Monday, February 27, 2017

Dari Ufuk Timur

Standard
Sepenggalah naik, meninggi, melintasi garis-garis bumi. Pagi itu terasa dingin, tapi perlahan dingin itu mulai menyingsing. Saat mentari mulai menghiasi ufuk timur, kuning cemerlang. Kulit epidermisku mulai menghangat terkena pancaran sinar kesetiaan sang mentari. Aku heran, mengapa ia seolah sangat peduli pada kami? Tiap hari menyinari, padahal tak dapat balasan apa pun dari kami.

Pagi itu, bersamaan dengan terbitnya mentari di ufuk timur, seorang lelaki muda bersiap sedia. Ia berkemas merapihkan barang bawaanya satu per satu. Dari tiket di genggaman tangannya nampak ia akan bertolak dari Stasiun Purwokerto, meluncur menuju Stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Ini adalah kali pertama ia ke Yogyakarta, kota pelajar.

Mukanya terlihat cerah dan penuh dengan tatapan optimis di pagi itu. Tak seperti beberapa hari lalu, mukanya terlihat lusuh dan bingung. Pasalnya memang ia dihinggapi pilihan yang sulit, antara UI atau UGM. Mungkin hanya ada 1 dari 10 juta orang atau lebih, yang beruntung diterima di Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada sekaligus dalam waktu hampir bersamaan, dan dia salah satunya yang beruntung. Hingga setelah shalat istikharah berkali-kali, berdiskusi panjang dengan umi dan abahnya, menyimak ulasan di berbagai sumber, bertanya ke sekian banyak orang, dan tentu berpikir keras, akhirnya ia memilih Gizi Kesehatan FK UGM ketimbang Geografi FMIPA UI. Tentu berat melepas kampus impian yang sudah ada di tangan, kampus yang sejak kelas 2 SMA telah diidam-idamkan. Tapi, inilah hidup yang penuh dengan pilihan. Dan ia telah memilih dengan penuh keyakinan. Tahukah siapa lelaki itu? Lelaki itu adalah aku, M. Ali Zaenal Abidin.

Salam kenal Gadjah Mada!

Salam kenal Gadjah Mada, kampus yang tak pernah ku singgahi sebelumnya, bahkan tak pernah terbayang sebelumnya kuliah di sini. Kampus kerakyatan yang kini telah menjadi almamaterku. Awalnya aku sama sekali tak bergairah melakukan apa pun di kampus biru ini, kecuali kuliah. Harapan ku telah pupus untuk berkuliah di kampus kuning, kampus impianku. Aku takut untuk bermimpi lagi, aku takut kecewa, lagi.

Bulan berganti bulan, hingga suatu ketika di ruang kelas yang hening. Seorang dosen ‘memaksa’ kami untuk bemimpi. Menuliskan 100 Mimpi di selembar kertas yang dijilid rapi. Ya, disaat itulah mau tak mau aku kembali bemimpi, memberanikan diri, mengubur segala ketakutan dalam diri. Lebih dari itu, aku buat pula Visualisasi Mimpiku dalam sebuah video singkat yang kemudian ku unggah di youtube.

Mimpi dan cita adalah artikulasi tujuanku ada di bumi. Aku adalah seorang hamba yang akan selalu setia di garis depan perjuangan.

Aktivis Prestatif Tanpa IPK Minimalis. Adalah cara untuk menjalankan kewajibanku sebagai seorang hamba; beribadah dan berdakwah, sekalipun masih kuliah. Menjadi aktivis, prestatif, dan tanpa IPK minimalis tentu menjadi dambaan semua mahasiswa, perfecto! Aku melihat ini adalah peluang untuk mengartikulasikan kesetiaanku di garis depan perjuangan untuk Allah SWT. Dengan menjadi aktivis, prestatif, dan tanpa IPK minimalis disana ada peluang kabaikan yang banyak, pun peluang dakwah yang lebih luas. Namun, tentu ini tak gampang, butuh perjuangan keras. Sekalipun tak ringan, aku memilih bermimpi menjadi Aktivis Prestatif Tanpa IPK Minimalis! Mimpi itu gratis, maka, bermimpilah setinggi langit.

