Thursday, August 6, 2015

Berkah Ilmu dari Guru

Standard
Pernahkah kita lihat, ada pelajar yang terlihat biasa-biasa saja dalam belajar tapi selalu berhasil mendapat nilai fantastis?. Atau pelajar yang sudah mati-matian belajar tapi tetap saja nilainya jelek?. Mungkin juga kita pernah melihat pelajar yang sibuk kesana kemari dengan begitu padat aktivitasnya tapi tetap jadi juara kelas. Dan setelah lulus mungkin kita juga pernah tahu ada alumni dengan IPK 'premium' jauh lebih mudah mendapat pekerjaan yang layak dibanding yang ber IPK 'cumlaude'.

Kadang kita bingung kenapa bisa demikian?. Hingga kita pun sempat disajikan data-data yang menjelaskan bahwa IPK bukan satu-satunya penentu diterimanya seseorang dalam kerja. Cukup rasional. Tapi tetap saja ada perkara yang ganjil dan belum bisa terjawab mengenai fenomena pelajar diatas. Bagaimana mungkin itu terjadi?.

Waktu demi waktu berjalan dan tentunya banyak hal berubah di dalam sistem pendidikan kita. Dulu banyak guru dikenal 'angker', sekarang sebaliknya, hampir tak ada. Dulu dengan mudah guru memarahi atau bahkan menggunakan kekerasan pada muridnya, sekarang sebaliknya, bisa-bisa guru masuk bui jika berbuat demikian. Perbaikan cara guru mengajar di Indonesia memang harus diakui. Ketika guru memperbaiki etika mengajarnya pada murid, apakah demikian pula cara murid memperlakukan guru?. 

Faktanya kini kita menemukan begitu banyak murid mencaci, menghina, dan mengolok-olok gurunya tanpa sungkan. Jika guru keliru si murid tak selalu berusaha menjalin komunikasi baik pada gurunya, namun malah menghujat dibelakang. Ini bukan rahasia lagi, semua sudah tahu. Bahkan ada julukan-julukan aneh yang diberikan murid pada gurunya. Misalkan guru yang cerewet diberi julukan 'si comel'. Demikian juga guru lain yang pastinya punya kekurangan. Terutama guru yang agak pelit nilai pasti akan jadi sasaran empuk gosipan para siswa.

Sebenarnya jika kita renungi secara mendalam, nampaknya ada etika murid yang menurun. Dulu yang saya tahu dari para orang tua, guru menjadi orang yang sangat disegani. Boro-boro dicaci, guru selalu jadi sosok yang dihargai. Seolah banyak yang lupa bahwa dalam belajar kita mengharapkan keberkahan dari ilmu. Dan syarat keberkahan itu salah satunya adalah dengan memenuhi adab menuntut ilmu, khususnya adab kepada guru.

There is invisible hand

Dalam buku 'Taziyatun Nafs' karya Sa'id Hawwa salah satu adab yang harus dikedepankan oleh pencari ilmu adalah larangan sombong kepada orang yang berilmu dan durhaka pada guru. Guru diposisikan sebagai orang yang berilmu dan sosok yang patut dihargai. Sikap tak beradab pada guru baik dalam bentuk mencaci, menggunjing berlebihan, dan lainya dikhawatirkan merupakan buah dari kesombongan dalam hati. Jika hati seseorang sombong maka susah ilmu masuk padanya. Sebagaimana teko yang akan dituangkan isinya ke gelas, jika posisi gelas lebih tinggi daripada teko maka air tak akan masuk ke gelas. Demikian pula ilmu, jika seseorang memposisikan dirinya lebih mulia (sombong) daripada gurunya maka ilmu akan susah masuk. Kira-kira demikian.

Maka bagi seorang pelajar menjadi sangat penting untuk mempelajari dan berusaha menerapkan adab menuntut ilmu, terutama bagaimana memuliakan guru sebagai orang yang mengajari kita ilmu. Jika adab menuntut ilmu diterapkan dengan baik in shaa Allah akan ada kemudahan dalam belajar, We must be remember about the invisible hand. Allah yang berkehendak memuliakan siapapun dengan ilmu. Dengan demikian keberkahan pun in shaa Allah lebih dekat. Bukankah keberkahan itu yang kita inginkan?. Karena keberkahan lah yang menjadikan hidup tentram dan bahagia. Inilah saatnya kita kembali menengok bagaimana diri kita dan bersiap memperbaikinya.

Tuesday, August 4, 2015

Mulailah Berbagi

Standard
Jika kau punya emas setumpukan gunung merbabu, sudikah kau bagikan separuhnya?.
Jika kau punya uang sepenuh ruang tamumu, sudikah kau bagikan sepertiganya?.
Jika kau yang punya seluruh padi-padian disegenap penjuru negeri, sudikah kau bagikan seperempatnya?.
Manusia memang kikir. Bertambanhnya harta tak selalu setara dengan bertambahnya aksi berbagi. Bertambahnya nikmat duniawi tak selalu menjadi pikir untuk siapa lagi nikmat ini perlu dibagi. Sampai kapankah itu terjadi?.

Barangkali sampai ujian kemiskinan atau kesengsaraan datang melanda. Disana manusia baru sadar betapa nikmatnya, betapa indahnya, dan betapa luar biasanya yang ia miliki, Hingga sesal yang tersisa, kenapa belum sempat berbagi?.

Maka, sebaik-baik hak milik adalah yang dibagikan. Sekecil apapun, seminim apapun, sesederhana apapun. Demikianlah aagar hak milik menjadi berkah dengan berbagi.

Jika kita merasa tak punya harta, bisalah kita bagikan ilmu yang utama. Jika tak punya keduanya, bagikan tenaga juga bisa. Atau ketika kita merasa tak punya apapun untuk dibagi, maka tersenyumlah karena dengan senyum kita telah berbagi bahagia.

Mari bersama berbagai, sekecil apapun, mulailah!

Saling Berlomba

Standard
Ketika kita ingin lebih baik daripada yang lain, apakah wajar?.
Ketika kita ingin lebih mulia daripada yang lain, apakah wajar?.
Dan ketika kita ingin menjadi pemenang diantara yang kalah, apakah wajar?.

Menjadi wajar karena sejatinya manusia hidup dengan naluri kompetisi. Mereka ditakdirkan untuk berlomba menunjukan mana yang lebih baik. Manusia selalu dan secara berlanjut mempertahankan eksistensi mereka dengan berlomba.

Hingga pada suatu waktu semua sadar bahwa menang dan kalah adalah kewajaran. Kadang kita kalah, kadang juga menang. Kadang kita bahagia karena menang, kadang kita menangis karena kalah. Keduanya silih berganti dipergilirkan.

Dalam lingkup terkecilpun kita berlomba. Sebagaimana berlombanya diri yang berusaha menang atas nafsu. Sebagaimana semangat bekerja yang berusaha menang atas lelah. Kita terus berlomba di setiap detiknya untuk jadi pemenang.

Sampai pada suatu kertika kemenangan hakiki itu tiba. Disanalah piala kemenangan sesungguhnya kita terima. Hasil dari kemenangan yang jumlahnya lebih banyak dari kekalahan. Kemenangan akumulatif yang diperjuangkan dengan cucuran kringat, darah, dan air mata.

Maka berkejar-kejaran menuju kemenangan menjadi utama. Dimana kemuliaan itu didapat. Dimana cinta itu diraih. Dan dimana kelegaan telah bermetamorfosa menjadi kenikmatan yang mengalir disekujur tubuh karena jiwa ini telah berlomba, terkoyak, penuh luka perjuangan.