Saturday, November 30, 2013

Mari Bernalar: Menanggapi Kriminalisasi Dokter

Standard
Sudah santer terdengar. Namun kali ini saya ingin berbagi pendapat mengenai kasus kriminalisasi dokter ataupun tenaga medis lain. Sekitar tiga hari yang lalu saya diminta oleh teman dari badan pers mahasiswa untuk berkomentar tentang kasus kriminalisasi dokter. Saya tidak ingin men-justifikasi, namun saya ingin mengajak diri saya dan teman-teman untuk bernalar. 

Tenaga medis, entah itu dokter, perawat, ahli gizi, bidan dan lain-lain sudah mengenyam pendidikan intensif bertahun-tahun. Kita fokuskan ke dokter, S-1 sekitar 3,5 tahun, profesi, 1.5 tahun, interenship sekitar 1 tahun. Total setidaknya sekitar 6 tahun. Belum lagi ada UKDI. Mantap sudah perjuangan mereka. Apalagi yang mengambil spesialis, bukan main perjuanganya. 

Perjuangan mereka masih belum selesai ketika sudah mendapatkan surat izin praktek. Mereka dihadapkan pada fakta, beban kerja yang amat berat. Belum lagi judgement subjektif bahwa dokter itu materialistis. Dan yang lebih parah, opini publik tentang kinerja dokter membuat miris.

Memang betul bahwa dokter berkewajiban membantu pasien untuk bisa sembuh, tapi apakah dokter juga menjamin 100% kesembuhan pasien?, mari bernalar. 

Pun untuk menjaga kinerja dokter agar selalu on the track, sudah ada komite etik kedokteran yang tahu betul tentang prosedural kedokteran. Dan idealnya ketika komite etik sudah menyatakan suatu kasus bukan malpraktek, maka tidak seharusnya berlanjut ke peradilan pidana. Idealnya demikian, kenyataanya?.

Thursday, November 28, 2013

Motivasi Menuju KMFK 1

Standard
Sembilan belas tahun silam saya dilahirkan dan diberi nama oleh orangtua saya, Mokhamad Ali Zaenal Abidin. Saya tumbuh dalam sebuah keluarga sederhana bersama orangtua dan lima orang saudara saya. Sejak kecil saya sudah dibiasakan untuk hidup dengan rasa kekeluargaan yang tinggi, mengayomi, dan toleransi. Namun demikian, orangtua saya pun tidak luput untuk mengajari ketegasan dan kesungguhan dalam hidup.

Dalam hidup ini saya meimiliki motto, yaitu “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk manusia lain”. Maka dari itu, sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya mulai aktif berorganisasi dan berkarya. Cukup banyak organisasi dan kegiatan ektrakulikuler yang saya ikut; OSIS, Pramuka, PMR, KIR, English Club, Kreasi Matematika, hingga Tim Paskibra. Selain itu, saya pun mulai berkarya dengan menjadi penulis di majalah Aktris Sekolah, aktor seni teater dan mengikuti lomba pidato. Di SMP, saya memiliki gairah lebih tinggi untuk hidup. Pikiran saya mulai terbuka, bahwa berkutat di akademik saja tidak cukup untuk menjadi sebaik-baik pribadi sebagaimana motto hidup saya.

Demikian ketika saya mengenyam pendidikan di Sekolah Menengan Atas (SMA), semangat saya semakin menyala-nyala untuk menebar manfaat pada orang lain. Ada beberapa organisasi dan ekstrakulikuler yang saya ikuti; Pramuka, Rohis, Seni Karawitan, Tim Paskibra, Bela diri Merpati Putih, dan Research Community. Tidak hanya itu, saya pun berusaha menebar manfaat pada orang lain melalui menulis dan melakukan penelitian. Di tahun pertama saya dipercaya menjadi Wakil Ketua Research Community di SMA. Demikian di tahun kedua, saya dipercaya menjadi Ketua Rohis di SMAN 2 Purwoerto. Dua amanah  tersebut sangat mengesankan bagi saya. Saya ditempa untuk menjadi pemimpin yang bijaksana, rela berkorban tanpa pamrih, dan menjadi generasi perintis; bukan pengekor!.

Sekarang saya sudah menjadi mahasiswa. “Maha” memiliki arti sesuatu yang luarbiasa, maka sudah seharusnya saya bertindak secara luarbiasa lebih daripada saat saya SMA. Hidup tanpa berkarya, nampaknya itu bukan saya!. Maka, di Universitas Gadjah Mada saya tergabung dalam beberapa organisasi; BEM FK, KaLAM, MSC, dan HIMAGIKA. Rentetan kepanitiaan saya ikuti dengan semangat menggebu. Begitu pula menulis dan meneliti, tetap saya lakukan!. Bahkan, sekarang saya mulai merintis jalan untuk menjadi wirausahawan muda. Selain itu saya juga mulai mendalami dunia disain (poster) dan masih aktif sebagai koordinator angkatan alumni SMA. Itulah tekat saya, bersemangat menebar manfaat.