Aku selalu meyakini, apa yang terjadi pada kita saat ini adalah hasil akumulasi pilihan-pilihan kita di masa lalu. Pun demikian, pilihan-pilihan kita saat ini adalah penentu bagaimana kita di masa yang akan datang.

Mimpi itu menjadi awal mula perjalanan panjang ku. Sejak saat itu aku mulai aktif di berbagai organisasi, berusaha menjadi lentera kebahagiaan bagi banyak orang. Dari organisasi tingkat program studi, fakultas, universitas, hingga nasional. Dari serangkaian proses berorganisasi tersebut ada hal-hal yang tertanam dalam dan membekas pada diriku.
Sejatinya, untuk bahagia tak harus kaya, tak pula harus punya jabatan. Bahagia adalah hak semua orang. Dan bagiku kebahagiaan itu terasa dengan berbagi dan bermanfaat bagi orang lain. Berkhidmat untuk umat, berusaha merangkai makna dari segenap peristiwa, lalu memberi arti bagi orang lain.

Setiap peristiwa mengandung hikmah bagi siapa saja yang ingin mengambil pelajaran. Dari setiap orang yang kita temui, tempat yang kita kunjungi, dan buku yang kita baca. Semua adalah bagian proses pembelajaran hidup sepanjang hayat, dari buayan hingga ke liang lahat. Menjadi pribadi pembelajar, merupakan obsesi yang harus subur terpatri dalam diri. Aku menyadari bahwa dengan ilmu, amal akan bermakna. Dengan pengetahuan, kita akan mampu memberi dampak yang lebih mengangkasa.

Hingga pada akhirnya aku menemukan makna, bahwa kepemimpinan bukan tentang jabatan saja. Kepemimpinan sejati adalah tentang dampak. Memimpin dengan hati dan pikiran jernih untuk kemudian mampu mengurai kekusutan problema peradaban. Memimpin adalah tentang rasa rumongso, sebuah tindakan yang berasal dari hati yang hidup dan tergerak.

Hingga pada akhirnya, jerih payah itu berbuah. Setiap detik yang selalu ku usahakan isi dengan hal positif, setiap tetes keringat tanda lelah, juga setiap ucap tanpa kata menyerah. Alhamdulillah, atas kuasa Allah SWT apa yang aku impikan di awal kuliah berhasil ku capai. Menjadi aktivis; dari mulai sebagai staf, kemudian beramanah sebagai Ketua BEM FK UGM, Menteri Advokasi Kemasyarakatan BEM KM UGM, hingga Presiden Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM maupun Koordinator Isu Lingkungan di BEM Seluruh Indonesia. Pun Alhamdulillah, dakwah ku dipermudah dan cenderung lebih didengar saat aku dinobatkan sebagai Mahasiswa Berprestasi Utama FK UGM maupun salah satu Mahasiswa Berprestasi di UGM. La haula wala quwwata illa billah.

Tentu aku menyadari bahwa semua itu bukan tujuan yang patut dibangga-banggakan, apalagi menjadikan diri ini ujub. Semua itu hanya strategi agar dakwah lebih didengar dan perjuangan meninggikan kalimat Allah lebih massive. Berdakwahlah sesuai bahasa kaumnya. Ada yang berdakwah di masjid dan majelis-majelis ilmu yang mulia, sedangkan aku memilih berdakwah di tengah lautan manusia pada lingkup lainya.

Sahabat perjuangan. Adalah mereka yang membuat mimpiku kuat terjaga. Saat langkahku terhuyun-huyun hampir roboh, mereka ada di sampingku mendampingi. Dalam tulisan ini aku sampaikan terimakasih dan senantiasa ku do’akan sahabat perjuangan ku istiqomah dalam beribadah pada-Nya. Sahabatku di berbagai tempat; Forsalamm se-UGM, Pondok Pesantren Mahasiswa Baiturrahman, Gizi Kesehatan UGM, BEM FK UGM, BEM KM UGM, Komunitas Mahasiswa Berprestasi UGM, dan tentu masih banyak lagi. Serta terkhusus untuk Beasiswa Aktivis Nusantara, salah satu wadah pembinaanku, wadah berjejaingku, wadah berlomba-lomba menebar kebaikan.

