Tuesday, October 6, 2015

Menjadi Kupu-kupu

Standard
Di musim semi itu ratusan telur tak terjaga menetas di antara rimbun dedaunan. Memulai fase nol kehidupan. Di sinilah semua bermula, nol!

Namun malang, tak sebagaimana umumnya kelahiran, kali ini munculah bayi-bayi yang tak dikehendaki, bahkan tertolak!. Bagaimana bisa?.

Mungkin memang pantas bayi-bayi itu tertolak. Karena memang penampakanya yang menggelikan. Bulu-bulunya yang membikin ngeri. Atau bahkan mampu membuat sekujur tubuh manusia bentol-bentol. Itulah si bayi, ulat yang menggelikan.

Begitulah ulat yang memang menggelikan, atau bahkan menjijikan. Jika bertemu tak ada pilihan, lindas hingga hancur!. Memang begitulah hidup ulat, sering ada hal-hal sadis dan menyakitkan. Tapi, bukan kah ini hidup yang harus terus dijalani?. Apapun dan bagaimana pun beratnya.

Fakta hidup yang kadang tak adil dan keras tak membuat ulat surut ke belakang. Ia tetap berusaha menghidupi dirinya.

Waktu berjalan, hari berlalu, terus dan terus ia membekali hidupnya dengan asupan-asupan daun yang membuatnya makin kuat, makin besar, makin tangguh. Malam berganti siang nampaknya ia tak pernah letih menutrisi dirinya, berproses menjadi lebih dan lebih.

Hingga ketika waktunya tiba, ia menahan, membatasi diri dari dunia, dan memilih untuk diam dalam kesendirian. Itulah pilihanya, menjadi seonggok yang rela tak menikmati dunia dalam sebagian hidupnya, membatasi dan menjaga diri.

Itulah kisah singkat dari ulat yang menggelikan. Bukankah kisah si ulat sedikit banyak mirip dengan kita sebagai manusia? Bagaimana bisa?

Sebagaimana ulat, kita pun sama, memulai semua dari nol. Saat lahir, tak ada sehelai kain pun melapisi tubuh kita, tak punya apapun, nol!

Ulat begitu menggelikan, apakah kita juga? Bulu-bulu yang menggelikan adalah mekanisme pertahanan diri yang bagi manusia lebih dilihat sebagai kekurangan. Bukankah sama dengan kita?. Kita yang punya banyak kekurangan, celah, dan hal-hal menggelikan sebagaimana ulat di mata manusia.

Namun ada satu yang bisa jadi membuat kita berbeda dengan ulat. Ulat, dimanapun mereka berada memilih untuk terus memberi asupan nutrisi bagi dirinya. Tak kenal lelah mereka menutrisi dirinya dengan apa yang mereka butuhkan, (ingat) apa yang mereka butuhkan!. Namun, tak semua manusia memilih hal yang sama dengan ulat. Menutrisi tiap aspek dalam diri yang memang membutuhkan. Ulat hanya punya raga, maka ia beri asupan pada raganya. Manusia punya jiwa, raga beserta komponen yang saya pribadi lebih suka menyebutnya potensi insani. Maka sudah sepantasnya manusia bersikap adil, menutrisi komponen yang tampak dan tak tampak pada dirinya.

Proses yang tak kenal lelah dibutuhkan sebagaimana ulat melakukanya. Menutrisi dengan makanan sehat dan olah raga. Menutrisi jiwa dengan dzikir. Menutrisi pikiran dengan belajar. Serta menutrisi diri seutuhnya dengan berbagai hal yang menjadikan potensi insani muncul dan terberdayakan, itulah yang disebut pengembangan diri.

Segala komponen dalam diri ini memang harus dikembangkan, Tak boleh fokus pada satu saja, tak boleh pula luput pada satu komponen. Memang luar biasa, ternyata kita bisa belajar dari hewan melata yang terlihat menggelikan.

