Saturday, August 25, 2018

Tentang Perasaan

Standard
Tiada hal yang lebih rumit ketimbang perasaan. Bagaimana bisa?

Perasaan sama sekali tak logis, sering tak masuk akal sehat.

Ada, yang karena perasaan rela menyerahkan segala-gala.

Ada, yang karena perasaan menjadi tega setega-teganya.

Ada, yang karena perasaan hancur sehancur-hancurnya.

Perasaan tak bisa dipaksakan, sukar dikendalikan.

Cinta, benci, sedih, bahagia; semua adalah misteri

Mereka yang terlukai misalnya. Bisa saja karena tak disengaja. Lalu, memaafkan. Meski begitu belum tentu hati yang telah tersakiti menjadi pulih. Ia seperti kepingan kaca pecah yang disusun kembali, menyatu tapi berbekas.

Itulah perasaan. 


Watak Batu dan Keinsafan

Standard
Tentang dua batu

Sama-sama keras, sama-sama tersusun atas elemen tanah, ukurannya pun juga sama.

Jika saling berbenturan, terus-menerus, kira-kira apa yang akan terjadi?

Hancur! Sangat mungkin.

Begitupun pada manusia-manusia berwatak batu. Jika terus dan terus berbenturan, di suatu titik bisa jadi akan hancur.

Hancur hubungan persaudaraan, pertemanan, persahabatan, kekeluargaan, apapun.

Tapi, tak ada yang perlu disalahkan atas manusia berwatak batu. Mereka tak perlu juga mengutuki diri, merasa paling berdosa. Juga tak layak menghakimi Tuhan tak adil atas watak yang dikaruniakan.

Sebagaimana air, api, dan udara, watak batu adalah jenis yang khas. Mewakili elemen yang nampak pada perwatakan sebagian manusia.

Lalu bagaimana?

Tak mudah menghilangkan, atau sekadar mengurangi watak batu.  Hanya saja, watak batu selalu perlu diiringi dengan keinsafan. 

Insaf atas watak batu yang ada pada diriya. Insaf bahwa apa yang ia lakukan tak selalu benar. Insaf bahwa hubungan baik antar manusia jauh lebih penting ketimbang memper-Tuhan wataknya.

Selama watak batu dibersamai dengan keinsafan, semoga semua akan baik-baik saja.

Meski, seperti yang telah dibahas pada tulisan sebelumnya, setiap dari kita butuh waktu untuk berdamai dengan diri sendiri. Yang boleh jadi memakan waktu tak sebentar.

Teruslah menginsafi realitas, yakinlah menjadi batu tak selalu berarti kutukan.


Monday, August 20, 2018

Berdamai dengan Diri

Standard
Di suatu ketika, pernahkah Anda merasa realitas dan idealitas begitu kontras? Anda berpikir sesuatu setinggi langit, namun kenyataan berkata lain, faktanya sesuatu hanya setinggi gundukan bukit yang masih di bumi, belum melangit.

Setiap orang punya ekspektasi, harapan, dan bayangan-bayangan. Harapan secara idealis bahwa mestinya kehidupan yang dijalani seperti ini, sekolah yang ditempuh seperti itu, serta karir, rumah tangga, dan bahkan dalam semua aspek kehidupan.

Tapi, faktanya tidak semua berjalan seiring kehendak. Bahkan mungkin lebih sering realitas bertolakbelakang dari idealitas di alam pikiran. Lalu, bagaimana?

Tentu, sebenarnya kita mengerti, Tuhan tahu yang terbaik untuk kita. Dia memberi yang kita butuhkan, bukan yang kita mau. Walau demikian, mengerti akan hal itu bukan berarti seseorang bisa begitu saja menerima realitas yang hadir diluar nalar dan kendali. Penolakan demi penolakan, heran, bertanya-tanya, dan bahkan seolah tak menerima kenyataan yang telah ditetapkan Tuhan.