Beasiswa Aktvis Nusantara adalah sekolah qolbu dan akal ku. Tempat dimana qolbu ditempa untuk lebih peka dan peduli, tempat dimana akal dilatih untuk tangkas mencerna dan menggagas solusi.

Perjalanan masih panjang, ada banyak mimpi yang ingin ku capai. Termasuk mimpi besar untuk konsisten turut serta merawat Indonesia, mewujudkan Indonesia madani. Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, sedangkan Islam merupakan agama rahmatanlil’alamin. Sudah saatnya Indonesia sebagai negara muslim bangkit menjadi pusat peradaban dunia. Dan aku akan ambil bagian dalam kebangkitan itu.

Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku.-Mohammad Hatta

Di tulisan ini aku ingin merepetisi dan menguatkan mengenai apa mimpiku. Mimpi terbesarku hidup di dunia adalah menjadi hamba yang bertakwa pada Allah SWT. Ketakwaan itu ku harap dapat hidup dalam tutur dan lakuku. Terejawentahkan dalam segala amal perbuatanku.

Sebagai salah satu upaya menjadi hamba yang bertakwa pada Allah SWT, insha Allah aku akan berusaha sekuat tenaga bermanfaat bagi umat. Memulai karya peradaban melalui pintu istimewa di bidang makanan, insha Allah akan menjadi pembuka untuk karya-karya besar lainya.

You are what you eat. Bicara makanan bukan hanya tentang kenyang. Bicara makanan adalah tentang sehat, cerdas, berdaulat, dan pada akhirnya tentang Indonesia madani. Banyak orang menganggap remeh makanan, padahal makanan adalah aspek penting kehidupan. Tanpa makanan yang baik manusia tak akan bisa hidup sehat, bahkan dapat pula kesulitan belajar. Mana mungkin Indonesia ini akan madani jika rakyatnya sakit-sakitan dan tak pandai?

Rencana yang insha Allah akan saya lakukan adalah dengan mengamalkan ilmu makanan yang telah saya pelajari saat berkuliah di program studi gizi kesehatan UGM. Aktif di pusat kajian gizi, memiliki pekerjaan dan usaha di bidang makanan, berperan mengedukasi dan menyadarkan masyarakat tentang makanan sehat, serta yang tidak kalah penting adalah mengamalkan ilmu gizi dan kesehatan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, insha Allah akan selalu merasa bodoh sehingga belajar ke jenjang magister dan doktor bidang  keamanan pangan dan menyelesaikanya sebelum usia 35 tahun. Insha Allah langkah ini akan selalu setia di garis depan perjuangan, berperan aktif dalam berbagai upaya mewujudkan Indonesia dan dunia yang sehat melalui makanan.

Di kala mentari yang mulanya ada di ufuk timur telah menyingsing ke ufuk barat, itulah tanda waktu sudah petang. Lelaki yang awalnya bagaikan mentari di ufuk timur, kini sudah ada di ufuk barat dunia kampus. Namun, layaknya mentari, ia terbenam di satu sisi bumi, lalu terbit di sisi lain. Sampai jumpa di belahan bumi lain dan saksikan saat mentari itu terbit.

(Sebuah tulisan sebagai syarat wisuda Penerima Manfaat Beasiswa Aktivis Nusantara 2017)

Monday, February 20, 2017

Memaknai Kesuksesan

Standard
Ketika sukses telah ansich berarti kekayaan, jabatan, serta segala macam keglamoran dunia. Ketika banyak orang telah menggadaikan idealismenya untuk itu semua. Ketika yang tersisa hanya hegemoni ditengah sengsara. Lalu, masih kah saja kau tuli dan buta?

Tak semua orang sedangkal itu memaknai sukses, tapi, tak juga sedikit yang terperangkap. Kesalahan memaknai sukses telah membuat dunia rusak, menuju hancurnya. Kegagalan memaknai sukses telah banyak membuat menusia berjiwa srigala yang tega memangsa manusia-manusia lain laksana domba. Kebodohan memaknai sukses pula lah yang telah membuat sebagian orang sesat dan tersungkur dalam kubangan lumpur.

