Monday, February 29, 2016

Memupuk Kuriositas

Standard
All people have brain, but only few use their mind

Perbedaan mendasar manusia dibanding makluk lain ada pada otaknya. Jika makhluk lain memiliki otak hanya sebagai pusat koordinasi tubuh, otak manusia tak demikian. Otak manusia dirancang untuk mampu menganalisis dan membuat penyelesaian masalah. Intinya perbedaan mendasar itu terletak pada penggunaan otak untuk berpikir atau tidak.

Sebagai makhluk yang berpikir tentu manusia mestilah mampu memproduksi sintesis dari pemikiranya tersebut. Sintesis itu hadir sebagai intisari dari berbagai tesis dan antitesis yang ditemui. Semakin luas pengetahuan seseorang maka semakin berkualitas sintesis yang dihasilkan. Satu yang perlu juga diketahui bahwa sintesis lahir sebagai jawaban atas berbagai persoalan yang muncul.

Memulai dengan kuriositas
Kuriositas atau keingintahuan menjadi pondasi untuk berpikir. Tanpa rasa ingin tahu yang tinggi seseorang hanya akan terkungkung pada doktrin atau pandangan sempit tentang sesuatu. Kuriositas yang rendah lah yang menjadikan seseorang malas membaca, diskusi, berpikir, mengkritisi dan cenderung pasif. Maka membangun budaya berpikir perlu dilakukan dengan meningkatkan kuriositas. Selalu ingin tahu tentang apa, mengapa, bagaimana dan seterusnya.

Baca, baca, baca menjadi awal yang sangat penting untuk memupuk kuriositas. Walaupun berat, ngantuk, dan cenderung tak mengenakan tapi inilah langkah yang harus diambil bagi siapapun yang ingin berkembang. Dengan mengalokasikan waktu yang lebih untuk membaca secara kritis maka perlahan kuriositas diri akan terbentuk.

Memupuk semangat baca sebagai awal pembentukan budaya berpikir telah lama dilakukan oleh pendahulu kita dalam catatan sejarah manusia. Uniknya mereka selalu menyimpan sisi manusiawi dalam berproses, persis seperti kita. Jika kita merasa ngantuk, mereka juga, luar biasanya mereka memilih teguh berjuang melawan kantuk untuk terus membaca dan berpikir. Kita? Semoga demikian pula. (AZ)

Tuesday, February 16, 2016

Menjiwai Peran Perlawanan

Standard
Soal Peran
Pada hakikatnya manusia memang sama. Hanya Tuhan yang pantas menilai mana yang lebih mulia. Namun, tetap saja di dunia ini setiap manusia berbeda, setidaknya dalam peran. Tiap dari kita mengambil peran yang berbeda dan spesifik. Seorang bupati belum tentu lebih mulia daripada tukang becak, tapi tetap saja peran lah yang membedakan keduanya. Peran lah yang menuntut si A wajib berbuat begini, sedangkan si B tidak wajib, dan sebaliknya.

Peran Spesifik Kita
Sejatinya setiap manusia dilahirkan dengan takdir berbeda, walaupun esensinya sama, hidup ini adalah ujian. Kemudian dalam hidup ini kita memilih dan memutuskan akan menjalankan peran seperti apa, tentu masih dalam koridor yang digariskan Tuhan. Dengan demikian kita mengambil peran yang spesifik satu sama lain. Yang menuntut kita berbuat begini begitu, punya keahlian ini itu, dan selalu bertanggungjawab atas peran spesifik masing-masing.

Memaknai Peran Perlawanan
Perlawanan adalah kata lain dari kecintaan. Justru karena kita cinta, maka kita melawan, karena cinta adalah perlawanan. Sementara perlawanan tanpa kecintaan adalah kemunafikan dan kebohongan, karena sejatinya perlawanan dimulai dari nurani terdalam. Selama nurani masih sehat sudah barang pasti setiap orang merasa resah dengan segudang masalah di bumi. Yang jelas, sumber dari semua masalah adalah manusia itu sendiri, lebih tepatnya mereka yang dzolim dan tamak. Padahal manusia diciptakan Tuhan sebagai pemeilhara bumi. Maka tak sepantasnya merusak apa yang harusnya dijaga.

Peran perlawanan adalah peran yang diambil oleh mereka yang mecintai dan ingin apa yang dicintainya berubah lebih baik. Bahkan sekalipun dia yang dicinta sudah bebal dengan kedzoliman, peran perlawanan akan tetap berjalan. Ibarat besi yang bengkok, untuk meluruskanya lagi akan sulit. Butuh dipukul berkali-kali, pasti sakit seandainya besi bisa merasakan, belum lagi harus dihujani api agar lebih lunak, terkesan jahat dan keras, tapi begitulah, bisa jadi satu-satunya cara untuk menghentikan kerusakan adalah dengan memukul keras-keras dan membakar panas-panas.

Menjiwai Peran Perlawanan
right man in the right place”, satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa seseorang tepat atau tidak menempati peran tertentu adalah dengan melihat hasil kerjanya. Seberapa banyak, seberapa besar, seberapa gigih kah kerja berlangsung hingga tercipta perbaikan nyata. Tentu ini tak mudah, sering diawali jet lag karena belum mampu menyesuaikan dengan peran baru. Tapi, justru inilah tantanganya. Bagaiamana cara dan secepat apa kita bisa segera menyesuaikan diri dalam menjalani peran baru.

Hingga akhirnya dalam menjalankan peran kita harus paham bahwa ada soul atau jiwa yang harus menyertai. Mungkin orang lebih sering menyebut passion. Menjiwai apa peran yang sedang kita jalankan berati berusaha mencintai apa yang dilakukan. Mereka yang demikian adalah orang yang tidak terjebak dalam cinta buta, menjalankan hanya yang dicintai tanpa mencoba mencintai apa yang dilakukan.

