktifitas kita, apa yang kita pikirkan, dan tentu apa yang kita rasakan. Saat hati bermasalah biasanya aktifitas berantakan, pikiran semrawut, hingga persaan tak karuan. Begitukah kita saat ini?

Jika begitu, apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, banyak mengingat Allah. Karena Allah telah menegaskan bahwa dengan senantiasa mengingat Allah maka hati akan tenang. "...Ingatlah bahwa hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang." (13:28)

Kedua, melakukan kegiatan positif atau kebaikan. Jangan biarkan kita larut dan kalut dalam jadwal kegiatan yang berantakan akibat hati kita yang sedang tak sehat. Isi dengan hal positif seperti olahraga, membaca, tilawah, dan lain sebagainya. "Dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik". (Al-Baqarah: 195)

Ketiga, berdo'a pada Allah dan membaca ayat-ayat Allah. Barangkali do'a berikut ini juga dapat digunakan.
Pada intinya hati manusia memang sangat dinamis sebagaimana dinamisnya iman yang kadang naik kadang turun (al-imanu yasidu wa yanqush). Yang perlu kita lakukan ketika iman sedang turun adalah segera bangkit dan tak larut. Begitu pula saat hidup ini terasa semrawut, jangan biarkan drama-drama korea makin membuat kita kalut. Setidaknya tiga poin di atas dapat menjadi saran what should we do saat hati sedang kalut.







Tuesday, February 14, 2017

Bahtera Sederhana

Standard
Hidup di keluarga sederhana bukan berarti minim kebahagiaan. Setiap saat justru hidup kami selalu dipenuhi dengan nikmat dan syukur pada Allah Yang Maha Kuasa. Walaupun tak ada hingar bingar pesta, rumah yang megah, atau kendaraan roda empat yang berjajar-jajar; kami tetep dapat merasakan apa yang disebut sebagai kebahagiaan.

Umi dan Bapak adalah pekerja keras yang ulet dalam memimpin bahtera keluarga besar kami. Membesarkan putra putrinya melalui dua generasi orde baru hingga reformasi, melalui masa-masa krisis ekonomi dengan baik, hingga perlahan berusaha mengubah pola lama yang minim media menjadi lebih ramah media.

Dinamika di keluarga kami tak bisa dibilang datar. Cobaan internal dan eksternal silih berganti datang menguji kokohnya bahtera kami. Syukur dan sabar menjadi racikan mujarab untuk menghadapi berbagai ujian yang silih berganti tersebut. Alhamdulillah hingga detik ini kami harus selalu bersyukur atas kebersamaan ini dan semoga kebersamaan ini berlanjut hingga ke jannah-Nya.

Saturday, February 11, 2017

Prioritas Kebaikan

Standard
Menjadi tugas kita untuk memastikan bahwa setiap detik dalam hidup kita merupakan ibadah, kebaikan yang diniatkan untuk Allah ta'ala. Lalu yang jadi pertayaan, bukan kah terlalu banyak pilihan kebaikan yang bisa dilakukan?

Iya betul, kita mesti bersyukur bahwa yang disebut ibadah bukan sekadar amalan transendental seperti shalat (ibadah mahdah). Tapi juga ada ibadah ghairu mahdah yang berasas kemanfaatan dan rasionalitas. Maka, bisa jadi ketika kita bekerja, belajar, bahkan tidur akan bernilai ibadah jika diniatkan lillahita'ala.

Dengan banyaknya opsi kebaikan, menjadi penting untk punya prioritas. Sehingga ketika ada berbagai peluang kebaikan hadir kita bisa dengan bijak memilih. Kita bisa menimbang mana yang lebih priotitas dan mana yang kurang prioritas.

Sunday, February 5, 2017

Tentang Skripsiku

Standard
Menulis skripsi memang tak seperti membuat jurnal ilmiah internasional yang mesti njlimet dengan bebagai metode dan embel-embel-nya. Hanya perlu ketekunan yang sungguh, itu saja cukup. Tapi, mungkin ada yang bertanya, "kenapa mas Ali belum kelar juga skripsinya?"

Februari ini memasuki bulan ke 20 aku mengerjakan skripsi, sejak sekitar Juli 2015 aku mulai berkutat dengan skripsi, sehingga praktis semester ini adalah yang ke-4 kalinya aku mengambil mata kuliah skripsi sejumlah 6 SKS itu. Ada banyak hal yang membuat sedemikian lamanya. Selain karena kesibukan organisasi yang sebenarnya tak bisa digunakan sebagai pembenaran alasan lamanya pengerjaan skripsi, aku berkeinginan apa yang aku kerjakan di skripsi ini bisa linear dengan bidang yang akan aku tekuni pasca kampus.