Lalu, apa makna sukses sebenarnya?

Bagiku sukses adalah tentang ridha Allah. Bagimana rangkaian detik ke menit, menit ke jam, jam ke hari, hingga tahun berganti tahun semua adalah amalan mulia untuk menggapai ridha-Nya. Tugas kita adalah secara telaten dan sabar memastikan bahwa setiap satuan waktu dalam hidup kita merupakan ibadah. Hingga pada akhirnya kita hanya akan tahu kesuksesan hakiki di hari akhir kelak.

Jadi, kini menjadi jelas. Setiap langkah adalah ibadah yang diliputi ketekunan. Belajarmu, dakwahmu, tulisanmu, ucapanmu, dan segala tindak tandukmu adalah rangkaian kesuksesan hakiki.

Sunday, February 19, 2017

Dunia itu fana, sedangkan akhirat kekal selamanya.

Standard
Layaknya lirik lagu karya Nicky Astria bahwa dunia ini panggung sandiwara. Setiap orang mengambil perannya masing-masing. Ada yang memilih menjadi orang baik, ada pula yang memilih sebaliknya. Tentu ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Layaknya panggung sandiwara yang bakal berakhir, dunia inipun sama, ada ujungnya. Lalu, setelah itu kita masuk ke dalam kehidupan yang sebenar-benarnya. 

"Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah ibarat hiburan dan permainan, dan sesungguhnya negeri akhirat itu ialah kehidupan yang sebenar-benarnya, sekiranya mereka mengetahui". (Al-Ankabut: 64)

Setiap orang bebas memilih akan berbuat seperti apa di dunia ini. Yang perlu diingat, semua akan mati dan segala yang diperbuat akan dipertanggungjawabkan.Itulah mengapa tak ada paksaan dalam berislam, karena pada akhirnya semua implikasi menjadi tanggungjawab masing-masing. Yang beramal soleh akan mendapat balasan kebaikan berkali lipat, demikian pula sebaliknya, yang berbuat durhaka pada Allah akan dibalas dengan siksa neraka yang menyala-nyala.

"Jibril mendatangiku lalu berkata: Wahai Muhammad! Hiduplah sesukamu, karena sesungguhnya kamu akan mati, cintailah siapa yang kamu suka, karena sesungguhnya engkau akan berpisah denganya dan berbuatlah sesukamu, karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan karenanya...". (H.R. Ath-Thabarani)

"Panas api yang kamu nyalakan di dunia ini (termasuk matahari) hanyalah sepertujuh puluh dari panasnya api neraka di akhirat. Kalau sebagian kecil (api neraka) jatuh ke dunia, niscaya mendidihlah air laut karena panasnya". (H.R Muslim)  "

Hidup di zaman ini memang sulit, sebagaimana hadits rasululloh saw.

"Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api." (H.R Tirmidzi no. 2260)

Nyata adanya bahwa ketika kita berpegang teguh pada tali agama Allah, itu bukan perkara yang mudah. Kondisi lingkungan berikut berbagai godaan, nyinyiran yang kerap pula disertai cacian, hingga faktor internal diri yang kerap menjadi ujian. Semua itu adalah proses yang mesti dilalui seorang muslim dengan sabar.

"Kamu sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang ddemikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan". (Ali Imran: 186)

Terakhir, menjadi sangat jelas bahwa hidup ini adalah pilihan. Jalan mana yang kita pilih, maka jalan itu yang akan mengantar kita ke surga atau neraka. Wallohua'lam

Ilmu yang Bermanfaat

Standard
"Barang siapa yang seharusnya mempelajari ilmu karena Allah, namun dia mempelajari hanya untuk memperoleh harta duniawi, maka dia tidak akan mendapati aroma surga" (H.R. Abu Daud)

Bagaimana perasaan Anda membaca hadits tersebut? Kalo saya, jujur saya tertohok. Bagaimana kita mendapati kenyataan saat ini bahwa banyak orang (bisa jadi termasuk kita), belajar ilmu hanya untuk mendapat perkerjaan, niat sudah jauh dari kata lurus lillahita'ala. Sedih melihat kondisi macam ini menjadi relitas yang subur di tengah masyarakat. Uang menempuh pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) yang mahal membuat kerap kali orientasi pendidikan bukan untuk mencerdaskan, tapi untuk mencetak tenaga siap kerja, bukan begitu?