Menjadikan Mahasiswa FK Peduli Terhadap Isu Politik

Standard
Literatur sejarah telah mencatat kerasnya perjuangan bangsa ini untuk mendapatkan kemerdekaanya. Pengorbanan jiwa, raga, harta, dan tahta melebur menjadi satu, merujuk pada satu cita, merdeka!. Hingga pada suatu masa, proklamasi kebebasan jiwa pun menjadi nyata, Indonesia merdeka.

Ratusan tahun terbelenggu dalam kedzoliman sang budak nafsu menjadikan nurani bergetar, kami harus merdeka!. Tekat yang semakin memuncah pun akhirnya terlahir dalam wujud gerakan-gerakan nyata. Dimotori kaum cendekia, Nusantara bangkit dalam satu tujuan mulia, mensucikan hak-hak manusia.

Tahun ini, seratus lima tahun sudah kebangkitan kita. Berawal dari gagasan dan motivasi sang cendekia hebat, dr. Wahidin Soedirohusodo. Lahirlah Boedi Utomo oleh Soetomo, Soeraji, Muh Saleh, dan Gunawan pada 20 Mei 1908. Boedi Utomo adalah pelopor pergerakan kebangkitan nasional Indonesia. Maka, setiap 20 Mei kita dapati sebagai peringatan Kebangkitan Nasional.

Begitulah sejarah bermula hingga akhirnya Indonesia mendapatkan haknya, merdeka!. Tak sampai disitu, sejarah pun terus bergulir hingga munculah kembali rezim yang menindas. Nurani pun kembali berteriak, dan lagi-lagi kaum cendekialah yang menjadi motor penggerak kebebasan.

Ingatkah kita tragedi berdarah semanggi?. Cendekia muda berjuang menghadapi rezim yang korup, menuntut kebebasan rakyat. Korban bergelimangan, bahkan ada yang tewas. Lagi-lagi disitu kita temukan identitas, mahasiswa kedokteran, syahid dalam perjuanganya.

Terlihat jelas, peranan civitas medika dalam perjuangan bangsa ini. Merekalah intelektual yang visioner dan progresif, berfikir melampaui zamanya. Tidak hanya berkutat pada rutinitas klinisnya, mereka berjuang memperbaiki tatanan masyarakat. Cita mereka mulia, menyembuhkan kronisnya penyakit bangsa ini.

Sunday, November 10, 2013

Educopreneur Muda Penegak Prinsip “Halalan Toyiban”

