Sepenggalah
naik, meninggi, melintasi garis-garis bumi. Pagi itu terasa dingin, tapi
perlahan dingin itu mulai menyingsing. Saat mentari mulai menghiasi ufuk timur,
kuning cemerlang. Kulit epidermisku mulai menghangat terkena pancaran sinar
kesetiaan sang mentari. Aku heran, mengapa ia seolah sangat peduli pada kami?
Tiap hari menyinari, padahal tak dapat balasan apa pun dari kami.
Pagi itu, bersamaan dengan
terbitnya mentari di ufuk timur, seorang lelaki muda bersiap sedia. Ia berkemas
merapihkan barang bawaanya satu per satu. Dari tiket di genggaman tangannya
nampak ia akan bertolak dari Stasiun Purwokerto, meluncur menuju Stasiun
Lempuyangan Yogyakarta. Ini adalah kali pertama ia ke Yogyakarta, kota pelajar.
Mukanya terlihat cerah dan
penuh dengan tatapan optimis di pagi itu. Tak seperti beberapa hari lalu,
mukanya terlihat lusuh dan bingung. Pasalnya memang ia dihinggapi pilihan yang
sulit, antara UI atau UGM. Mungkin hanya ada 1 dari 10 juta orang atau lebih, yang
beruntung diterima di Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada
sekaligus dalam waktu hampir bersamaan, dan dia salah satunya yang beruntung.
Hingga setelah shalat istikharah berkali-kali, berdiskusi panjang dengan umi dan
abahnya, menyimak ulasan di berbagai sumber, bertanya ke sekian banyak orang,
dan tentu berpikir keras, akhirnya ia memilih Gizi Kesehatan FK UGM ketimbang
Geografi FMIPA UI. Tentu berat melepas kampus impian yang sudah ada di tangan,
kampus yang sejak kelas 2 SMA telah diidam-idamkan. Tapi, inilah hidup yang
penuh dengan pilihan. Dan ia telah memilih dengan penuh keyakinan. Tahukah
siapa lelaki itu? Lelaki itu adalah aku, M. Ali Zaenal Abidin.
Salam kenal Gadjah Mada!
Salam kenal Gadjah Mada,
kampus yang tak pernah ku singgahi sebelumnya, bahkan tak pernah terbayang
sebelumnya kuliah di sini. Kampus kerakyatan yang kini telah menjadi
almamaterku. Awalnya aku sama sekali tak bergairah melakukan apa pun di kampus
biru ini, kecuali kuliah. Harapan ku telah pupus untuk berkuliah di kampus
kuning, kampus impianku. Aku takut untuk bermimpi lagi, aku takut kecewa, lagi.
Bulan berganti bulan, hingga
suatu ketika di ruang kelas yang hening. Seorang dosen ‘memaksa’ kami untuk
bemimpi. Menuliskan 100 Mimpi di selembar kertas yang dijilid rapi. Ya, disaat
itulah mau tak mau aku kembali bemimpi, memberanikan diri, mengubur segala
ketakutan dalam diri. Lebih dari itu, aku buat pula Visualisasi Mimpiku dalam
sebuah video singkat yang kemudian ku unggah di youtube.
Mimpi
dan cita adalah artikulasi tujuanku ada di bumi. Aku adalah seorang hamba yang
akan selalu setia di garis depan perjuangan.
Aktivis
Prestatif Tanpa IPK Minimalis. Adalah cara untuk
menjalankan kewajibanku sebagai seorang hamba; beribadah dan berdakwah,
sekalipun masih kuliah. Menjadi aktivis, prestatif, dan tanpa IPK minimalis
tentu menjadi dambaan semua mahasiswa, perfecto!
Aku melihat ini adalah peluang untuk mengartikulasikan kesetiaanku di garis
depan perjuangan untuk Allah SWT. Dengan menjadi aktivis, prestatif, dan tanpa
IPK minimalis disana ada peluang kabaikan yang banyak, pun peluang dakwah yang
lebih luas. Namun, tentu ini tak gampang, butuh perjuangan keras. Sekalipun tak
ringan, aku memilih bermimpi menjadi Aktivis Prestatif Tanpa IPK Minimalis!