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Selain tentu mesti meluruskan niat.

Terus terang kerap kali saya pun khawatir jikalau ilmu saya tak berkah karena salah niat atau proses. 

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, "Orang yang berilmu dan ahli berfatwa, tidak ada sesuatu yang lebih dibutuhkan melainkan sikap santun, tenang, dan sopan. Itulah kelambu bagi ilmunya dan perhiasannya. Apabila ia kehilangan sikap itu, maka ilmunya seperti badan yang telanjang tanpa busana".

Hal pertama yang bisa kita lakukan adalah memperbaiki akhlak kita. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tersebut di atas bahwa akhlak adalah busana ilmu. Agar ilmu menjadi baik dan indah maka perlu menggunakan busana yang baik pula bernama akhlak.

Nabi bersabda, "Sesungguhnya di antara amal kebaikan seorang mukmin yang dapat menyusul setelah kematiannya adalah ilmu bermanfaat yang diajarkan dan disebarluaskan, anak shaleh yang ditinggalkan, mushaf yang diwariskan, masjid yang dibangun, rumah untuk ibnu sabil yang dibangun, sungai yang dialirkan, sedekah yang dikeluarkan sewaktu sehatnya dan hidupnya. Semua itu akan menyusul setelah kematianya". (H.R. Ibnu Majah) 

Yang kedua, ilmu yang bermanfaat. Sehingga mengartikulasikan ilmu dalam amal adalah hal yang sangat penting. Ilmu tak boleh hanya bertengger di kepala atau bahkan menjadikan kita pongah karena merasa paling tahu. Ilmu mesti bermanfaat untuk orang lain tanpa pamrih, semata berharap Allah ridha dengan segala yang kita lakukan. Dengan begitu insha Allah llmu akan berkah (bertambah kebaikan). Ilmu yang dibagikan tidak akan membuat kita bodoh dan mengurangi ilmu yang kita punya, tapi akan membuat kita makin belajar, mejadikan kita lebih tahu.

Tentu, berawal dari keresahan dan kekhawatiran tentang drajat keberkahan ilmu yang saya peroleh selama berkuliah di Gizi Kesehatan UGM membuat saya ingin menebarkan manfaat lewat ilmu saya. Ya, walaupun saya sadar ilmu saya masihs sangat sedikit, tapi saya berharap dapat bermanfaat.

Saya memulai dengan menjadi narasumber di Dinas Perindutrian dan Perdagangan Kabupaten Sleman. Disini saya berbicara dari pasar ke pasar dihadapan para pedagang. Sejauh ini sudah ada dua pasar yang saya datangi, insha Allah segera menyusul pasar lain. Saya sangat berharap dengan aktifitas ini ilmu yang saya peroleh selama kuliah merupakan ilmu yang berkah.

Pasar Potrojayan

Pasar Tegalsari


Ketika hati kalut, jangan terus larut

Standard
"Ketahuilah, sesungguhnya ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal diri itu buruk, maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia." (H.R. Bukhari dan Muslim)

Lalu, pertanyaan yang muncul buat kita, bagaimana kah kondisi hati kita saat ini?

Jawabnya tak perlu njlimet, cukup lihat bagaimana aktifitas kita, apa yang kita pikirkan, dan tentu apa yang kita rasakan. Saat hati bermasalah biasanya aktifitas berantakan, pikiran semrawut, hingga persaan tak karuan. Begitukah kita saat ini?