Standard
Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia. Data dari Badan Pusat Statistik (2010) menunjukan bahwa 87,18 persen penduduk Indonesia adalah muslim. Jumlah muslim yang sekitar 207.176.162 itu setara dengan 13 persen populasi muslim dunia.
Namun sungguh ironis, bersamaan dengan jumlah penduduk muslim yang banyak, Indonesia pun memiliki angka kemiskinan yang tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin per Maret 2013 mencapai 28,07 juta atau 11,37 persen dari total penduduk Indonesia. Berdasarkan data tersebut kemudian muncul pemikiran nakal, barangkali ada hubungan antara tingginya angka kemiskinan dan status Indonesia sebagai negara mayoritas muslim. Apakah benar ada hubunganya?.
Sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak, sudah seharusnya masyarakat Indonesia memegang teguh nilai-nilai Islam. Pada hakikatnya nilai-nilai Islam bersifat menyeluruh sehingga menyentuh semua dimensi, termasuk dimensi ekonomi. Islam mengajarkan begitu banyak prinsip-prinsip ekonomi, seperti berhemat, berzakat, berinfaq, dan bersemangat dalam mencari rizki Allah. Seorang muslim diajarkan untuk hidup mandiri secara finansial dengan cara bekerja yang halal dan toyib (baik). Konsep “halalan toyiban” ini lebih dikenal dalam urusan memilih makanan dan minuman, padahal konsep ini seharusnya diterapkan di semua dimensi. Demikian pula dalam membelanjakan hartanya, mereka dituntut untuk menegakan prinsip “halalan toyiban”. Sehingga sudah jelas bahwa yang menjadi masalah di Indonesia bukanlah karena mayoritas rakyatnya beragama Islam. Islam selalu mengajarkan untuk bersemangat dalam mencari rizki Allah dengan berprinsip pada konsep “halalan toyiban”.
Prinsip “halalan toyiban” pada dasarnya adalah pondasi dalam usaha mewujudkan masyarakat madani yang mandiri dalam berbagai dimensi, termasuk ekonomi. Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, serta maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kata “madani” merujuk pada kata “madinah”, yaitu nama kota di Saudi Arabia. Madinah pada masa Rosululloh SAW merupakan contoh konkrit tatanan masyarakat yang ideal.
Guna mewujudkan tatanan masyarakat madani, sangat penting untuk menegakan prinsip “halalan toyiban”. Namun, banyak masyarakat Indonesia saat ini merasa tabu terhadap prinsip tersebut. Seringkali mereka lebih memilih prinsip ekonomi liberal atau kapitalis yang cenderung korup dan bertentangan dengan keyakinan mereka. Inilah sebenarnya akar permasalah ekonomi di Indonesia. Masyarakat muslim cenderung mengunggulkan prinsip ekonomi konvensional (kapitalis) daripada prinsip ekonomi Islam. Sehingga mereka lebih mementingkan profit tanpa mempedulikan nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagai dampaknya, Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia sedang menghadapi masalah besar. Selain masalah kemiskinan, Indonesia juga dihadapkan dengan masalah tingginya angka pengangguran. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran per Februari 2013 mencapai 7,17 juta orang atau 5,92 persen dari jumlah angkatan kerja di Indonesia sebesar 121,2 juta orang. Angka ini lebih buruk dibandingkan target sebelumnya yakni 5,5 persen sampai 5,8 persen dengan asumsi pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 6,8 persen sampai 7,2 persen.
Angka pengagguran yang tinggi tersebut mengindikasikan adanya problem umat di Indonesia yang nyata. Jika dilihat lebih detail lagi, kita akan menemukan problem ketidakmandirian rakyat Indonesia dalam usaha memenuhi kebutuhan ekonominya. Banyak rakyat Indonesia yang bergantung terhadap uluran tangan orang lain, termasuk pihak asing. Mereka berkeinginan bekerja sebagai pegawai, karyawan, ataupun pelayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun ironisnya, banyak dari mereka yang tidak siap dalam bersaing memperebutkan kursi kepegawaian tersebut. Dampaknya, banyak dari mereka menjadi penggangguran.
Sistem pendidikan Indonesia saat ini yang cenderung mempersiapkan anak didiknya sebagai “kuli” daripada sebagai “bos” menambah panjang catatan pilu ketenagakerjaan di Indonesia. Peserta didik sudah terlanjur dibuat berpikir nyaman tentang cara memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja di tempat yang sudah “bonafide”. Saking banyaknya yang berpikiran demikian, menyebabkan antrian pendaftar untuk menjadi pegawai sangat panjang. Seleksi yang ketat, rumit, dan lama kerap kali menjadikan banyak orang gagal dalam persaingan tersebut. Parahnya, mereka yang gagal tidak pernah dipersiapkan sebelumnya untuk mengalami kegagalan tersebut. Sehingga mereka hanya bisa berdiam diri tanpa ada usaha pasti. Akibatnya, angka pengangguran pun semakin tinggi.
Nampaknya, perdagangan bebas ASEAN 2015 akan memperparah masalah ketenagakerjaan di negeri ini. Pasalnya, tenaga kerja Indonesia akan bersaing tanpa batas dengan tenaga kerja dari negara-negara ASEAN lain. Padahal banyak tenaga kerja Indonesia yang belum memenuhi standar pasar tenaga kerja. Bisakah Anda bayangkan apa yang akan terjadi?. Tentunya persaingan kepegawaian pun akan semakin ketat sehingga angka pengangguran akan membumbung makin tinggi.
Barangkali sebagian dari kita tidak setuju terhadap penjelasan tersebut. Sebagian orang merasa optimis akan kemajuan ekonomi Indonesia dimasa depan. Buktinya saat ini sudah semakin massive bermunculan pengusaha-pengusaha dan industri-industri rumahan. Namun, tahukah Anda ancaman ekonomi dibalik fenomena tersebut?.

Monday, November 4, 2013

Siap Hijrah dengan Introspeksi!

Standard
Senja hari ini datang dengan merdu. Seolah mengingatkan bahwa hidup terus berlalalu. Kini siang-Mu telah berlalu dan malam-Mu telah menjelang wahai Rabb-ku. 1 Muharrom 1435 H Alhamdulillah kini mulai kita tapaki. Sebuah harapan baru untuk menjadi sebaik-baik pribadi.

Barangkali setiap waktu selalu cocok untuk berintrospeksi diri, namun Allah memberikan ukuran-ukuran waktu untuk memudahkan kita memposisikan diri. Seperti saat ini, Tahun Baru Hijriah ke 1435.

Bagi saya waktu-waktu khusus seperti ini bukan masalah bagaimana merayakanya. Namun, bagaimana memaknainya.

Waktu-waktu seperti ini bagaikan alarm yang membangunkan tidur lelap. Allah menjadikan kita ingat akan waktu-waktu hidup yang makin sempit, hari akhir yang akan datang, serta hari pembalasan yang merisaukan.

Hati kita diketuk, tentang niatan yang tidak lurus, amalan yang tidak tulus, atau pun keraguan yang menghunus. Maka, semoga Allah membukakan pintu hati kita untuk menerima cahaya hakiki yang penuh rahmat.

Semoga di waktu-waktu yang akan datang Allah selalu memberikan keteguhan bagi kita dalam memegang buhul-buhul tali-Nya yang lurus. Aamiin Ya Rabbal 'Alamin