Mimpi itu gratis, maka, bermimpilah setinggi langit.
Aku
selalu meyakini, apa yang terjadi pada kita saat ini adalah hasil akumulasi
pilihan-pilihan kita di masa lalu. Pun demikian, pilihan-pilihan kita saat ini
adalah penentu bagaimana kita di masa yang akan datang.
Mimpi itu menjadi awal mula
perjalanan panjang ku. Sejak saat itu aku mulai aktif di berbagai organisasi,
berusaha menjadi lentera kebahagiaan bagi banyak orang. Dari organisasi tingkat
program studi, fakultas, universitas, hingga nasional. Dari serangkaian proses
berorganisasi tersebut ada hal-hal yang tertanam dalam dan membekas pada
diriku.
Sejatinya, untuk bahagia tak
harus kaya, tak pula harus punya jabatan. Bahagia adalah hak semua orang. Dan
bagiku kebahagiaan itu terasa dengan berbagi dan bermanfaat bagi orang lain. Berkhidmat untuk umat, berusaha
merangkai makna dari segenap peristiwa, lalu memberi arti bagi orang lain.
Setiap peristiwa mengandung
hikmah bagi siapa saja yang ingin mengambil pelajaran. Dari setiap orang yang
kita temui, tempat yang kita kunjungi, dan buku yang kita baca. Semua adalah
bagian proses pembelajaran hidup sepanjang hayat, dari buayan hingga ke liang
lahat. Menjadi pribadi pembelajar,
merupakan obsesi yang harus subur terpatri dalam diri. Aku menyadari bahwa dengan
ilmu, amal akan bermakna. Dengan pengetahuan, kita akan mampu memberi dampak
yang lebih mengangkasa.
Hingga pada akhirnya aku
menemukan makna, bahwa kepemimpinan bukan tentang jabatan saja. Kepemimpinan
sejati adalah tentang dampak. Memimpin
dengan hati dan pikiran jernih untuk kemudian mampu mengurai kekusutan problema
peradaban. Memimpin adalah tentang rasa
rumongso, sebuah tindakan yang berasal dari hati yang hidup dan tergerak.
Hingga pada akhirnya, jerih
payah itu berbuah. Setiap detik yang selalu ku usahakan isi dengan hal positif,
setiap tetes keringat tanda lelah, juga setiap ucap tanpa kata menyerah.
Alhamdulillah, atas kuasa Allah SWT apa yang aku impikan di awal kuliah berhasil
ku capai. Menjadi aktivis; dari mulai sebagai staf, kemudian beramanah sebagai
Ketua BEM FK UGM, Menteri Advokasi Kemasyarakatan BEM KM UGM, hingga Presiden
Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM maupun Koordinator Isu Lingkungan di BEM
Seluruh Indonesia. Pun Alhamdulillah, dakwah ku dipermudah dan cenderung lebih
didengar saat aku dinobatkan sebagai Mahasiswa Berprestasi Utama FK UGM maupun
salah satu Mahasiswa Berprestasi di UGM. La
haula wala quwwata illa billah.
Tentu aku menyadari bahwa
semua itu bukan tujuan yang patut dibangga-banggakan, apalagi menjadikan diri
ini ujub. Semua itu hanya strategi
agar dakwah lebih didengar dan perjuangan meninggikan kalimat Allah lebih massive. Berdakwahlah sesuai bahasa kaumnya. Ada yang berdakwah di masjid
dan majelis-majelis ilmu yang mulia, sedangkan aku memilih berdakwah di tengah
lautan manusia pada lingkup lainya.
Sahabat perjuangan. Adalah
mereka yang membuat mimpiku kuat terjaga. Saat langkahku terhuyun-huyun hampir roboh, mereka ada di sampingku mendampingi.
