"Pembawaan yang ceplas-ceplos membuat saya yakin penulis review buku Bukan Mahasiswa Biasa (?) ini akan jujur dan gamblang memberikan gambaran tentang buku ini. Tak melulu menampilkan sisi positif buku, penulis juga menampakkan kekurangan buku. Summa apresiasi buat Asma Karimah yang sudah berkenan menulis review ini." - Ali Zaenal
Judul : Bukan Mahasiswa Biasa
Penulis : M. Ali Zaenal A.
Penerbit : Dompet Dhuafa
Tahun terbit : 2017
Penerbit : Dompet Dhuafa
Tahun terbit : 2017
Cetakan : Pertama
Tebal : 188 hlm
ISBN : 978-602-7807-73-0
Tebal : 188 hlm
ISBN : 978-602-7807-73-0
Gimana sih mahasiswa
ideal itu? Bisa ga ya aku jadi mahasiswa yang ga biasa-biasa aja? Wow, keren ya
mba itu, kapan ya aku bisa kaya dia? Aduh berat, gimana bisa aktif organisasi
tapi akademis aman? Mana mungkin aktivitis bisa prestatif? Sudahkah aku jadi
mahasiswa ideal? Dan segudang pertanyaan yang lumrah berseliweran di benak para
mahasiswa, terkhusus mahasiswa baru.
Bukan Mahasiswa Biasa (?)
merupakan sebuah memoar perjalanan menggapai cita yang penuh tanya. Penulis
menyadari bahwa ia barangkali masih jauh untuk dikatakan sebagai mahasiswa “tak
biasa”. Namun, kisah pertemuannya dengan orang-orang inspiratif, mimpinya, dan
perjalanan hidupnya semoga bisa berguna bagi pemuda, mahasiswa, atau calon
mahasiswa Indonesia yang memiliki pertanyaan-pertanyaan serupa. Terlebih dari
itu, penulis berharap para pembaca tak takut lagi bermimpi dan benar-benar
mampu menggapai citanya.
Salam untuk kamu, Bukan
Mahasiswa Biasa (?)
Kesan pertama ketika mulai
membaca naskah buku ini adalah kaget, dan
sedikit lega. Sekian lama rutin membaca tulisan-tulisan Mas Ali di blog dan
platform lainnya—yang cenderung serius dan butuh berpikir keras, membuat saya pesimis
dapat menyelesaikan buku ini sekali duduk. Ekspektasi saya, buku ini sekadar
kumpulan esai berat khas Mas Ali yang membahas dunia mahasiswa dari pandangan
seorang aktivis, atau carut-marutnya dunia mahasiswa di balik layar, atau
hal-hal berat lainnya yang membuat buku ini ditargetkan untuk para intelek
level dewa.
Hm, tapi ternyata, ekspektasi
saya meleset.
Mas Ali justru menawarkan
pemahaman dengan cara yang lebih ringan, yaitu menarasikan kilas balik
perjalanan hidupnya dengan sederhana, sekaligus menyelipkan berbagai pengalaman
inspiratif. Sepanjang buku ini, kita akan diajak untuk mengenal lebih dekat
sosok seorang Ali kecil yang pendiam tetapi bandel, fase Ali remaja yang penuh
semangat dan masih berusaha mencerna tanggung jawab utama sebagai seorang
manusia yang bermanfaat, fase kampus yang berat dan melelahkan, serta momen-momen
penting lainnya yang berperan untuk membentuk sosok Mas Ali yang sekarang.
Saya menyukai cara Mas Ali
dalam menyampaikan cerita. Luwes,
mengalir, tanpa tedeng aling-aling, yang
seolah-olah membuat kita mengenal sosok Mas Ali secara personal sejak kecil. Spoiler:
Siapa yang menyangka, ternyata Ali kecil pernah dicap sebagai anak nakal? Siapa
yang menyangka, ternyata Mas Ali bisa jatuh cinta? Siapa yang menyangka,
ternyata Mas Ali pernah berada pada posisi galau tingkat nasional? Meskipun
demikian, alur cerita yang kurang runut dan berlompatan menjadi aspek penting
yang cukup mempengaruhi kenyamanan ketika membaca.
Selalu ada moral value yang disisipkan pada isi
cerita sehingga tidak hanya sekadar cerita kosong masa lalu. Sebagai pembaca,
kita diperbolehkan memetik hikmah, banyak-banyak, dari pengalaman Mas Ali yang
kurang baik, dan menyerap energi positif dari setiap perjuangan dan semangat
Mas Ali. Tidak hanya itu, ada banyak kalimat inspiratif yang catchy dan caption-able yang bisa kita comot
dan pakai, kapan-kapan, demi mendukung kekerenan. Ha!
Konflik cerita yang, bagi
saya, lumayan mendramatisir ternyata berhasil membuat cerita lebih berkesan.
Spoiler: Misalnya saat lingkungan pertemanan yang berkali-kali meremehkan dan
menganggap ia tidak mumpuni untuk melakukan banyak hal. Meskipun pada beberapa
bagian, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak mendesis, ‘duh, drama banget to, Mas!’ karena konflik cerita bertubi-tubi
yang terlalu dramatis. Pun, cerita di bab-bab pertengahan terasa terlalu penuh karena Mas Ali terkesan ingin
menceritakan banyak hal. Selanjutnya, kesan cerita justru terasa datar akibat konflik
yang tak usai-usai.
Sepertinya mustahil menemukan
potongan komedi dalam buku ini. Selain hanya akan merusak tingkat keseriusan pembaca
dan sakralitas cerita perjuangan yang dibangun dalam buku ini, juga karena
unsur komedi justru kurang nyambung dengan citra Mas Ali. Lagipula, buku ini
tidak dilabeli sebagai “kumpulan cerita/komedi”, jadi, saya akan berhenti
protes.
Terlepas dari isi cerita, buku
ini mempunyai cacat teknis yang cukup mengganggu. Misalnya berupa typo yang cukup banyak. Selain itu,
penataan layout masih kurang
konsisten, dengan pemilihan gambar dan ilustrasi yang masih kurang nyaman di
mata. Untuk ilustrasi sampulnya, hm, not
bad.
Secara personal, saya ingin
mengapresiasi Mas Ali, banyak-banyak, karena berhasil menuliskan cerita dengan
gaya penulisan yang jauh berbeda daripada biasanya. Saya tahu, itu lebih sulit.
Biarpun masih terasa kurang bernyawa—dan kurang Mas-Ali-banget, saya tetap
acungi dua jempol. Salut! Ah, seharusnya saya membaca buku ini sebelum upacara
kelulusan SMP.
Secara objektif, buku ini akan
jadi teman perjalanan yang asyik selama proses meraih impian. Saya yakin,
setiap kita mempunyai pandangan yang berbeda untuk mendefinisikan ‘mahasiswa
ideal’—yang dalam buku ini, dipotretkan sebagai paket komplit: kontributif,
prestatif, dan ber-IPK baik, dan saya rasa itu bukan masalah karena buku ini lebih
menggambarkan bahwa hidup adalah sebuah proses perjuangan yang panjang dan
melelahkan. Di setiap fase, kita akan menemukan tantangan dan hambatan baru
yang justru akan menguatkan kita, atau menemukan sosok-sosok baik yang bisa memberikan inspirasi. (ash)
0 komentar:
Post a Comment