Awalnya skripsiku bertema relasi perokok pasif dengan status gizi, namun entah mengapa aku kurang srek di tengah jalan. Padahal waktu itu sudah hampir seminar proposal. Aku masih saja kekeuh mencari tema skripsi lain yang linear dengan bidang yang akan aku seriusi kelak.

Masalahnya saat itu aku juga masih bingung, kelak bidang mana yang akan aku dalami? Gizi dan kesehatan memiliki ruang lingkup yang sangat luas; dari mulai klinis, masyarakat, institusi, hingga olahraga, belum lagi kalo mau belajar kebijakan kesehatan. Disuguhi dengan berbagai alternatif membuat aku sempat bingung dan berpikir cukup lama. Aku meyakini dan menyadari bahwa keahlian spesifik sangat diperlukan sehingga saya pun harus punya keahlian spesifik itu.

Hingga pada akhirnya aku memutuskan. Berinteraksi dengan pedagang kaki lima, membersamai, dan merasakan bagimana problema di tengah masyarakat tentang pedagang makanan dan pedagang kaki lima khususnya, membuat aku tertarik menyelami dunia mereka menurut perspektif keilmuanku. Ya, aku sudah memilih, dan pilihan itu jatuh pada bidang keamanan pangan atau "food safety". Sejauh ini belum ada juga seniorku di Gizi Kesehatan UGM yang mendalami bidang ini secara serius. Praktis, akhirnya aku pun menemukan tema skripsiku yaitu keamanan pangan. Lebih tepatnya berjudul "Studi Keamanan Pangan Food Court Gelanggang Mahasiswa UGM". Sebuah skripsi yang membuat aku belajar dan berdiskusi lebih banyak. Penelitian secara individu ini membutuhkan banyak inistiatif. Walaupun sebenarnya beberapa kali aku ditawari bergabung masuk proyek penelitian dosen, dengan mengucap bismillah aku menolak dan tetap bertahan untuk meneruskan ini, sebuah tema yang diambil berdasarkan pernungan yang panjang.

Dan alhamdulillah saat ini aku sudah ambil data dan sedang dalam pengerjaan bab hasil dan pembahasan. Mohon do'anya kawan, semoga lancar dan bermanfaat :)

Disini barang kali ada sedikit pelajaran yang bisa aku ambil, bahwa sebaiknya kita punya keseriusan dalam bidang tertentu sejak awal, menyelaminya dengan penuh kesungguhan, dan bahkan menjadikanya seperti hobi. Karena pekerjaan yang paling menyenangkan adalah hobi yang dibayar, bukan begitu?

Serta kabar baiknya, alhamdulillah dengan punya fokus bidang yang ingin didalami aku lebih memahami bagaimana harus melangkah dan berkontribusi. Dari mulai survei keamanan pangan, membina pedagang kantin, juri kantin sehat, menjadi pembimbing pedagang di Kab. Sleman, dan insha Allah ada jejak kontribusi lain kedepan di bidang keamanan pangan.

Mengenang

Standard
Apa yang telah lalu adalah sejarah yang patut dikenang. Disana kita dapat melihat gambaran besar tentang perjalanan hidup hingga kita sampai di titik ini. Apa yang membuat kita baik kini adalah kontribusi dari masa lalu, pun demikian dengan apa keburukan yang terjadi saat ini juga turut berperan apa yang disebut 'masa lalu'.

Kita mengenang bukan untuk meratapi apa yang menyedihkan, bukan pula untuk menyombongkan keberhasilan. Mengenang menjadi perlu untuk menangkap pola dan gambaran besar hidup yang kadang lupa kita syukuri. Yang barang kali ada sebagian dari kita selalu dibayangi dengan rasa takut, lebih jauh mengarah pada ke-putus-asa-an.

Lalu, hari ini aku ingin menuliskan dengan penuh syukur bahwa aku bisa mengenang masa lalu seorang bocah yang penuh gairah perbaikan, kesungguhan, ketekunan melangkah naik setapak demi setapak, serta belajar konsisten dalam berproses. Sehingga, kedepan tentu aku harus lebih menikmati proses, karena memang tak ada yang betul-betul instan.