Saturday, July 8, 2017

Review Buku Bukan Mahasiswa Biasa (?)

Standard


"Pembawaan yang ceplas-ceplos membuat saya yakin penulis review buku Bukan Mahasiswa Biasa (?) ini akan jujur dan gamblang memberikan gambaran tentang buku ini. Tak melulu menampilkan sisi positif buku, penulis juga menampakkan kekurangan buku. Summa apresiasi buat Asma Karimah yang sudah berkenan menulis review ini." - Ali Zaenal

Judul              : Bukan Mahasiswa Biasa
Penulis           : M. Ali Zaenal A.
Penerbit         : Dompet Dhuafa
Tahun terbit   : 2017
Cetakan         : Pertama
Tebal              : 188 hlm
ISBN              : 978-602-7807-73-0

Gimana sih mahasiswa ideal itu? Bisa ga ya aku jadi mahasiswa yang ga biasa-biasa aja? Wow, keren ya mba itu, kapan ya aku bisa kaya dia? Aduh berat, gimana bisa aktif organisasi tapi akademis aman? Mana mungkin aktivitis bisa prestatif? Sudahkah aku jadi mahasiswa ideal? Dan segudang pertanyaan yang lumrah berseliweran di benak para mahasiswa, terkhusus mahasiswa baru.

Bukan Mahasiswa Biasa (?) merupakan sebuah memoar perjalanan menggapai cita yang penuh tanya. Penulis menyadari bahwa ia barangkali masih jauh untuk dikatakan sebagai mahasiswa “tak biasa”. Namun, kisah pertemuannya dengan orang-orang inspiratif, mimpinya, dan perjalanan hidupnya semoga bisa berguna bagi pemuda, mahasiswa, atau calon mahasiswa Indonesia yang memiliki pertanyaan-pertanyaan serupa. Terlebih dari itu, penulis berharap para pembaca tak takut lagi bermimpi dan benar-benar mampu menggapai citanya.

Salam untuk kamu, Bukan Mahasiswa Biasa (?)

Kesan pertama ketika mulai membaca naskah buku ini adalah kaget, dan sedikit lega. Sekian lama rutin membaca tulisan-tulisan Mas Ali di blog dan platform lainnya—yang cenderung serius dan butuh berpikir keras, membuat saya pesimis dapat menyelesaikan buku ini sekali duduk. Ekspektasi saya, buku ini sekadar kumpulan esai berat khas Mas Ali yang membahas dunia mahasiswa dari pandangan seorang aktivis, atau carut-marutnya dunia mahasiswa di balik layar, atau hal-hal berat lainnya yang membuat buku ini ditargetkan untuk para intelek level dewa.

Hm, tapi ternyata, ekspektasi saya meleset.

Mas Ali justru menawarkan pemahaman dengan cara yang lebih ringan, yaitu menarasikan kilas balik perjalanan hidupnya dengan sederhana, sekaligus menyelipkan berbagai pengalaman inspiratif. Sepanjang buku ini, kita akan diajak untuk mengenal lebih dekat sosok seorang Ali kecil yang pendiam tetapi bandel, fase Ali remaja yang penuh semangat dan masih berusaha mencerna tanggung jawab utama sebagai seorang manusia yang bermanfaat, fase kampus yang berat dan melelahkan, serta momen-momen penting lainnya yang berperan untuk membentuk sosok Mas Ali yang sekarang.

Saya menyukai cara Mas Ali dalam menyampaikan cerita. Luwes, mengalir, tanpa tedeng aling-aling, yang seolah-olah membuat kita mengenal sosok Mas Ali secara personal sejak kecil. Spoiler: Siapa yang menyangka, ternyata Ali kecil pernah dicap sebagai anak nakal? Siapa yang menyangka, ternyata Mas Ali bisa jatuh cinta? Siapa yang menyangka, ternyata Mas Ali pernah berada pada posisi galau tingkat nasional? Meskipun demikian, alur cerita yang kurang runut dan berlompatan menjadi aspek penting yang cukup mempengaruhi kenyamanan ketika membaca.

Selalu ada moral value yang disisipkan pada isi cerita sehingga tidak hanya sekadar cerita kosong masa lalu. Sebagai pembaca, kita diperbolehkan memetik hikmah, banyak-banyak, dari pengalaman Mas Ali yang kurang baik, dan menyerap energi positif dari setiap perjuangan dan semangat Mas Ali. Tidak hanya itu, ada banyak kalimat inspiratif yang catchy dan caption-able yang bisa kita comot dan pakai, kapan-kapan, demi mendukung kekerenan. Ha!

Konflik cerita yang, bagi saya, lumayan mendramatisir ternyata berhasil membuat cerita lebih berkesan. Spoiler: Misalnya saat lingkungan pertemanan yang berkali-kali meremehkan dan menganggap ia tidak mumpuni untuk melakukan banyak hal. Meskipun pada beberapa bagian, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak mendesis, ‘duh, drama banget to, Mas!’ karena konflik cerita bertubi-tubi yang terlalu dramatis. Pun, cerita di bab-bab pertengahan terasa terlalu penuh karena Mas Ali terkesan ingin menceritakan banyak hal. Selanjutnya, kesan cerita justru terasa datar akibat konflik yang tak usai-usai.

Sepertinya mustahil menemukan potongan komedi dalam buku ini. Selain hanya akan merusak tingkat keseriusan pembaca dan sakralitas cerita perjuangan yang dibangun dalam buku ini, juga karena unsur komedi justru kurang nyambung dengan citra Mas Ali. Lagipula, buku ini tidak dilabeli sebagai “kumpulan cerita/komedi”, jadi, saya akan berhenti protes.

Terlepas dari isi cerita, buku ini mempunyai cacat teknis yang cukup mengganggu. Misalnya berupa typo yang cukup banyak. Selain itu, penataan layout masih kurang konsisten, dengan pemilihan gambar dan ilustrasi yang masih kurang nyaman di mata. Untuk ilustrasi sampulnya, hm, not bad.

Secara personal, saya ingin mengapresiasi Mas Ali, banyak-banyak, karena berhasil menuliskan cerita dengan gaya penulisan yang jauh berbeda daripada biasanya. Saya tahu, itu lebih sulit. Biarpun masih terasa kurang bernyawa—dan kurang Mas-Ali-banget, saya tetap acungi dua jempol. Salut! Ah, seharusnya saya membaca buku ini sebelum upacara kelulusan SMP.

Secara objektif, buku ini akan jadi teman perjalanan yang asyik selama proses meraih impian. Saya yakin, setiap kita mempunyai pandangan yang berbeda untuk mendefinisikan ‘mahasiswa ideal’—yang dalam buku ini, dipotretkan sebagai paket komplit: kontributif, prestatif, dan ber-IPK baik, dan saya rasa itu bukan masalah karena buku ini lebih menggambarkan bahwa hidup adalah sebuah proses perjuangan yang panjang dan melelahkan. Di setiap fase, kita akan menemukan tantangan dan hambatan baru yang justru akan menguatkan kita, atau menemukan sosok-sosok baik yang  bisa memberikan inspirasi. (ash)

0 komentar:

Post a Comment