Menjaga konsistensi pengembangan diri sebagaimana ulat yang konsisten menutrisi dirinya siang malam. Hingga akhirnya ada momentum loncatan kehidupan. Ketika suatu ketika pengembangan komponen jiwa dan raga mencapai klimaks. Sebagimana ulat yang memenuhi komponen raga dengan makan, Kita pun demikian!.

Hingga pada akhirnya konsisitensi dalam berproses akan mengantarkan kita menjadi pribadi yang mengagumkan. Pribadi yang barangkali tak pernah terbayang sebelumnya. Sebagaimana ulat yang berubah menjadi kupu-kupu. Terlihat mustahil, bagaimana bisa hewan melata pemakan daun berubah menjadi hewan bersayap pemakan nektar. Hewan yang begitu cantik, kupu-kupu. Siapkah kita demikian?. Bertransformasi menjadi sosok mengagumkan setelah berproses dalam rangkaian pengembangan diri yang konsisiten. (AZ)

Thursday, October 1, 2015

Quo Vadis Pendidikan Indonesia?

Standard
Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar ke empat di dunia. Data Badan Pusat Statistik (2014) menyebutkan, jumlah penduduk Indonesia sekitar dua ratus lima puluh juta jiwa. Tingginya jumlah penduduk Indonesia itu berimplikasi baik positif maupun negatif. Disatu sisi, tingginya jumlah penduduk merupakan potensi mewujudkan negara besar yang tangguh. Namun disisi lain, negara memiliki tugas yang sangat berat dalam upaya mengembangkan potensi sumber daya manusia yang ada.
Pengembangan potensi sumber daya manusia dilakukan melalui pendidikan. Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh rakyatnya. Namun penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan melalui lembaga pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi, secara nyata tidak berjalan mulus. 
Sean Coughlan dalam BBC Indonesia (2015) menulis, Indonesia menduduki peringkat 69 dari 76 negara untuk kategori sekolah global terbaik. Tidak hanya itu, buruknya kualitas pendididikan di Indonesia juga tergambar dari Indeks Pembangunan Manusia, peringkat dalam UNESCO Education For All Global Monitoring Report, dan Education Development Index. Pada 2013 Indonesia menempati posisi 121 dari 185 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sementara berdasarkan UNESCO Education For All Global Monitoring Report (2012), Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 120 negara diseluruh dunia. Sedangkan rilis Education Development Index (EDI) (2011), Indonesia menempati peringkat ke-69 dari 127 negara. Peringkat tersebut menunjukan besarnya masalah pendidikan Indonesia kini. Problematika paling fundamen pendidikan Indonesia memang adanya disorientasi tujuan secara nasional.
Bukankah termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sejatinya pendidikan  adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Hal ini jelas menegasikan realita riil yang terjadi. Tafsir menyoal pendidikan lebih dimaknai tentang nilai atau skor setinggi-tingginya, dan tujuan akhir, pekerjaan dengan gaji yang banyak. Disorientasi pendidikan Indonesia berakar dari kekosongan narasi pendidikan. Sebagai permisalan, minimnya materi terkait budi pekerti atau akhlaq.
Jika kita amati, dari tahun ke tahun materi terkait budi pekerti (termasuk pendidikan agama) di lembaga pendidikan formal makin dipangkas. Banyak hal yang bisa menjelaskan mengapa fenomena ini terjadi. Bisa jadi dipandang tidak sepenting materi lain, atau nilai spiritualitas yang sengaja disembunyikan. Apapun sebabnya, harus dipahami bahwa budi pekerti adalah akar terbentuknya karakter yang luhur. Karakter yang luhur-lah hal yang harus mengakar, sebagaimana diajarkan didalam Islam. Bahkan dalam Hadits Shahih Riwayat Bukhari tegas menyatakan, Sesungguhnya aku (rasulullah) diutus untuk menyempurnakan akhlak yang sholeh.