Jika begitu, apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, banyak mengingat Allah. Karena Allah telah menegaskan bahwa dengan senantiasa mengingat Allah maka hati akan tenang. "...Ingatlah bahwa hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang." (13:28)

Kedua, melakukan kegiatan positif atau kebaikan. Jangan biarkan kita larut dan kalut dalam jadwal kegiatan yang berantakan akibat hati kita yang sedang tak sehat. Isi dengan hal positif seperti olahraga, membaca, tilawah, dan lain sebagainya. "Dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik". (Al-Baqarah: 195)

Ketiga, berdo'a pada Allah dan membaca ayat-ayat Allah. Barangkali do'a berikut ini juga dapat digunakan.
Pada intinya hati manusia memang sangat dinamis sebagaimana dinamisnya iman yang kadang naik kadang turun (al-imanu yasidu wa yanqush). Yang perlu kita lakukan ketika iman sedang turun adalah segera bangkit dan tak larut. Begitu pula saat hidup ini terasa semrawut, jangan biarkan drama-drama korea makin membuat kita kalut. Setidaknya tiga poin di atas dapat menjadi saran what should we do saat hati sedang kalut.







Tuesday, February 14, 2017

Bahtera Sederhana

Standard
Hidup di keluarga sederhana bukan berarti minim kebahagiaan. Setiap saat justru hidup kami selalu dipenuhi dengan nikmat dan syukur pada Allah Yang Maha Kuasa. Walaupun tak ada hingar bingar pesta, rumah yang megah, atau kendaraan roda empat yang berjajar-jajar; kami tetep dapat merasakan apa yang disebut sebagai kebahagiaan.

Umi dan Bapak adalah pekerja keras yang ulet dalam memimpin bahtera keluarga besar kami. Membesarkan putra putrinya melalui dua generasi orde baru hingga reformasi, melalui masa-masa krisis ekonomi dengan baik, hingga perlahan berusaha mengubah pola lama yang minim media menjadi lebih ramah media.

Dinamika di keluarga kami tak bisa dibilang datar. Cobaan internal dan eksternal silih berganti datang menguji kokohnya bahtera kami. Syukur dan sabar menjadi racikan mujarab untuk menghadapi berbagai ujian yang silih berganti tersebut. Alhamdulillah hingga detik ini kami harus selalu bersyukur atas kebersamaan ini dan semoga kebersamaan ini berlanjut hingga ke jannah-Nya.

Saturday, February 11, 2017

Prioritas Kebaikan

Standard
Menjadi tugas kita untuk memastikan bahwa setiap detik dalam hidup kita merupakan ibadah, kebaikan yang diniatkan untuk Allah ta'ala. Lalu yang jadi pertayaan, bukan kah terlalu banyak pilihan kebaikan yang bisa dilakukan?

Iya betul, kita mesti bersyukur bahwa yang disebut ibadah bukan sekadar amalan transendental seperti shalat (ibadah mahdah). Tapi juga ada ibadah ghairu mahdah yang berasas kemanfaatan dan rasionalitas. Maka, bisa jadi ketika kita bekerja, belajar, bahkan tidur akan bernilai ibadah jika diniatkan lillahita'ala.

Dengan banyaknya opsi kebaikan, menjadi penting untk punya prioritas. Sehingga ketika ada berbagai peluang kebaikan hadir kita bisa dengan bijak memilih. Kita bisa menimbang mana yang lebih priotitas dan mana yang kurang prioritas.

Sunday, February 5, 2017

Tentang Skripsiku

Standard
Menulis skripsi memang tak seperti membuat jurnal ilmiah internasional yang mesti njlimet dengan bebagai metode dan embel-embel-nya. Hanya perlu ketekunan yang sungguh, itu saja cukup. Tapi, mungkin ada yang bertanya, "kenapa mas Ali belum kelar juga skripsinya?"

Februari ini memasuki bulan ke 20 aku mengerjakan skripsi, sejak sekitar Juli 2015 aku mulai berkutat dengan skripsi, sehingga praktis semester ini adalah yang ke-4 kalinya aku mengambil mata kuliah skripsi sejumlah 6 SKS itu. Ada banyak hal yang membuat sedemikian lamanya. Selain karena kesibukan organisasi yang sebenarnya tak bisa digunakan sebagai pembenaran alasan lamanya pengerjaan skripsi, aku berkeinginan apa yang aku kerjakan di skripsi ini bisa linear dengan bidang yang akan aku tekuni pasca kampus.