Menjiwai peran perlawanan menjadi sangat abstrak untuk dilakukan jika tanpa teman seperjuangan. Namun  justru itu tantanganya, bisa jadi peran perlawanan dimulai dari seorang saja. Kemudian menjalar dan berkembang memunculkan perlawanan lain. Sebuah perlawanan yang mengehegemoni, yang nantinya akan menciptakan perubahan besar, dimulai dari satu orang. Lalu siapakah orang itu? aku? kamu? atau orang lain? Biarlah waktu yang menjawab. Yang jelas peran perlawanan harus dimulai dengan menjiwai, dimulai dari hati, dilantangkan dengan lisan, dan dikokohkan dengan perbuatan. Menjiwai peran perlawanan adalah janji seorang intelektual. Mereka yang hati dan pikiranya masih terkoneksi dengan baik sehingga sadar bahwa ada banyak masalah yang harus diselesaikan dengan perlawanan. Siap melawan? (AZ)

Monday, February 15, 2016

Mengembalikan Kejayaan Peradaban Islam Dunia

Standard
Membaca judul tulisan ini mungkin pembaca langsung bertanya, apakah saat ini Islam sedang tidak berjaya. Ya, menurut saya demikian. Sejak runtuhnya kesultanan ottoman 1924 silam peradaban Islam tersungkur dan menjadi tak dominan lagi di bumi, tak seperti sebelumnya. Bahkan ini diperparah dengan perpecahan di dalam umat Islam itu sendiri. Sehingga barang tentu dalam hampir seratus tahun ini menjadi sulit untuk membangkitkan kembali peradaban Islam.

Memaknai agama
Agama adalah way of life. Keyakinan yang memberikan petunjuk bagi mereka yang meyakini tentang apa dan bagaimana seharusnya kehidupan ini berjalan. Dengan demikian agama memiliki prinsip yang harus dijalankan pengikutnya, serta aturan-aturan detail tentang ajaranya.
Tak heran sejarah menuturkan ada banyak pergolakan ataupun peperangan yang timbul karena agama. Namun demikian tak berarti agama adalah sumber masalah dan peperangan. Justru insight yang mesti kita dapatkan adalah agama sebagai power sources yang memunculkan kekuatan besar. Dan kekuatan besar itu lah yang memunculkan peradaban-peradaban besar, yang hampir mustahil terwujud tanpa adanya agama. Dalam kata lain tanpa agama barangkali manusia akan bertahan sebagai makhluk primitif.

Tentang Agama Islam
Islam adalah agama yang lahir sekitar empat belas abad yang lalu. Termasuk agama yang muda jika dikomparasikan dengan nasrani, yahudi, maupun hindu. Namun demikian, bukan berarti Islam masuk katagori agama dadakan yang keberadaanya spontan tanpa jejak sejarah. Pada dasarnya keberadaan Islam yang diperantarai oleh seorang mulia bernama Muhammad sudah tercatat dalam berbagai kitab nasrani maupun yahudi. Demikian pula dalam kitab sucinya, Al-Qur’an menerankan tentang agama, nabi, dan periodisasi keberadaan agama Tuhan yang memang ditakdirkan berangsur-angsur. Tentu ini menjadi bukti yang kuat bahwa Islam memiliki akar sejarah peradaban manusia yang kuat dari zaman Adam hingga Muhammad.

Islam sebagai agama telah menyedot perhatian dengan menjadi salah satu kekuatan terbesar dunia hingga kini. Hal tersebut bukanlah hal praktis yang hadir begitu saja. Namun lebih berkaitan dengan substansi ajaran yang dikandung. Bahwa Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan penganutnya. Tak hanya itu, konsep pembinaan dalam Islam yang mengajarkan setiap individu untuk terus berproses sebagai wujud ibadah pada Allah membuat para penganutnya berkualitas unggul dan terus berkembang dibanding umat lain.

Singkatnya peradaban Islam yang mendominasi dunia ribuan tahun lamanya dibangun atas dasar value yang bersumber dari ajaran Agama itu sendiri. Dimana value tersebut menjadi insight bagi penganutnya untuk berperilaku terpuji dan beretos kerja tinggi. Dengan demikian lahirlah pribadi hebat yang tercatat dala tinta emas sejarah manusia.

Kumpulan individu berkumpul, maka terbentuklah masyarakat. Dimana kita tahu bahwa salah satu komponen penting negara adalah masyarakat. Kumpulan pribadi hebat dan berbudi luhur akan membentuk masyarakat berperadaban tinggi dan unggul. Sebaliknya, kebobrokan individu yang terkumpul dan mendominasi akan menghasilkan masyarakat yang bobrok. Begitulah Islam memandang, sehingga untuk mewujudkan peradaban yang unggul dimulai dengan masyarakat yang unggul dan dalam lingkup lebih kecil lagi sangat ditentukan oleh individu-individu dalam masyarakat tersebut.

Membangun kembali peradaban Islam setelah runtuhnya pada awal abad 19 silam tentu tidak mudah. Akan butuh banyak tenaga, pengorbanan dan penantian yang panjang. Namun demikian telah kita sadari bersama untuk mengembalikan peradaban Islam harus dimulai dari individunya. Ringkasnya, tak ada peradaban besar tanpa ada pribadi-pribadi besar. Dan kebesaran jiwa, karakter, serta tekat dapat diperoleh seorang muslim dengan mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh. Siapkah kita mengembalikan kejayaan peradaban Islam? (AZ)