Ya, itulah bagian episode hidup yang barangkali semua orang pernah mengalami, realitas yang kontras. Semua orang tentu pernah merasakan harapannya tak sesuai dengan fakta lapangan. Sehebat apapun, seteliti apapun, secerdas apapun; ada faktor X yang sama sekali tak bisa dikendalikan.

Dalam menghadapi realitas yang demikian, kemampuan untuk berdamai dengan diri sendiri adalah kunci. Bagaimana kita berusaha menenangkan diri, menerima kenyataan, lalu segera bergegas untuk langkah selanjutnya. Tidak mudah dan tentu butuh waktu memang; ada yang butuh dalam hitungan hari, ada yang butuh dalam satuan bulan, bahkan ada yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk sekadar berdamai dengan diri. Menerima realitas, menghadapi dengan gagah dan berlapang dada. 

Inilah hidup, selalu dipenuhi realitas yang kontras terhadap idealitas. Kita tak bisa lari, sering tak bisa mengontrol, namun kita dapat berdamai dengan diri. Ini kenyataan yang harus dihadapi, melangkahlah terus menuju visi.


Friday, August 17, 2018

Buku Kedua #MHLY

Standard


Alhamdulillah, buku kedua karya ku telah terbit dan mulai open pre-order awal Agustus 2018. Bertema-kan mengenai rizeki yang datang dari arah tak diduga, yaitu dapat menunaikan ibadah haji di usia yang belum genap 23.

Buku ini sebenarnya mulai ditulis sejak akhir tahun lalu, karena berbagai hal sempat terbengkalai. Tapi syukurlah dapat terselesaikan dengan baik. Bahkan salah seorang teman bilang away better dalam hal teknik penulisan ketimbang buku pertama.

Ada sih beberapa kendala, terutama dalam mencari penerbitan yang bagus dan cepat. Hingga akhirnya mesti layouting ulang juga karena layout dari peerbitan sangat standar. Dalam penerbitan buku ini aku belajar bahwa judul buku bisa jadi jauh lebih penting ketimbang isinya dalam segi marketing. Cukup jadi evaluasi sih  judul buku yang aku gunakan belum terlalu cetar mampu menarik antusias publik. Jadi, saran buat temen-temen dan aku pribadi kedepannya, pilihlah judul buku yang menarik perhatian, bikin penasaran, bahkan kontroversial juga tak jadi masalah.

Sebelum aku kasih bocoran lebih lanjut, buat yang ingin beli buku bisa kontak aku ya via IG @m.alizaenal. Nah, selanjutnya biar lebih penasaran, ini nih sekilas tentang MHLY.

“Aku terpana, melihat batu hitam yang mulia itu. Bangunan agung yang sebelumnya hanya bisa ku lihat di sajadah, foto, atau hiasan dinding. Sekarang nyata ada di hadapanku. Bangunan agung yang familiar bagiku tapi masih terasa setengah tak percaya ada di hadapannya.”-MHLY

Matematika Allah ta’ala berbeda dengan makhluknya. Mimpi yang tak logis dapat menjadi nyata atas kehendaknya. Sebagaimana mimpi seoang pemuda yang usianya belum genap 23 tahun itu. Mimpinya untuk dapat menatap batu hitam yang mulia, mengunjungi rumah Allah, menunaikan ibadah haji dan umrah akhirnya terwujud secara dramatis.

Menunaikan ibadah haji dan umrah secara gratis di usia yang belum genap 23 tahun, tentu menjadi dambaan setiap muslim. Buku ini adalah sebuah memoar motivasi yang bertema Islami. Diangkat dari kisah hidup penulis dengan maksud mensyiarkan salah satu rukun Islam, yaitu haji; dan berharap semoga dapat menjadi amal shalih yang menghantar ke jannah-Nya.

Min Haitsu La Yahtasib, yang tak disangka datangnya #MHLY