Awalnya skripsiku bertema relasi perokok pasif dengan status gizi, namun entah mengapa aku kurang srek di tengah jalan. Padahal waktu itu sudah hampir seminar proposal. Aku masih saja kekeuh mencari tema skripsi lain yang linear dengan bidang yang akan aku seriusi kelak.

Masalahnya saat itu aku juga masih bingung, kelak bidang mana yang akan aku dalami? Gizi dan kesehatan memiliki ruang lingkup yang sangat luas; dari mulai klinis, masyarakat, institusi, hingga olahraga, belum lagi kalo mau belajar kebijakan kesehatan. Disuguhi dengan berbagai alternatif membuat aku sempat bingung dan berpikir cukup lama. Aku meyakini dan menyadari bahwa keahlian spesifik sangat diperlukan sehingga saya pun harus punya keahlian spesifik itu.

Hingga pada akhirnya aku memutuskan. Berinteraksi dengan pedagang kaki lima, membersamai, dan merasakan bagimana problema di tengah masyarakat tentang pedagang makanan dan pedagang kaki lima khususnya, membuat aku tertarik menyelami dunia mereka menurut perspektif keilmuanku. Ya, aku sudah memilih, dan pilihan itu jatuh pada bidang keamanan pangan atau "food safety". Sejauh ini belum ada juga seniorku di Gizi Kesehatan UGM yang mendalami bidang ini secara serius. Praktis, akhirnya aku pun menemukan tema skripsiku yaitu keamanan pangan. Lebih tepatnya berjudul "Studi Keamanan Pangan Food Court Gelanggang Mahasiswa UGM". Sebuah skripsi yang membuat aku belajar dan berdiskusi lebih banyak. Penelitian secara individu ini membutuhkan banyak inistiatif. Walaupun sebenarnya beberapa kali aku ditawari bergabung masuk proyek penelitian dosen, dengan mengucap bismillah aku menolak dan tetap bertahan untuk meneruskan ini, sebuah tema yang diambil berdasarkan pernungan yang panjang.

Dan alhamdulillah saat ini aku sudah ambil data dan sedang dalam pengerjaan bab hasil dan pembahasan. Mohon do'anya kawan, semoga lancar dan bermanfaat :)

Disini barang kali ada sedikit pelajaran yang bisa aku ambil, bahwa sebaiknya kita punya keseriusan dalam bidang tertentu sejak awal, menyelaminya dengan penuh kesungguhan, dan bahkan menjadikanya seperti hobi. Karena pekerjaan yang paling menyenangkan adalah hobi yang dibayar, bukan begitu?

Serta kabar baiknya, alhamdulillah dengan punya fokus bidang yang ingin didalami aku lebih memahami bagaimana harus melangkah dan berkontribusi. Dari mulai survei keamanan pangan, membina pedagang kantin, juri kantin sehat, menjadi pembimbing pedagang di Kab. Sleman, dan insha Allah ada jejak kontribusi lain kedepan di bidang keamanan pangan.

Mengenang

Standard
Apa yang telah lalu adalah sejarah yang patut dikenang. Disana kita dapat melihat gambaran besar tentang perjalanan hidup hingga kita sampai di titik ini. Apa yang membuat kita baik kini adalah kontribusi dari masa lalu, pun demikian dengan apa keburukan yang terjadi saat ini juga turut berperan apa yang disebut 'masa lalu'.

Kita mengenang bukan untuk meratapi apa yang menyedihkan, bukan pula untuk menyombongkan keberhasilan. Mengenang menjadi perlu untuk menangkap pola dan gambaran besar hidup yang kadang lupa kita syukuri. Yang barang kali ada sebagian dari kita selalu dibayangi dengan rasa takut, lebih jauh mengarah pada ke-putus-asa-an.

Lalu, hari ini aku ingin menuliskan dengan penuh syukur bahwa aku bisa mengenang masa lalu seorang bocah yang penuh gairah perbaikan, kesungguhan, ketekunan melangkah naik setapak demi setapak, serta belajar konsisten dalam berproses. Sehingga, kedepan tentu aku harus lebih menikmati proses, karena memang tak ada yang betul-betul instan.