Monday, December 31, 2018

Menyempurnakan Tawakal

Standard
Alkisah ada seorang pemuda, semenjak kecil hidupnya sebatang kara tanpa orangtua. Dia tumbuh di lingkungan panti asuhan muslim di pinggiran kota. Ia terbiasa hidup apa adanya, serba kekurangan. Jangankan untuk mimpi tinggi-tinggi, bisa makan untuk hari ini saja dia bersyukur. Seperti anak-anak lain di panti, dia terbiasa berbagi dan saling meminjam. Dari mulai buku sekolah hingga kemeja dan sepatu.

Beruntung, takdir mengantarkannya pada sebuah kampus negeri di pusat kota. Ia mendapat beasiswa penuh yang diperuntukan bagi mereka yang berprestasi akademik tapi kurang mampu secara finansial. Meski begitu, kesehariannya hampir tak berubah. Ia masih harus pinjam buku hingga peralatan kuliah sana sini. Sering juga menahan lapar karena uang saku beasiswa yang amat terbatas.

Ia kemudian menjadi sedih dan sering merenungi nasibnya. “Kenapa? Kenapa Ya Allah? Kenapa engkau takdirkan aku seperti ini?” Ucapnya lirih di atas kasur kamar kosnya yang beruukuran 2x2 meter itu. Sejak masuk kuliah ia jadi lebih sering merenung dan mengutuki nasibnya. Melihat banyak kawannya hidup serba cukup dan bergelimang harta, itu sunggu terasa tak adil baginya. “Dimana keadilanmu Wahai Tuhan?”, sambungnya.

Hingga suatu hari, salah seorang dosen di kampus memintanya dan kawan-kawan untuk mengerjakan tugas studi lapangan. Uniknya studi lapangan kali ini dilakukan dengan mewawancarai anak jalanan di sepanjang ruas jalan kota.

Satu persatu anak jalanan ia sapa dan diajaklah ngobrol. Sampai akhirnya dia bertemu dengan seorang lelaki yang tak bisa melihat dan berjalan. Ia didampingi adik kecilnya yang masih berusia sekitar 12 tahun. Baginya si adik adalah mata dan kakinya, yang menjadikan ia bisa mengerti “sedikit” tentang dunia dan menapaki jengkal tanahnya.

Percakapan dimulai.

Dia: Halo de, salam kenal, namaku “Dia”. Dari kampus sebelah, kebetulan lagi dapet tugas dari dosen buat  wawancara nih. Boleh ya kita ngobrol sebentar?

Adik: Boleh mas, tapi jangan lama-lama ya. Kami lagi nyari duit.

Dia:   Oh iya de, ga masalah, paling 10 menitan kok. Yuk kita kesitu, yang agak teduh.

Mereka berpindah tempat di bawah pohon beringin yang teduh

Dia: Adik, ini kakaknya ya? Atau saudara?

Adik: Ini abang saya mas. Maaf kalo dia ga bisa diganggu, dia emang pendiam.

Dia: Ooo gitu, ya ya gapapa de. Maaf ya sebelumnya ganggu.

Setelah ngobrol kesana kemari tentang materi kuliah, Dia masih melanjutkan obrolan dengan Adik Kakak bersaudara itu.

Dia: Kalian tinggal dimana?

Adik: Disitu …(tangannya setengah mengangkat mengarah pada jembatan di sebrang rel kereta api).

Dia: Ha? Maksudnya di jembatan?

Adik: Iya

Dia: Ibu Ayah juga disitu?

Adik: Ibu Ayah sudah lama meninggal, waktu itu usia saya masih 5 tahun. Mereka tertabrak kereta.

Seolah butuh mencurahkan unek-uneknya si adik terus berkata-kata.

Adik: Ya sejak itu saya Cuma tinggal bareng kakak. Sama beberapa pengemis lain juga, tapi yang utama sama kakak.

Matanya terlihat berusaha membendung air mata, tapi raut muka gadis kecil itu tak bisa berdusta. Ia sedang dalam kondisi sulit, atau bahkan terlalu banyak kesulitan yang menghimpitnya.

Dia: Sabar ya de…

Adik: Semoga bisa kak. Sebenernya saya udah capek kak hidup gini. Ga bisa sekolah, harus cari duit, tinggal di kolong jembatan juga. Apalagi setelah kakak kecelakaan, kehilangan kaki dan penglihatan di usia 10 tahun. Hidup kami makin sulit. Rasanya ingin mati saja kadang.

Dia: Astaghfirulloh..jangan bilang gitu de, kita masih punya Allah.

Dalam hati dia terbersit, “ya Allah ampuni aku, yang ternyata terlalu banyak mengeluh dan tidak bersyukur, padahal masih ada orang yang hidup dengan ujian yang jauh lebih berat”.

Obrolan mereka pun terus berlanjut. Bahkan sejak saat itu Dia jadi sering mengunjungi mereka. Dia sangat berterimakasih pada mereka yang telah menampar, bahwa ternyata ujian hidupnya tak seberat orang lain di luar sana, salah satunya mereka.

Dia jadi ingat suatu bacaan di awal shalat wajib yang artinya “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku karena Allah ta’ala.”

Maka, dalam menjalani peran dalam kehidupan ini kita butuh menyumpurnakan tawakal. Sebab diri kita seutuhnya milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Kita tak bisa menjadi orang lain atau menolak ujian dari Allah. Yang bisa kita lakukan adalah selalu melakukan yang terbaik dari apa yang Allah titipkan pada kita.

0 komentar:

Post a Comment