Dalam tulisan ini aku sampaikan terimakasih dan senantiasa ku do’akan sahabat
perjuangan ku istiqomah dalam
beribadah pada-Nya. Sahabatku di berbagai tempat; Forsalamm se-UGM, Pondok
Pesantren Mahasiswa Baiturrahman, Gizi Kesehatan UGM, BEM FK UGM, BEM KM UGM,
Komunitas Mahasiswa Berprestasi UGM, dan tentu masih banyak lagi. Serta
terkhusus untuk Beasiswa Aktivis Nusantara, salah satu wadah pembinaanku, wadah
berjejaingku, wadah berlomba-lomba menebar kebaikan.
Beasiswa
Aktvis Nusantara adalah sekolah qolbu dan akal ku. Tempat dimana qolbu ditempa
untuk lebih peka dan peduli, tempat dimana akal dilatih untuk tangkas mencerna
dan menggagas solusi.
Perjalanan masih panjang,
ada banyak mimpi yang ingin ku capai. Termasuk mimpi besar untuk konsisten
turut serta merawat Indonesia, mewujudkan Indonesia madani. Indonesia adalah
negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, sedangkan Islam merupakan agama rahmatanlil’alamin. Sudah saatnya
Indonesia sebagai negara muslim bangkit menjadi pusat peradaban dunia. Dan aku
akan ambil bagian dalam kebangkitan itu.
Hanya
ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan dan
perbuatan itu adalah perbuatanku.-Mohammad Hatta
Di tulisan ini aku ingin
merepetisi dan menguatkan mengenai apa mimpiku. Mimpi terbesarku hidup di dunia
adalah menjadi hamba yang bertakwa pada Allah SWT. Ketakwaan itu ku harap dapat
hidup dalam tutur dan lakuku. Terejawentahkan dalam segala amal perbuatanku.
Sebagai salah satu upaya menjadi
hamba yang bertakwa pada Allah SWT, insha
Allah aku akan berusaha sekuat tenaga bermanfaat bagi umat. Memulai karya
peradaban melalui pintu istimewa di bidang makanan, insha Allah akan menjadi pembuka untuk karya-karya besar lainya.
You
are what you eat. Bicara makanan bukan hanya tentang kenyang.
Bicara makanan adalah tentang sehat, cerdas, berdaulat, dan pada akhirnya
tentang Indonesia madani. Banyak orang menganggap remeh makanan, padahal
makanan adalah aspek penting kehidupan. Tanpa makanan yang baik manusia tak
akan bisa hidup sehat, bahkan dapat pula kesulitan belajar. Mana mungkin
Indonesia ini akan madani jika rakyatnya sakit-sakitan dan tak pandai?
Rencana yang insha Allah akan saya lakukan adalah
dengan mengamalkan ilmu makanan yang telah saya pelajari saat berkuliah di
program studi gizi kesehatan UGM. Aktif di pusat kajian gizi, memiliki
pekerjaan dan usaha di bidang makanan, berperan mengedukasi dan menyadarkan
masyarakat tentang makanan sehat, serta yang tidak kalah penting adalah
mengamalkan ilmu gizi dan kesehatan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, insha Allah akan selalu merasa bodoh
sehingga belajar ke jenjang magister dan doktor bidang keamanan pangan dan menyelesaikanya sebelum
usia 35 tahun. Insha Allah langkah
ini akan selalu setia di garis depan perjuangan, berperan aktif dalam berbagai
upaya mewujudkan Indonesia dan dunia yang sehat melalui makanan.
Di
kala mentari yang mulanya ada di ufuk timur telah menyingsing ke ufuk barat,
itulah tanda waktu sudah petang. Lelaki yang awalnya bagaikan mentari di ufuk
timur, kini sudah ada di ufuk barat dunia kampus. Namun, layaknya mentari, ia
terbenam di satu sisi bumi, lalu terbit di sisi lain. Sampai jumpa di belahan
bumi lain dan saksikan saat mentari itu terbit.
(Sebuah tulisan sebagai syarat wisuda Penerima Manfaat Beasiswa Aktivis Nusantara 2017)
(Sebuah tulisan sebagai syarat wisuda Penerima Manfaat Beasiswa Aktivis Nusantara 2017)